Apa yang ditabur akan sepadan dengan apa yang dituai. Pribahasa itu agaknya cocok untuk menggambarkan bagaimana akhirnya warga bersikap terhadap mahasiswa KKN.
Jika mahasiswa KKN menabur kesan baik, maka sambutan hangat dan perpisahan penuh haru yang bakal mereka dapat. Tapi sebaliknya. Jika menanam kesan buruk, warga bisa jadi tak segan berniat jahat. Begitulah yang terjadi pada mahasiswa KKN di Desa Alun-alun, Ranuyoso, Lumajang Jawa Timur yang belum lama ini viral.
Mahasiswa KKN “sombong” tak menyapa warga desa
Seorang warga Desa Alun-alun melancarkan aksi pencurian dua motor mahasiswa UIN KHAS Jember di Desa Alun-alun. Motor hasil curian itu lantas dijual.
Hilangnya motor tersebut lantas sempat menghebohkan warga. Kepanikan menjalar di antara mahasiswa KKN tersebut.
Hingga akhirnya Polres Lumajang berhasil membekuk Saman (32), pelaku pencurian yang ternyata ditugaskan kepala desa untuk membantu keamanan mahasiswa KKN.
Usut punya usut, ternyata Saman merasa jengkel dan sakit hati kepada rombongan mahasiswa KKN dari UIN KHAS Jember. Dari pengakuannya, anak-anak kampus itu kerap tak mengindahkan sapaan Saman.
“Sombong mereka nggak mau nyapa. Kalau yang perempuan sih masih nyapa. Tapi yang laki-laki disapa nggak jawab,” ucap Saman usai diamankan Polres Lumajang, seperti dikutip dari Kumparan.
“Benar saya disuruh jaga sama kepala desa (untuk jaga mahasiswa KKN). Tapi anak-anaknya sombong, jadi saya ambil motor mereka),” imbuhnya.
Mencoba menyambut hangat, tapi balasannya bikin kesal
Membaca berita viral tersebut, Nuraji (27), bukan nama asli, merasa realet. Karena dia pernah berbuat “iseng” dengan mahasiswa KKN di desanya—sebuah desa di Jawa Tengah.
Pada 2023 lalu, sekelompok mahasiswa asal sebuah kampus di Jawa Tengah tiba di desa Nuraji.
Sebenarnya desa Nuraji memang kerap menjadi jujukan mahasiswa KKN. Namun, sempat tidak ada lagi selama 2020-2022 karena pandemi Covid-19.
“Rasanya selalu ada lah satu atau dua mahasiswa KKN yang sombong, nggak berbaur dengan warga. Tapi kalau yang datang pada 2023 itu nggak tahu diri semua. Jadi bikin kesal,” ujar Nuraji, Rabu (20/8/2025).
Nuraji adalah ketua Karang Taruna desa. Oleh karena itu, dia mendapat mandate untuk menyambut dan mendampingi mahasiswa KKN tersebut sebaik mungkin.
Dan itu memang yang dia lakukan. Nuraji mencoba menyambut hangat kehadiran mereka. Akan tetapi, sejak pertama kali kedatangan mereka, Nuraji sudah menangkap kesan tak antusias dan jutek dari anak-anak kampus itu.
“Tersinggung iya. Kesal lah. Tapi karena baru awal, ya sudah aku coba maklum. Mungkin mereka canggung,” tutur Nuraji.
Mahasiswa KKN “Sok pintar!”
Setelah dua minggu berlalu, Nuraji tak melihat ada perubahan sikap dari para mahasiswa KKN itu. Mereka bahkan terkesan membatasi diri dari warga desa, termasuk pada Karang Taruna.
“Kami dari Karang Taruna itu padahal selalu siap loh kalau diundang rapat. Tapi kami datang rapat ya datang saja, maksudnya mereka ngajak rapat sambil cuek gitu. Nggak seperti mahasiswa sebelumnya, ada lah satu dua mahasiswa yang ngajak ngobrol, sekalipun sekadar basa-basi. Kalau waktu itu nggak ada basa-basi,” ungkap Nuraji.
Bahkan, Nuraji akhirnya merasa kalau para mahasiswa KKN itu “sok pintar”. Sebab, tiap kali Karang Taruna urun rembug atas suatu program, Nuraji menangkap dua respons tak menyenangkan dari mereka.
Pertama, kalau ada anggota Karang Taruna berbicara, yang benar-benar memerhatikan hanya satu-dua orang saja. Sisanya sibuk berpangku tangan sambil sibuk main hp. Wajah mereka nglentruk.
Nuraji tentu ingin berprasangka baik. Barangkali mereka capek. Tapi, jika melihat raut wajah tak antusias mereka, Nuraji merasa mereka meremehkan pendapat teman-teman Karang Taruna.
Kedua, sering kali urun rembug yang diberikan Karang Taruna disanggah dan pada akhirnya tidak dipakai sama sekali. Padahal, bagi Nuraji, sebagai warga desa asli dia lebih tahu perihal yang dibutuhkan desa.
