Pukul 07.30 WIB, kehidupan di Kotagede, Jogja, sudah mulai berdenyut. Di bawah matahari awal Agustus yang hangat, seorang tukang becak tengah mengantar penumpang, seorang ibu-ibu dengan barang belanjaan cukup banyak. Sepertinya dari pasar.

Ibu-ibu penjual sarapan juga tampak membuka lapak di beberapa sudut trotoar. Mereka dengan senyum ramah menjajakan dagangan kepada siapa saja yang melintas. Lalu-lalang kendaraan juga menandai bahwa kehidupan di Kotagede, Jogja, telah merangkak.
Minggu (3/8/2025) itu, saya nyempil di antara 50 peserta Tiba Bersua (program Palmerah, Yuk!, sebuah komunitas literasi dan penerbitan independen yang dikenal atas pendekatan kolektif dan pengarsipan alternatif).
Dipandu Firyal Nihalya Salsabila alias Aca dari Bersukaria Walking Tour, kami diajak menelusuri jalanan, gang-gang Kotagede, dan jejak-jejak yang tertinggal dari Jogja di masa silam.
Toko buku di Kotagede Jogja dalam bangunan berumur 168 tahun
Saya punya sangat banyak daftar toko buku untuk saya kunjungi tiap bulan—dalam rangka membeli buku. Kesemuanya ada di Sleman. Saya belum memiliki referensi di bagian Jogja yang lain.
Maka, saat saya mengikuti rombongan Tiba Bersua meninggalkan Taman Budaya Embung Giwangan untuk menyisir Kotagede, saya terhenti sejenak di depan sebuah toko buku dengan bangunan klasik. Namanya Toko Buku Natan di Jalan Mondorakan.
Dari keterangan Aca, toko buku tersebut dulunya adalah sebuah bangunan milik orang kaya di Kotagede, Jogja. Sudah berdiri sejak tahun 1857 alias sudah berumur 168 tahun dan ditetapkan sebagai cagar budaya.
Di masa pandemi 2020 lalu, bangunan cagar budaya tersebut disulap oleh pemilik Ndalem Natan Royal Herritage, Nasir Tamara, menjadi sebuah toko buku.
Seiring waktu, Toko Buku Natan menjadi salah satu jujukan bagi pencinta buku. Sebab, selain menyediakan beragam genre buku, toko tersebut juga menyuguhkan nuansa vintage yang syahdu nan estetik.
Jejak-jejak kejayaan perak di Kotagede Jogja
Aca mengajak kami berhenti sedikit lebih lama di kawasan Masjid Perak Kotagede, Jogja, di sudut gang Jalan Mondorakan No. 51.
Namanya terdengar unik. Beda dengan nama-nama masjid pada umumnya yang mengambil satu kata berbahasa Arab, atau nama masjid-masjid kraton yang khas.

Merujuk keterangan Aca, juga dari beberapa sumber, Masjid Perak Kotagede konon dibangun pada 1937-1939 dan diresmikan pada 1940. Ada tiga donator utama dalam pembangunan masjid tersebut, yakni:
- K.H. Amir, seorang ulama sekaligus pedagang ulung.
- K.H. Mudzakir, putra K.H. Abdullah Rosyad, seorang abdi dalem di bidang keagamaan. K.H. Mudzakir juga merupakan ayahanda Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakir, tokoh Muhammadiyah yang duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
- K.H. Muchsin, saudara ipar K.H. Mudzakir, yang dikenal sukses dalam berbisnis.
Ada dua pendapat terkait penggunaan nama “perak”. Pertama, merujuk pada industri perak yang cukup masif di Kotagede sejak masa Mataram Islam.
Kedua, jika merujuk versi Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) DIY, perak diambil dari bahasa Arab: “firaq” (lidah Jawa jadi “pirak” atau “perak”). Firaq sendiri berarti pembeda antara yang benar dan yang batil.
Pada masa Revolusi, masjid ini menjadi saksi penggemblengan Laskar Hizbullah dan Sabilillah sebelum menuju medan perang, untuk melawan tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang membonceng Sekutu.
Tapi memang, kata Aca, dulu mayoritas masyarakat Kotagede, Jogja, menjadi perajin perak. Perdagangan kerajinan ini lantas semakin meningkat semenjak eksisnya VOC. Sebelum akhirnya tergerus zaman.
Sendang Seliran, Dalem Sopingen, hingga Pasar Legi
Aca dan Palmerah, Yuk! Mengajak kami untuk menyisir gang demi gang di Kotagede, Jogja lebih jauh lagi. Ke sudut-sudut yang, sepengakuan peserta yang sekalipun asli Jogja, ternyata belum pernah menjamahnya. Atau jika pernah menjamahpun, tapi tidak tahu-menahu perihal latar belakang sejarah bangunan atau situs tertentu.
Kami singgah di Sendang Seliran yang tidak jauh dari kompleks makam raja-raja Mataram. Di sana kami diajak menyelami bagaimana awalnya sendang tersebut dibuat. Ternyata nama aslinya adalah salira yang berarti pribadi. Maksudnya adalah sendang pribadi untuk raja.

Ada beragam mitos menyertai keberadaan sendang tersebut. Terutama dari lele putih dan bulus yang mendiaminya.
Kami juga ngiyup di Dalem Sopingen. Yakni kediaman abdi dalem kraton bernama Raden Atmadalem Sopingi yang pernah dijadikan sebagai tempat diskusi tokoh-tokoh nasional, seperti Ketua Sarekat Islam HOS Cokroaminoto, Pendiri Sarekat Islam Samanhoedi, Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, serta pendiri Perguruan Tamansiswa Ki Hadjar Dewantara. Bahkan beberapa pemimpin PKI pun pernah menggunakan tempat ini, seperti Samaun, Muso, dan Alimin.
Perjalanan berakhir di Pasar Legi, sebagai pasar legendaris di Kotagede, Jogja. Tak hanya lewat, beberapa peserta Tiba Bersua turut mampir ke beberapa lapak pedagang untuk membeli jajanan tradisional seperti Kipo.
saja, diserbu rombongan 50 orang, para pedagang tampak antusias meladeni. Wong ketiban rezeki.

Melahirkan sastra dari ruang hidup masyarakat
Tiba Bersua-Palmerah, Yuk! merupakan bagian dari program Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025. Pertanyaannya, apa hubungan antara menelusuri jalanan dan gang-gang Kotagede, Jogja, dengan sastra? Oh tentu ada.
Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno menjelaskan, menjelajahi sudut-sudut sebuah kota tidak lain untuk menunjukkan bahwa sastra tidak selalu harus dibicarakan di ruang formal.
Sastra bisa lahir di jalanan, di bawah pohon, di pasar, dan sudut-sudut ruang hidup masyarakat yang lain.

“Sastra dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan di mana saja—di jalanan, di ruang publik, di tengah kota yang terus bergerak. Seluruh ruang kota adalah potensi bagi lahirnya narasi dan refleksi,” jelas Isma.
Orang-orang yang hendak menulis sastra, sudah semestinya melatih intuisinya, dengan cara membaur di ruang hidup masyarakat. Tidak hanya mengunci diri dalama kamar sepi.
Sebab, ada banyak inspirasi—dari sejarah, kebudayaan, kehidupan sosial, kemanusiaan—yang hanya bisa dieksplorasi melalui persinggungan dengan dunia luar. Tidak hanya dari buku-buku bacaan. Dengan begitu, sastra yang dihasilkan bisa terasa membumi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Sisi Magis Jalanan Maliboro Jogja Era 1960-an Bisa Jadi Renungan bagi Komunitas Sastra Hari ini atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












