Pedih Korban Pengusiran Paksa di Rusunawa Gunungsari Surabaya: Ibu-ibu Cedera Fisiknya, Anak-anak Trauma Batinnya

penggusuran rusunawa gunungsari surabaya.MOJOK.CO

Ilustrasi Kali Jagir (Ega/Mojok.co)

Warga eks penghuni Stren Kali Jagir sudah tiga kali digusur pemerintah. Terakhir, mereka terusir dari Rusunawa Gunungsari Surabaya. Pengusiran secara paksa yang meninggalkan luka fisik dan batin. Anak-anak sampai tak mau sekolah karena dicap anak penjahat.

***

Kisah berawal saat saya terpapar video kerusuhan penggusuran paksa Rusunawa Gunungsari Surabaya di Instagram juga grup WhatsApp pada Kamis, 16 Mei lalu. Di video itu, terekam aksi dorong-dorongan antara ratusan aparat dan warga.

Suasana Rusunawa Gunungsari Surabaya terlihat ricuh diiringi suara tangis anak-anak. Satu lagi tragedi kekerasan oleh aparat meletus. Jadi pola yang tak pernah putus.

Esoknya, LBH Surabaya menggelar konferensi pers di kantornya terkait ini. Saya berkesempatan hadir.

Konferensi pers ini menghadirkan dua korban penggusuran, Bu Sofia (37) dan Pak Faisol (49) juga tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (TABUR PARI) selaku tim hukum yang mengawal konflik.

Sofia dan suaminya, Faisol, saat memberi keterangan pada konferensi pers di LBH Surabaya, Jumat 17 Mei (Dok. Ifan Bikul)

Juru bicara TABUR PARI, Habibus Shalihin, menjelaskan bahwa penggusuran paksa yang terjadi di Rusunawa Gunungsari Surabaya menimpa 217 jiwa yang terkumpul dalam 40 kartu keluarga (KK). Korban itu meliputi laki-laki dewasa 79 orang dan perempuan 68 orang serta anak-anak sejumlah 70 anak. Mereka adalah warga relokasi yang sebelumnya tinggal di Stren Kali Jagir. Jadi, ini bukanlah penggusuran pertama bagi mereka.

Kronologi konflik yang panjang para penghuni Rusunawa Gunungsari Surabaya

Jika dilihat lebih dalam, kronik konflik bahkan sudah bermula dari 1970-an. Kala itu, Gubernur pertama Jawa Timur, Muhammad M. Noer memindahkan sejumlah warga dari sebelah selatan pasar wonokromo menuju Stren Kali karena pembangunan pasar. Setelah pembangunan selesai, gubernur berjanji akan mengembalikan warga.

Selepas pembangunan usai, warga disuruh membayar biaya administrasi untuk  bisa balik ke kampung semula. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Warga menolak dan berakhir tinggal di Stren Kali Jagir untuk waktu yang tidak ditentukan.

Pada 2009, penggusuran kembali terjadi. Walikota Surabaya menggusur warga Stren Kali karena adanya pelarangan pendirian rumah di sekitar bantaran sungai. Selain itu, warga juga dituduh menghuni bangunan liar padahal mereka tertib membayar pajak bumi dan bangunan.

Pasca penggusuran, warga diundang hearing di Kantor Gubernur Jatim. Gubernur Jatim kala itu, Soekarwo, menjanjikan akan menyediakan rumah subsidi, sebagaimana permintaan warga. Rencananya, warga akan diperbolehkan tinggal di sana sambil berangsur mencicil untuk membeli. Rumah dijanjikan siap pada 2014.

Selama menunggu realisasi, warga dipindahkan untuk transit sementara di beberapa tempat. Salah satunya, Rusunawa Gunungsari Surabaya pada tahun 2011.

Namun kenyataannya, tidak ada update perkembangan pembangunan rumah subsidi itu hingga hari ini. Janji kosong semata. Rumah subsidi tak pernah dibangun.