Oleh karena itu, dia berharap ide Karang Taruna bisa dikolaborasikan dengan ide anak-anak KKN. Itulah yang membuat Nuraji berpikir, memang mereka sok pintar.
Jarang berbaur, menyapa, dan tersenyum pada warga
Keresahan atas keberadaan mahasiswa KKN itu ternyata tidak hanya dirasakan Nuraji dan teman-teman Karang Taruna setempat. Sejumlah warga pada akhirnya berbisik-bisik.
Nuraji sering mendapat aduan dan kesangsian dari warga. Pasalnya, mahasiswa KKN itu cuek sekali. Jarang menyapa dan tersenyum kepada warga, bahkan sekalipun berpapasan di Jalan. Kalau senyum pun hanya senyum tipis.
“Paling parah itu aku lihat sendiri. Mereka bawa motor, pas papasan dengan warga, bukannya menyapa malah ngebut. Itu puncak kekesalanku,” ungkap Nuraji.
“Berbaur? Apalagi. Mereka lebih banyak di posko daripada berbaur dengan warga,” sambungnya.
Bikin warga punya “niat jahat” (1)
Lama-lama karena sudah sangat muak, Nuraji dan teman-teman Karang Taruna akhirnya memiliki “niat jahat” ke mahasiswa KKN tersebut.
“Kami nggak pernah mau lagi diajak rapat. Nggak mau lagi kalau mau dilibatkan kegiatan mereka. Kami bilang datang, tapi nggak datang. Ya PHP lah,” kata Nuraji.
Sampai-sampai, Nuraji dkk sampai nekat berbuat iseng. Suatu tengah malam, Nuraji dan sejumlah anak Karang Taruna “menyatroni” posko. Mereka melempari posko dengan kerikil, berulang-ulang. Niatnya memang ingin mengganggu jam tidur mereka. Selain juga agar mereka takut karena mengira diganggu demit.
“Malam itu juga ketuanya sampai kirim WA aku. Bilang ada yang ganggu di posko. Kujawab saja, dah biasa, Mas. Paling demit. Kalau demit sudah ganggu gitu berarti dia nggak suka sama orang yang tinggal di situ. Dibaca tapi nggak dibales,” ujar Nuraji. Nuraji ingat, dia dan teman-temannya sampai ngakak-ngakak karena puas.
Esok harinya, mereka langsung menemui Nuraji. Ingin ngobrol soal keamanan posko. Niat mereka ingin pindah ke posko yang lebih aman, jadi berharap disediakan oleh Karang Taruna.
“Enak aja!” Batin Nuraji. Dia dengan sok halus menyebut, setiap ada anak KKN, ya tempat itu poskonya. Tidak ada pilihan pindah.
Bikin warga punya “niat jahat!” (2)
Tak berhenti di situ, Nuraji dan kawan-kawan Karang Taruna bahkan sampai iseng gembosi ban beberapa motor mahasiswa KKN. Mereka tentu kelabakan karena tidak bisa beraktivitas. Sementara di des aitu tidak ada tambal ban, harus keluar desa kalau mau menambal.
“Itu juga minta bantuanku. Kujawab aku sibuk. Aku cuma kasih tahu saja lokasi tambal ban yang bisa dijangkau di mana,” kata Nuraji.
Tapi Nuraji juga punya batasan. Hanya sebatas iseng-iseng seperti itu, tidak sampai di tahap ingin mencuri barang milik mereka.
“Misalnya mereka nggak betah, ya memang itu tujuan kami. Biar nggak betah dan cepat pulang aja. Wong kami juga nggak betah dengan keberadaan mereka. Nggak pengaruh apa-apa,” kata Nuraji.
Sebab, Nuraji menilai, program-program mereka sebenarnya juga tidak ada pengaruh apapun. Hanya bersifat seremoni-seremoni dan grudak-gruduk.
Datang ke desa bukan untuk “kerja nyata”, tapi niatnya lain
Persoalan warga desa vs mahasiswa KKN memang kasuistik. Mojok sudah banyak menyajikan liputan yang memotret pesinggungan warga desa vs mahasiswa KKN.
Kadang warga desa lah yang justru menyebalkan dan bertabiat buruk. Sementara mahasiswa KKN-nya mencoba mengabdi sebaik mungkin.
Sebaliknya juga ada. Warga sudah sangat baik, tapi si mahasiswa lah yang tidak tahu diri, seperti kasus Nuraji. Karena memang ada mahasiswa yang saat KKN tidak tulus “Kerja Nyata”, tapi punya niat lain.
Satu, niat hanya formalitas belaka karena itu bagian dari perkuliahan. Dua, dalam konteks desa tertentu di daerah yang dikenal sentra wisata, niat mahasiswa datang tidak lebih karena urusan pengin senang-senang dan berwisata, bukan kerja nyata, seperti dalam tulisan, “Repotnya KKN Bareng Mahasiswa Kaya: Sibuk Rebahan dan Main HP, Enggan Bergaul Malah “Rendahkan” Kehidupan Warga Desa”.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Perpisahan Mahasiswa KKN Bukannya Mengharukan malah Menyebalkan Gara-gara Sikap Warga, Ekspektasinya Terlalu Berlebihan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
