Lulusan Jogja dari Kampus Nggak Terkenal Buktikan Cari Kerja di Semarang Itu Gampang, Setelah 7 Tahun Pilih Jadi Freelance di Gunungkidul

Lulusan Jogja dari Kampus Nggak Terkenal Buktikan Cari Kerja di Semarang Itu Gampang, Setelah 7 Tahun Pilih Jadi Freelance di Gunungkidul MOJOK.CO

Ilustrasi Lulusan Jogja dari Kampus Nggak Terkenal Buktikan Cari Kerja di Semarang Itu Gampang, Setelah 7 Tahun Pilih Jadi Freelance di Gunungkidul. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Mencari pekerjaan di Indonesia itu katanya sulit, padahal nggak juga. Aziz membuktikan sebagai lulusan Jogja dari kampus yang nggak terkenal, ia dengan mudah mendapatkan kerja sebagai karyawan perusahaan di Semarang, meski tanpa bekal pengalaman kerja sebelumnya.

***

Mojok berbincang dengan Abdul Aziz (28) lewat sambungan telepon, Senin (4/3/2024) yang lalu. Sebelumnya ia mengirimkan naskah uneg-uneg yang ia beri judul, ‘Mencari Pekerjaan di Indonesia Tak Sesulit yang Dibicarakan Banyak Orang’. Lewat tulisan itu ia menceritakan panjang lebar bagaimana seharusnya orang itu bisa mudah mendapatkan pekerjaan. 

Lulusan Jogja dari kampus nggak terkenal, tapi percaya diri mudah dapat kerja

Saya kemudian menghubunginya lewat telepon untuk memperjelas apa yang ia maksud dengan mendapatkan pekerjaan itu gampang. “Tepat tahun 2017, saya menyelesaikan kuliah saya di salah satu kampus di Yogyakarta. Dengan modal Surat Keterangan Lulus (SKL), saya langsung berniat untuk mencari pekerjaan, saya nggak mau menganggur karena tidak ingin menjadi beban orang tua,” kata Abdul Aziz.

Kampus Aziz adalah STIE Bank Yogyakarta. Bukan kampus yang terkenal layaknya UGM, UNY atau kampus-kampus swasta mentereng seperti UMY, UII, STIE Kerjasama, UAJY dan lainnya. Ia mengambil Jurusan Manajemen.

Meski bukan lulusan kampus bonafid, Aziz percaya diri bisa segera dapat kerja. “Bukan soal kampusnya, tapi tergantung orang-orangnya,” kata Aziz.

Selain dorongan tidak ingin nganggur dan jadi beban orang tua, ia ingin mematahkan argumen banyak orang bahwa mencari pekerjaan di Indonesia itu susah.

“Orang yang percaya dengan argumen itu sama dengan mempersulit hidupnya sendiri. Kenapa begitu, karena saya melihat sendiri ketika mencari informasi lowongan pekerjaan di website atau media sosial itu banyak sekali tawaran kerja,” kata Aziz. 

Banyak lowongan pekerjaan, tapi pelamar nggak pakai strategi

Menurut Aziz ia melihat tiap hari selalu ada informasi lowongan pekerjaan, bahkan untuk posisi yang dibutuhkan kadang membutuhkan lebih dari satu orang tenaga kerja. “Melihat data tersebut, saya berpikir bahwa sebenarnya lowongan kerja itu cukup banyak, tapi kitanya yang kurang persiapan untuk melamar posisi pekerjaan tersebut, makanya tidak ada panggilan kerja,” katanya.

Aziz mengincar Semarang sebagai wilayah yang ia tuju untuk mencari pekerjaan. Alasan pertama karena UMR-nya paling tinggi di Jawa Tengah. Di Semarang ada kawasan industri dengan banyak perusahaan, sehingga peluang mendapat pekerjaan lebih terbuka. 

“Saya awalnya mengincar Karawang karena UMR-nya paling tinggi di Indonesia, tapi jelang lulus nenek saya meninggal, saya kasihan sama orang tua kalau jauh dari mereka. Saya itu asli Blora, jadi saya pikir Semarang Blora nggak terlalu jauh,” kata Aziz. 

