Medan merupakan kota terbesar keempat di Indonesia, setelah Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Sementara untuk jumlah penduduk, ibu kota Sumatera Utara ini juga menempati urutan keempat dengan 2,5 juta jiwa yang mendiami wilayah seluas 9.413 kilometer persegi.
Meski didominasi orang-orang Batak, sebenarnya Medan adalah kota yang multietnis. Populasi etnis Jawa, Tionghoa, Mandailing, Minangkabau, Melayu, hingga Sunda tersebar luas di sini.
Sayangnya, angka-angka itu hanya di atas kertas dan tak berarti apa-apa. Bagi Brian (25), Medan tak ubahnya sebagai kota yang tak mau berkembang ke mana-mana. Sejak dulu, masalah di kota ini selalu sama: kekerasan ormas dan begal, aksi premanisme tanpa ujung, hingga pungli yang merata di seluruh wilayah.
Hal inilah yang membuat Brian memutuskan meninggalkan Medan dan menetap di Bandung sejak usia 18 tahun. Harapannya, ketika kembali, kota kelahirannya itu telah berbenah. Tapi nyatanya ia salah besar. Medan, hari ini masih sama dengan masalah-masalah yang tak terselesaikan tadi.
Lingkaran kekerasan ormas dan preman di Medan tak pernah putus
Brian lahir dan besar di Kota Medan. Namun, pada 2016 lalu ia memutuskan hijrah dari Medan menuju Bandung untuk berkuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad). Keputusannya pergi dari tanah kelahiran ini, jujur, sangat ia syukuri. Sebab, setidaknya ia bisa meninggalkan kota yang memberinya rasa takut dan trauma itu.
Sejak SD, Brian sudah akrab dengan aksi-aksi preman berkedok ormas kepemudaan yang saban hari mendatangi usaha rumah makan ibunya.
“Pasti minta hepeng,” kenang Brian kepada Mojok, Selasa (26/4/2024) malam. “Hepeng itu bahasa Indonesianya ‘uang’. Tapi kalau konteks preman itu semacam setoran, uang keamanan gitu. Enggak ngasih hepeng sama aja minta dibacok,” sambungnya.
Hal yang paling tak bisa ia lupakan terjadi sekitar 2009 lalu saat Brian masih SMP. Saat itu, terjadi ketegangan antara beberapa warga kampung yang punya julukan “area mafia”–karena saking banyak ormas dan preman. Bentrokan terjadi di siang bolong.
Saat itu, Brian yang tengah menemani ibunya berjualan terjebak di tengah-tengah massa yang ribut. Ia menangis sejadinya, ketakutan kalau hal-hal yang tak diinginkan, menimpa dia dan ibunya.
“Warung ibuku hancur, rusak parah. Ada bekas sambitan parang yang nyaris bikin tangan ibu putus. Bekas lukanya masih ada sampai sekarang. Traumanya juga masih nyisa,” kisahnya.
Setiap malam adalah saat begal beraksi, klitih Jogja enggak ada apa-apanya
Hal lain yang menakutkan dari Medan, selain ormas kepemudaan dan premannya, adalah begal. Kata Brian, begal di Medan sadis-sadis, tak ada lawan dengan daerah lain.
Saya sempat menyebut klitih Jogja untuk membandingkannya dengan begal di Medan. Brian hanya meresponsnya dengan tertawa.
“Di mata begal Medan, klitih yang sering muncul di Instagram itu kroco-kroco aja, bukan lawan,” jelas Brian. “Di Jogja itu cuma anak-anak yang iseng. Kalau di Medan, begalnya itu orang dewasa yang kelaparan. Bunuh dan ngambil motor korban buat bisa makan,” lanjutnya.
Sebenarnya saya tak sangsi kalau di Medan banyak begal. Soalnya, di beberapa pemberitaan, saya kerap menjumpai aksi-aksi begal yang tertangkap di kota ini. Namun, kalau soal kesadisan, kebengisan, dan kebrutalannya, saya baru tahu dari cerita Brian.
Mengutip dari Polda Sumut, per semester I 2023 saja, sudah ada 400 kasus pembegalan di Medan. Data BPS 2022 juga menyebut, Medan adalah peringkat satu kota dengan tingkat kejahatan tertinggi di Indonesia. Alasan ini juga yang bikin Walikota Medan Bobby Nasution “mengizinkan tembak di tempat bagi pelaku kejahatan jalanan”.
“Secara pribadi aku belum pernah mengalami. Tapi selama SMA, bukan cerita baru kalau pagi-pagi dapat kabar salah satu teman sekolah jadi korban pembegalan semalam,” jelas Brian.
Apa, sih, yang bikin kota ini punya angka kejahatan yang tinggi banget?
Selama empat tahun kuliah di Unpad, Brian tak pernah sekalipun pulang ke Medan. Bahkan, setelah lulus 2020 lalu, ia memutuskan menyusul kakaknya ke Jakarta dan mencari kerja di ibu kota. Kalau sedang rindu, biasanya orang tuanya akan menemui Brian di Jakarta. Misalnya, saat momen-momen natal.
Brian sendiri baru kembali lagi ke Medan pada awal 2023, alias nyaris delapan tahun sejak kakinya meninggalkan kota penuh kriminalitas itu. “Sayangnya enggak ada yang berubah. Pas kembali, Medan masih sama dengan preman-premannya. Baru sehari balik aja udah nemu berita orang dibacok,” katanya.
Fyi, dosen jurusan Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Bakhrul Khair Amal, pernah mengkaji soal faktor-faktor yang membuat aksi premanisme dan kriminalitas marak terjadi di kota ini. Kata dia, faktor terbesarnya adalah banyaknya pengangguran.
“Kalau premanisme ini dari manusia yang pengangguran, kemiskinan, ketidakmampuan,” kata Bakhrul pada 2022 lalu.
Karena tak punya pekerjaan, akhrinya beberapa orang memilih untuk melakukan pungli. Bahkan, sebagian besar dari mereka juga bergabung di ormas kepemudaan. Makanya, tak heran kalau aksi pungli di pasar-pasar daerah Medan pada umumnya amat terorganisir.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.