Sekelompok anak muda dengan jersey berwarna merah-hitam asyik menikmati pertandingan panahan dari sisi utara tribun Supersoccer Arena (SSA) Kudus. Di punggung jersey mereka tertera nama klub “BARA”, singkatan dari Bhayangkara Archery Raja Ampat. Klub panahan dari Papua Barat Daya ini menjadi salah satu peserta terjauh yang terlibat dalam MilkLife Archery Challenge (MLARC) KEJURNAS Antar Club 2025. Sebuah kompetisi yang digagas Persatuan Panahan Indonesia (Perpani), Milklife, dan Djarum Foundation.
Wan Aras (24) yang baru saja menyelesaikan pertandingan menyambangi teman-temannya di sisi utara tribun. Aras, begitu biasa dia disapa, tersingkir pada tahap 32 besar compound putri kategori umum. Walau begitu, dia masih bisa ngobrol dengan ceria. Baginya, kekalahan hari ini adalah pengalaman berharga yang tidak perlu disesali.
Sikap positif itu berangkat dari kesadaran bahwa pengalamannya dan klub dalam bertanding memang belum seberapa dibandingkan atlet-atlet lain. Secara profesional atau serius, Aras baru benar-benar menekuni panahan setelah BARA terbentuk pada Juli 2025 lalu, alias kurang lebih 6 bulan lalu.
Walau belum lama menyeriusi olahraga ini, Aras sebenarnya sudah berkenalan dengan panahan sejak 2017.
“Dahulu ikut UKM kampus di Medan, tapi ya tidak begitu dibina sehingga tidak sampai ikut lomba-lomba,” ujarnya. Eh, ketika sudah menikah dan diboyong suaminya ke Raja Ampat, Aras malah “nyemplung” sejauh ini ke panahan hingga jadi atlet.
Belakangan baru saya tahu, dia turut terlibat dalam pembentukan dan menjabat sebagai bendahara di klub. Posisi ini membuatnya tidak hanya mengenal sulitnya mengendalikan busur dan anak panah, tapi juga kerumitan mengelola klub di daerah yang masih awam dengan panahan.

Lika-liku membangun klub panahan di daerah timur
Di daerah timur Indonesia, khususnya di Provinsi Papua Barat Daya, panahan belum begitu populer. Di sana memang ada beberapa klub yang tersebar di Sorong dan Raja Ampat. Tapi, klub panahan yang benar-benar dikelola secara profesional dan memenuhi standar untuk mendaftar pertandingan semacam Kejurnas MilkLife Archery Challenge 2025 mungkin baru BARA saja.
“Klub lain tidak seprofesional kami karena mengurus administrasi semacam ini memang ribet,” ujar Aras.
Selain tantangan administrasi, membangun klub di daerah yang masih asing dengan panahan bukanlah hal yang mudah. Soal pengadaan alat misalnya, klub mesti bergelut dengan ongkos kirim. Sebab, alat yang berkualitas dan terpercaya biasanya didapatkan dari Jawa. Belum lagi waktu tunggu yang lama dan pengiriman yang penuh risiko karena jarak yang jauh.
Aras menceritakan salah satu pengadaan alat yang membuatnya geleng-geleng kepala adalah bantalan target panah. Awalnya klub membuat sendiri bantalannya dengan memanfaatkan kardus, serabut kelapa, dan jaring-jaring. Namun, bantalan yang tidak sesuai standar seperti itu bisa merusak anak panah. Padahal, anak panah adalah bagian yang tidak kalah penting, rusak sedikit saja bisa mengganggu lesatannya. Terlebih, harga satu anak panah juga tidak murah, bisa mencapai Rp1 juta.
Klub akhirnya mengupayakan bantalan target panah. Eh, ketika dicek, ongkirnya bisa mencapai Rp1,5 juta karena dikirim dari Jakarta. Sementara, harga bantalan target panah mencapai Rp2 juta. Angka yang tidak masuk akal dalam hitung-hitungan Aras. Namun, tetap dibeli karena memang kebutuhan dasar. Itu baru bantalan target panah, padahal, pernak-pernik untuk olahraga ini lumayan banyak.
Belum banyak yang mendukung
Menggaet anggota klub sebenarnya bukan masalah besar bagi BARA. Walau belum populer, panahan berhasil memikat hati banyak orang. Di tengah hiburan dan olahraga yang “itu-itu saja” di Raja Ampat, kehadiran klub panahan bak primadona, banyak yang ingin mencoba. Saat ini ada setidaknya 70 orang yang tergabung di BARA. Hanya memang yang aktif sekitar 30 orang saja.