Berpindah rumah berarti merampas kehidupan warga sepenuhnya

Berpindah hunian sangat mengubah kehidupan warga. Semula di Stren Kali, mereka memiliki berbagai usaha seperti bengkel, toko kelontong, warung makan, hingga tambal ban. Rusunawa tidak mendukung warga meneruskan usahanya itu. Lokasi rusunawa yang bertempat di jalur cepat juga tidak mendukung untuk buka usaha tambal ban. Ini semua bikin pemasukan mereka jadi tak tentu.

Tinggal di rusunawa untuk transit adalah hak warga yang telah dirampas huniannya, oleh karenanya seharusnya warga tidak memiliki kewajiban membayar sewa. Sayangnya itu hanya terjadi di tahun-tahun awal. Setelah 2019, ketika pemerintah provinsi berganti tatanan, warga disuruh bayar sewa.

Pada awalnya terjadi penolakan dari warga sebab mereka sadar itu bukan tanggung jawabnya. Namun pada akhirnya mereka terpaksa tetap membayar semampunya, sebab pemasukan seadanya dan tanggungan kebutuhan lain seperti biaya sekolah anak.

Mei 2024, penggusuran ketiga terjadi secara kaos dan tidak manusiawi. Ini sebab, warga yang menunggak tiba-tiba ditodong untuk melunasi tagihan sewa (harus) secara kontan.

Sedangkan, tiap keluarga eks penghuni Stren Kali Jagir rata-rata  memiliki tanggungan 6-8 juta. Bagi mereka yang telah terampas pekerjaannya, mustahil mencari uang sekian dalam satu-dua minggu.

Sebelum meletus pengusiran paksa, warga juga sempat menerima intimidasi, berupa pemutusan listrik.

Warga telah mengajukan permintaan untuk mencicil, tapi pihak rusun sama sekali tidak menggubris. Warga menilai ada diskriminasi di sini, sebab, penghuni yang menunggak bayar sewa dari seluruh unit yang ada di rusunawa tentu bukan hanya warga eks Stren Kali. Ada pula penghuni yang menunggak satu-dua juta, atau lebih. Tapi mereka tidak menerima intimidasi serupa, dan diperbolehkan untuk mencicil.

Ibu-ibu cedera tangan karena terlibat kaos saat penggusuran Rusunawa Gunungsari Surabaya

Setelah menyimak rangkaian konferensi pers, saya dan kawan saya yang anak persma, mencoba ngobrol secara pribadi dengan Sofia (37).

Sofia tinggal di Stren Kali sejak 2002, mengikuti suaminya, Faisol. Sang suami bercerita, keluarganya adalah termasuk dari warga Pasar Wonokromo yang tergusur ke Stren Kali Jagir puluhan tahun lalu.

Di hari penggusuran, terjadi bentrokan antara 800 personel aparat gabungan Satpol PP, hingga polisi dan tentara,  dengan warga korban tergusur.

Bu Sofia bercerita, siang itu, Ibu-ibu dan bapak-bapak sejumlah tak sampai lima puluh orang, saling menggandeng, memasang badan membentuk rantai manusia guna menutup akses masuk rusun. Di tepi kanan dan kiri barisan manusia itu, warga menjejerkan sepeda dan sepeda motor.

Tanpa ragu, aparat tetap merangsek masuk. Rantai manusia itu ambruk.

“Jangan melawan, semua diam!” kata Sofia, menirukan suara aparat.

“Padahal kita nggak melawan, Mbak. Mereka yang terus-terusan mendorong, kita ambruk,” Jelasnya.

Sofia ketika itu terlibat di barisan. Ia jadi salah satu korban kekerasan aparat siang itu, bersama warga lain yang juga terdorong dan tertendang.

“Waktu itu saya tidak tahu, tiba-tiba ada tangan yang menarik saya ke belakang. Sakit kan, Mbak, saya teriak ‘Allahuakbar!’,” ceritanya sambil menahan air mata.

Meski begitu, ia pertahankan tangan kirinya tetap tertaut ke barisan rantai manusia, sambil menahan tangan kanannya yang kesakitan.

Karena jadian itu, tangan Bu Sofia cedera. Ia menghadiri konferensi pers dengan tangan yang tergantung di gips. “Ini (tangan) sakit ndak bisa dilepas (dari gips). Tadi saya bawa sepeda motor, saya kuat-kuatkan buat kesini” terangnya.