Aziz melihat banyak orang yang mencari kerja langsung kirim banyak lamaran pekerjaan tanpa ada persiapan atau riset dulu. Hal yang ia pertama lakukan adalah melakukan riset pekerjaan yang akan ia incar.

Aziz hanya membutuhkan satu jam untuk mencari lowongan pekerjaan di Semarang sebelum menentukan pilihan. Ia memilih platform media sosial Facebook untuk mencari info lowongan pekerjaan sebelum menentukan pilihan lowongan yang ia incar.

“Meskipun sudah mendapatkan informasi lowongan pekerjaan, saya masih pilih-pilih lagi agar peluang langsung keterima kerjanya lebih tinggi,” katanya. 

Facebook jadi pilihan Aziz mencari lowongan karena biasanya yang mengirimkan lowongan dari HRD langsung atau dari karyawan perusahaan tersebut. Biasanya mereka membutuhkan pekerja dalam waktu yang cepat. 

Sadar diri dengan melamar pekerjaan yang sebenarnya untuk lulusan SMP

Setelah Aziz pilih-pilih, akhirnya ia menentukan untuk menjadi operator perusahaan konveksi yang memproduksi fashion khusus rajut. Lowongan itu sebenarnya diperuntukkan minimal untuk lulusan SMP. Ia sengaja tidak memilih bagian staff yang peruntukannya minimal untuk lulusan S1 dengan pengalaman lebih dari 1 tahun. 

Aziz sadar diri, dengan baru saja lulus dan berbekal SKL, maka kecil kemungkinannya bisa diterima kerja bagian staff administrasi kantor. 

Azis merasa tidak perlu gengsi melamar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang jurusan Manajemen. Ia tidak malu sebagai sarjana lulusan Jogja mengambil pekerjaan operator.

Perusahaan nggak peduli seorang pelamar itu dari kampus terkenal atau tidak, yang jelas untuk posisi pelamar dengan ijazah S1 rata-rata mensyaratkan pengalaman kerja. Hal itu jelas tidak bisa ia penuhi, sehingga ia punya strategi sendiri.

Perusahaan yang ia incar, meminta pelamar datang segera ke perusahaan dengan membawa lamaran dan langsung melakukan interview. “Karena saya sudah memutuskan untuk melamar jadi staff operator, paginya sekitar jam 3 saya dari Jogja ke Semarang untuk melamar posisi tersebut,” kata Aziz.

Baca halaman selanjutnya

Buktikan cari kerja di Semarang itu mudah bagi lulusan Jogja, lolos wawancara langsung kerja hari itu juga

Buktikan cari kerja di Semarang itu mudah bagi lulusan Jogja, lolos wawancara langsung kerja hari itu juga

Sampai di perusahaan yang ia tuju, sudah banyak pencari kerja yang antre menunggu HRD-nya datang. Dari bincang-bincang dengan mereka, ia tahu semuanya pendidikan terakhirnya adalah SMA. 

Proses interview pun segera berlangsung begitu HRD datang. Ketika gilirannya tiba, HRD tersebut langsung kaget karena terlampir SKL S1. 

Aziz langsung dapat pertanyaan ‘mengapa melamar di posisi ini? Padahal ini posisi operator’. Ia kemudian menjawab bahwa ia baru saja lulus dan belum memiliki pengalaman. “Saya bilang, saya ingin mencari pengalaman di perusahaan ini mulai dari bawah. Dan harapan saya, setelah saya menguasai posisi operator ini, ketika ada kekosongan di posisi staff ataupun supervisor, saya bisa mengisi posisi tersebut tanpa harus meninggalkan perusahaan ini,” kata Aziz.

Mendengar jawaban tersebut,HRD pun tanpa banyak pertanyaan lagi dan langsung menutup sesi wawancara. Semua pelamar yang mengikuti sesi wawancara kemudian dikumpulkan di suatu ruangan dan saat itu juga pengumuman siapa-siapa yang lolos. Para pelamar yang lolos langsung bekerja hari itu untuk mengikuti training mengoperasikan mesin.