Tantangannya lebih banyak datang dari lingkungan sekitar yang tidak begitu memahami olahraga ini. Anggota klub mungkin punya minat yang besar. Namun, hal itu disambut dengan dukungan yang setengah-setengah dari orang tua, sekolah, atau institusi di mana mereka bekerja.
Misalnya begini, untuk mengikuti MilkLife Archery Challenge 2025, peserta perlu latihan lebih intensif. Bisa hampir setiap hari selama 3 bulan. Bahkan, bisa seharian penuh di hari libur. Namun, orang tua yang tidak paham mengenai hal tersebut kerap mencari-cari anaknya ketika latihan.
Belum lagi soal perizinan ke sekolah atau tempat kerja untuk mengikuti pertandingan. Kadang klub perlu turun tangan langsung agar atletnya mendapatkan dispensasi agar bisa ikut pertandingan. Apalagi kalau perlombaan memakan waktu lama seperti MilkLife Archery Challenge 2025 yang digelar selama 10 hari, 9-19 Desember 2025 di Kudus.
Aslinya BARA akan mengirimkan 14 orang untuk berlaga ke Kudus, terdiri dari 12 atlet dan 2 official. Namun, karena tidak dapat izin dan sakit, 4 orang gagal berangkat. Akhirnya, klub dari Raja Ampat ini mengirimkan 9 atlet dan 1 official saja.
“Atlet setidaknya harus izin hingga 12 hari. Nggak semua sekolah atau instansi akan mengizinkannya,” jelas Aras.
Menelan lebih dari Rp60 juta untuk ikuti kejuaraan panahan
Mengikuti kompetisi semacam ini pun perlu dana yang tidak sedikit. Bayangkan saja, klub perlu mempersiapkan ongkos setidaknya Rp60 juta untuk mengirimkan total 12 atlet dan official.
“Itu baru transportasi, belum yang lain-lain,” kata dia.
Perjalanan klub hingga menginjakkan kaki ke Kota Kretek ini memang tidak bisa dibilang mudah, perlu hampir dua hari. Dari Raja Ampat, mereka naik speed boat terlebih dahulu ke Sorong. Kemudian naik pesawat untuk turun di Bandara Juanda Surabaya. Sebelum benar-benar mendarat di Pulau Jawa mereka perlu transit dulu di Makassar. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan bus hingga sampai ke Kudus.
Bersyukurnya, seluruh biaya untuk mengikuti kejuaraan ini didanai oleh Kapolres Raja Ampat. Kebetulan, klub ini memang berada di bawah binaan Kapolres Raja Ampat. Namun, itu bukan berarti klub jadi “manja”. Kesempatan ini mereka manfaatkan untuk berusaha sebaik-baiknya menambah pengalaman.
Selain itu, klub juga bersiasat dengan berbagai macam cara menggalang dana untuk operasional. Salah satunya, mereka membuka panahan umum untuk siapa saja yang berminat mencoba olahraga ini. Tarif yang dikenakan Rp35.000 per 1 jam.
Menghidupkan panahan di Raja Ampat memang tidak mudah. Namun, bagi Aras dan pengurus klub, semua itu sirna ketika melihat senyum dan semangat dari anggota. Dia pun berharap anggota klub bisa semakin disiplin dan fokus berlatih. Terlebih, dia melihat, daerah Papua Barat Daya sebenarnya punya bibit-bibit “emas” di bidang panahan.
“Alhamdulilah diberi rezeki. Anak-anak ini sebenarnya sudah punya olahraga lain seperti futsal dan basket, fisiknya sudah bagus, tinggal diarahkan,” katanya.
Sejauh MilkLife Archery Challenge 2025 berlangsung hingga Selasa (16/12/2025), anggota BARA belum ada yang menyabet kemanangan. Namun, Aras optimistis anggota klub akan semakin berkembang, mengingat adanya bibit berkualitas dan peningkatan signifikan dari waktu ke waktu.
“Ini (usia klub) masih 6 bulan jadi wajar (belum juara), tapi siapa tahu tahun depan kita yang ada di podium itu,” tutup dia.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Kedewasaan Bocah 11 Tahun di Arena Panahan Kudus, Pelajaran di Balik Cedera dan Senar Busur Putus atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.