“Di mana hati nurani kalian (aparat)? Saya herannya, Satpol PP kok begitu huru-haranya. Kita sesama bangsa lho, kita sesama saudara lho, kok sampai sebegitunya” keluhnya miris.

Tidak ada yang tersisa bagi warga kecuali baju yang menempel hari itu

Bu Sofia menceritakan bahwa hari itu, meski rantai manusia berkali-kali diambrukkan aparat, warga tetap berdiri lagi. “Kita mempertahankan, diseruduk lagi, kita berdiri, diserbu lagi,” terangnya. Ia juga mengeluhkan, bagaimana aparat laki-laki berbaris di depan, menghadapi barisan warga yang banyak diisi oleh ibu-ibu.

Setelah berhasil menerobos warga, Satpol PP memasuki unit-unit rumah warga. Mereka merampas seluruh barang penghuni Rusunawa Gunungsari Surabaya dengan paksa dan brutal.

Barang-barang warga dikeluarkan dari unitnya secara sembarangan. Tertumpuk dan tercampur menjadi satu.

Selepas itu, aparat memasang police line di unit warga tergusur. Warga tak lagi diizinkan memasuki unit mereka. Itu bikin mereka beramai terpaksa tidur jadi satu di pendopo yang terbuka selepasnya.

Sewaktu kericuhan, anak-anak dan lansia sebagai kelompok rentan bertahan di pendopo rusunawa–yang juga berada di halaman. Meski tidak terdampak kekerasan secara fisik seperti Bu Sofia, anak-anak dan lansia terdampak secara psikis.

“Lansia gemetar, Mbak. Melihat mereka (aparat) membuka pintu paksa, merampas barang dengan membara,” terang Sofia.

Lansia gemetar, anak-anak trauma dan tak mau sekolah karena takut dibully

Ia melihat seorang lansia berumur 65 tahun yang sudah sakit sejak menerima SP pertama dari pihak rusun sekitar dua minggu sebelumnya, gemetar melihat kegaduhan siang itu.

Ketika esoknya anak-anak dibangunkan orang tua untuk sekolah seperti biasa, mereka menolak. “Aku malu nggak pakai seragam,” ucap mereka.

Banyak dari mereka trauma dan tidak mau sekolah. Sebab seragam, sepatu, dan buku-buku sekolah mereka telah dirampas paksa aparat.

Selain itu, mereka juga takut akan diperolok teman di sekolah. Olokan semacam, “Huu rusunne kalah huu rusunne kalah!” atau, “Ah, kamu anak penjahat, ya,”

Pemahaman anak-anak SD masih terbatas bahwa polisi bertugas menangkap penjahat. Anak-anak takut diejek sebagai anak penjahat setelah kemarin melihat orangtuanya diperangi aparat dengan sebengis itu.

Melihat itu, Bu Sofia sebagai ibu mau tak mau harus berusaha terlihat “baik-baik saja” di depan anaknya. “Sebisa mungkin kita menghibur diri kita sendiri, kita bercanda sesama ibu. Boleh mikir, tapi jangan ditunjukkan ke anak-anak. Jadi mereka merasa ‘wah, ibuku nggak stres, ibuku kuat’ kan gitu, Mbak”, ucapnya.

Selepas anak-anak tidur, barulah para ibu dapat melepaskan “topengnya” itu, menimbang-nimbang langkah selanjutnya dalam menghadapi kondisi mereka.

Selain anak-anak korban penggusuran, anak-anak dari warga umum yang tinggal di rusun juga terdampak mentalnya. Mereka tidak mau keluar unit setelah melihat bentrokan yang sedemikian brutal kemarin. Setiap hari setelah bentrokan itu, adalah hari-hari yang murung bagi anak-anak Rusunawa Gunungsari.

Penulis: Alya Putri

Editor: Hammam Izzuddin

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA Mahasiswa UNAIR Surabaya Tak Mampu Sewa Kos, Demi Bertahan Hidup Kerja Serabutan hingga Makan Sisa Restoran

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version