“Nama saya dipanggil, artinya saya langsung kerja di perusahaan itu. Saya pun langsung ikut training di gedung produksi. Meskipun mesinnya asing bagiku, tapi mempelajari hal yang baru adalah sesuatu yang menyenangkan,” ungkap Aziz.

Soal gaji, pastikan bisa mencukupi kebutuhan dulu

Aziz memutuskan menerima pekerjaan itu karena pertimbangan lagi soal gaji. Ia mengatakan, sebenarnya posisi sebagai apa di pekerjaan pertama tidak terlalu penting. Terpenting adalah memastikan jika itu gajinya minimal sesuai UMR dan mencukupi kebutuhan hidup selama sebulan.

Kalau memang mencukupi, maka ambil saja, karena baginya pekerjaan pertama lebih untuk mencari pengalaman kerja. Di perusahaan pertamanya, Aziz mendapatkan gaji sekitar Rp1,9 juta. Saat itu, UMK di Kabupaten Sleman, tempat ia kuliah masih di kisaran Rp 1,4 juta. 

Aziz tidak bertahan lama di perusahaan itu. Hal ini karena ia melihat peluang lebih besar di perusahaan lain yang masih ada di kawasan itu. Berbekal pengalaman mengoperasikan mesin pabrik, Aziz awalnya melamar di perusahaan garmen untuk posisi operator. Awalnya ia akan ditempatkan di bagian operator mesin CNC. Berbeda dengan perusahaan sebelumnya, posisi bagian CNS memberikan tantangan karena alat produksi yang berbasis mesin dan komputer.

Namun, karena dari pihak perusahaan melihat latar belakangnya sebagai sarjana lulusan Jogja, ia kemudian ditempatkan sebagai bagian administrasi sekaligus membantu leader di perusahaan tersebut. 

“Saya bertahan selama dua tahun. Saat itu saya keluar karena sudah menikah, dan saat itu jam kerja selalu sampai malam, padahal istri sedang hamil,” kata Aziz. Ia sempat bertahan di Semarang dengan bekerja di perusahan garmen lainnya. Namun, hanya bertahan satu bulan karena ia ingin menemani istrinya yang akan melahirkan di kampung halaman istrinya di Gunungkidul. 

Rintis cita-cita ingin berbisnis dengan jadi freelance

Setelah meninggalkan Semarang, Aziz kembali ke Yogyakarta. Ia kemudian bekerja sebagai staff administrasi di perusahaan garmen. Ia relatif tidak kesulitan untuk mencari kerja, karena sudah punya pengalaman di perusahaan-perusahaan sebelumnya. 

Hanya tiga bulan, Aziz kemudian memilih keluar dan pindah di perusahaan startup di Yogyakarta yang tidak mengharuskan karyawannya masuk kantor. “Terakhir kerja di tempat itu Desember 2023, sebenarnya sudah nyaman karena nggak perlu ke kantor. Sekarang jadi freelance desain,” kata Aziz. 

Aziz mengatakan, dari dulu ia punya cita-cita ingin kerja atau buka usaha yang dekat dengan keluarga. Ia lantas melihat peluang di dunia desain print on demand. “Jadi saya jadi freelance dengan membuat desain yang saya titipkan di berbagai platform. Satu desain itu bisa untuk berbagai macam produk seperti kaos, mug, ada sekitar 50 item lah,” kata Aziz. 

Ia mengakui hasilnya belum seperti gajinya saat bekerja di perusahaan, tapi ia yakin nantinya bisa mendapatkan lebih. Saat ini ekonomi keluarga masih ditopang juga oleh istrinya yang bekerja di startup yang dulu ia bekerja di dalamnya. 

Aziz dari dulu punya impian, pendapatan yang ia dapatkan bukan dari bekerja tapi dari bisnis. Kalaupun harus bekerja, ia ingin harapannya kerja dan bisnis bisa jalan bareng. “Terpenting bisa dekat keluarga,” kata Aziz.

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA Diremehkan karena Cuma Lulusan SMA, Kerja Gaji UMR Semarang Langsung Pamer Bangun Rumah Sendiri ke Sarjana yang Sulit Cari Kerja

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version