Stigma “eksklusif” melekat pada mahasiswa Jabodetabek (atau kerap disebut cah Jakarta-nan) yang kuliah di Jogja. Alasannya, mahasiswa Jabodetabek terkesan jarang berbaur dengan mahasiswa daerah lain.
***
Sebenarnya mahasiswa Jakarta-nan bukannya tidak mau berbaur dengan mahasiswa daerah lain. Akan tetapi, beberapa dari mereka kerap merasa “diasingkan” dari sebuah lingkaran mahasiswa daerah lain.
Misalnya yang Hanif (19), bukan nama sebenarnya, alami. Alih-alih diterima, saat ia mencoba berbaur dengan mahasiswa daerah lain di Jogja, justru mendapat cemoohan.
“Aku ngga suka deh sama kamu, soalnya bacot banget, sok asyik,” ucap teman Hanif.
Jadi apa adanya di tongkrongan mahasiswa Jabodetabek (cah Jakarta-nan)
Tahun 2019 jadi kali pertama Hanif menetap di Jogja, sebagai mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (UGM). Mahasiswa asal Tangerang Selatan itu pada dasarnya ingin berbaur dengan mahasiswa daerah lain, bukan atas dasar primordial.
Ia membayangkan, ia masih bisa berbaur dengan mahasiswa daerah lain dengan tetap membawa karakternya yang apa adanya. Misalnya, sebagai orang Tangerang Selatan, ia punya kecenderungan heboh, frontal, dan friendly (grapyak kalau dalam bahasa Jawa).
Sayangnya, karakternya tersebut malah dianggap “sok asyik” oleh tongkrongan mahasiswa daerah lain. Ia akhirnya lebih nyaman nongkrong dengan sesama mahasiswa Jabodetabek.
“Karena sesama Jabodetabek jadi punya lebih banyak kesamaan, satu frekuensi. Jadi lebih nyaman,” tutur Hanif kepada Mojok belum lama ini.
Mahasiswa Jabodetabek (cah Jakarta-nan) terasingkan dari bahasa lokal
Menurut Steve, mahasiswa Jakarta-nan yang juga kuliah di UGM, anasir sederhana seperti bahasa atau habit tertentu bisa menjadi pintu masuk untuk menjalin kedekatan.
“Sebenarnya seleksi pertemanan berawal dari familiaritas sederhana loh, misal merokok atau nggak? Bahasa Jawa atau nggak? Dan lain-lain,” ucap Steve.
Jika seseorang tidak memenuhi anasir tertentu dalam sebuah lingkaran atau komunitas, maka konsekuensinya bisa merasa “terasingkan” atau tidak nyambung.
Dalam konteks Jogja, anasir paling mudah dilihat bagi mahasiswa Jabodetabek adalah bahasa. Bagi Steve, penggunaan kata “lu” dan “gua” acapkali terasa berjarak untuk mahasiswa Jogja. Sehingga, menurutnya perbedaan bahasa ini memungkinkan “gap” antara mereka.
Meski begitu, Steve tidak memandang keberjarakan antara mahasiswa Jogja dan Jabodetabek itu sebagai masalah berarti. Perbedaan, baginya, adalah hal biasa. Sehingga, bagi Steve, tidak masalah apabila terdapat obrolan dan candaan di luar yang ia pahami.
“Toh aku juga bisa punya bahasan dalam konteks “ibu kota” yang sangat gaul, yang mungkin juga tak dipahami oleh orang Jawa (misalnya),” ucap Steve.
Baca halaman selanjutnya…
Mahasiswa daerah lain yang eksklusif atau emang orang Ibu Kota sok jadi pusat peradaban?
Jangan-jangan mahasiswa daerah lain yang eksklusif?
Berbeda dengan Steve yang memilih cuek, Darma–mahasiswa Jakarta-nan yang juga kuliah di UGM–justru memendam rasa penasaran.
“Aku pernah mengalami semacam candaan lokal atau kode antarmereka (mahasiswa daerah lain), tapi aku masih berusaha mengerti dengan bertanya,” katanya.
Candaan lokal yang ia maksud merujuk pada topik dan gurauan dengan bahasa Jawa yang bertujuan untuk sengaja mengasingkan Darma. Sehingga, Darma malah berpikir mahasiswa asal daerah lain yang ia temui di Jogja lah yang terkesan eksklusif. Menurut analisisnya, mereka sudah memiliki jaringan sosial yang terbentuk sejak lingkungan sebelumnya.
Sok asyik: upaya adaptasi
Sebenarnya, menurut Darma, kesan “sok asyik” dari mahasiswa Jakarta-nan merupakan bagian dari proses adaptasi mahasiswa Jabodetabek.
“Ya emang sih ada gaya dari anak Jabodetabek yang kesannya “dagu ke atas” (angkuh),” kata Darma. Alhasil, adaptasi tersebut tidak berujung pada penerimaan.
Selain itu, Darma menceritakan perbedaan nongkrong: mahasiswa Jabodetabek menggunakan salam dan tos sebagai perwujudan “bro” di tongkrongan. Namun, hal itu dinilai aneh bagi mahasiswa daerah lain di Jogja.
Kesan sebagai pusat peradaban
Satu lagi hal yang barangkali dianggap menyebalkan dari mahasiswa Jakarta-nan adalah, “kesombongan anak Jabodetabek”. Begitu kata Anya–satu mahasiswa UGM (lagi).
Anya–bukan nama sebenarnya–berasal dari Bekasi. Tapi ia memiliki “privilese” untuk bersikap lebih objektif. Pasalnya, Anya dibesarkan dengan perspektif ganda: Bekasi dan Semarang. Ini membuatnya bisa memahami dua belah pihak.
“Aku harus mengamini sebagian anak Jabodetabek itu punya paradigma berpikir yang menyebalkan: pusat dari peradaban,” ucap Anya.
Menurutnya, banyak paradigma metropolis dari mahasiswa Jabodetabek. Tentu, hal ini dapat dipandang kabur menjadi eksklusivitas.
Anya menambahkan, paradigma tersebut diakibatkan sentralisasi pada Jakarta. Akhirnya, menjadi semacam kebiasaan sebagai pusat dari segalanya.
Selain itu, bagi Anya, hal ini didukung faktor lain seperti mindset bahwa paradigma merekalah yang paling benar. Bisa jadi, ini yang kemudian membuat mahasiswa Jabodetabek susah untuk “menyentuh tanah”.
Alhasil dengan paradigma itu, mahasiswa Jabodetabek cenderung menganggap daerah non-Jabodetabek lebih “ketinggalan”.
“Menurutku, bisa jelas terlihat satu pihak fast paced, sisi lainnya slow paced,” ungkap Anya. Meski demikian, tegas Anya, hal ini tetap tidak dapat merepresentasikan utuh seluruh mahasiswa Jabodetabek.
Pada akhirnya, Anya menganggap hal-hal itu niscaya melekat pada mahasiswa Jabodetabek. Dalam artian, menurutnya, perkara personalia hingga kesan eksklusif mahasiswa Jabodetabek tidak perlu jadi hal yang dipusingkan.
Ia juga berpesan bahwa mahasiswa daerah lain tidak perlu merasa minder terhadap mereka yang terkesan metropolitan. Sebab, bagi Anya, menghindari perbedaan sama saja naif. Perbedaan itu niscaya ada, santai saja!
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Melvinda Eliana
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: “Gue Tunggu Lo di Enggok-enggokan” dan Cara Berteman ala Jawakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
