Dahulu, industri komik di Indonesia pernah berada di masa jaya. Kemudian industri ini seakan runtuh di awal tahun 1980-an. Keruntuhannya sering diasumsikan sebagai akibat dari masuknya industri-industri besar komik asing ke Indonesia, seperti Manga dari Jepang. Padahal, dalam kenyataannya, pemerintahan Orde Baru lah yang berperan besar di balik keruntuhan industri komik lokal.
***
Film Gundala dan Sri Asih merupakan contoh adaptasi dari komik-komik klasik Indonesia. Cerita-cerita komik tersebut berasal dari era kejayaan komik di Indonesia. Selain yang telah disebut, masih banyak karya komik lainnya pada era tersebut yang cukup populer saat itu.
Namun, sekarang ketika pergi ke toko buku, cukup sulit untuk mencari komik-komik Indonesia. Sekarang pun tidak ada Industri penerbit yang secara khusus menerbitkan komik. Lalu ke mana komik-komik karya Indonesia yang dahulu marak di toko buku?
Pada Senin (25/8/25), Mojok berkesempatan berbincang dengan Hikmat Darmawan. Hikmat tak hanya salah satu pengamat budaya yang berkecimpung di dunia perkomikan Indonesia. Ia juga pernah meneliti tentang globalisasi kultur Manga Jepang dan kontributor di buku Mangasia karya Paul Gravett.
Sejarah yang tidak komprehensif
Jika melihat akar pemicu runtuhnya industri komik di Indonesia, tentunya tidak dapat lepas dari sejarahnya. Namun, menurut Hikmat, sejarah komik di Indonesia tidak tertulis secara utuh dan komprehensif.
“Ada kepingan-kepingan sejarah komik, biasanya tentang kontek-konteks spesifik yang ditulis oleh jurnalis dan/atau kolektor,” ujar Hikmat.
Akan tetapi, walaupun beberapa kepingan sejarah ini memberi wawasan yang signifikan, masih terdapat bias dari selera para penulis.
Ada satu buku yang biasanya menjadi rujukan utama ketika membicarakan sejarah komik Indonesia, yaitu buku Komik Indonesia karya Marcel Bonneff. Kendati Marcel Bonneff sendiri menolak jika disebut sebagai ahli komik di Indonesia.
”Ini dikarenakan buku tersebut adalah hasil penelitian komik dalam konteks sosiologi,” kata Hikmat terkait buku Marcel Boneff.
Bermula dari komik strip hingga dibukukan
Hikmat membagi sejarah komik Indonesia dalam empat periode: era komik strip (1929–1954), era kejayaan komik Indonesia (1954–1967), era keruntuhan komik Indonesia pasca G30S (1967–1992), dan era komik kontemporer (1992–sekarang).
Pada tahun 1929-an komik strip ini dapat ditemukan di surat kabar mingguan Sin Po. Komik Indonesia yang pertama kali beredar dengan judul adalah Put On. Itulah kenapa komik ini disebut sebagai “sesepuh” komik Indonesia. Era komik strip ini berlangsung sampai 1954 sebelum akhirnya format cerita komik dibukukan.
Akan tetapi, ada beberapa yang berargumen bahwa komik sebelum 1945 sulit untuk dikatakan komik Indonesia, karena Indonesia sebagai “sebuah negara” belum terbentuk. Tapi tetap ada yang berargumen bahwa era tersebut tetap dapat dikatakan sebagai bagian dari sejarah komik Indonesia, karena komik-komik tersebut dibuat di dalam negeri.
Kejayaan komik Indonesia
Pada periode kedua (berlangsung dari 1954–1967) ditandai dengan komik-komik yang mulai dibukukan. Periode kedua inilah yang sering dikatakan sebagai era kejayaan komik.
Pada saat itu, industri komik berkembang di berbagai kota, dari Jakarta hingga Medan. Salah satu yang paling disorot adalah Kota Bandung.
Masa itu, Kota Bandung bahkan dijuluki sebagai “Ibu Kota Komik”. Sebab, di Bandung ada penerbit PT Melodi sebagai salah satu penerbit yang gencar memproduksi komik. Komik-komik populer yang lahir di masa itu sebut saja, Sri Asih dan Mahabharata karya R. A. Kosasih.
Menurut Hikmat, komik-komik ini menjadi capaian yang luar biasa baik dari segi cerita maupun segi ilustrasinya.
“Bayangkan, di komik Sri Asih pahlawan super pertama kita adalah perempuan, jadi ya cukup progresif sebetulnya,” jelas Hikmat dengan kagum.
“Menariknya juga komik genre wayang seperti Mahabharata ini cenderung lebih kompleks ketimbang komik-komik Amerika pada saat itu. Walaupun disederhanakan penuturannya, watak dari karakter para tokoh utamanya tidak hitam-putih,” sambung Hikmat. Bahkan, komik Mahabharata ini pada akhirnya menjadi tonggak populernya genre komik wayang di tahun 1960-an.
Tragedi 1965: awal keruntuhan
Menyusutnya komik Indonesia terjadi karena beberapa faktor, seperti krisis kertas di Medan pada tahun 1964 dan berkembangnya industri Manga Jepang yang melanda Indonesia. Namun, yang jarang disoroti adalah, peran besar tragedi 1965.
Krisis politik yang dipicu oleh tragedi 1965 menyebabkan banyak orang media di wahana penerbitan komik kabur karena takut terbantai. Krisis politik ini juga mempengaruhi industri komik di Jakarta, yang juga menjadi salah satu kota dengan industri komik yang kuat pada saat itu. Saat itu pun terjadi sweeping di penerbitan-penerbitan komik Jakarta.
Salah satu komikus populer dari Jakarta, Ganes T.H., bahkan sempat diinterogasi karena bekerja di sebuah koran yang dianggap sebagai underbow PKI.
Dalam mencari upaya untuk membela hak-haknya, Ganes T.H. bergabung dengan asosiasi Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia (Ikasti). Ketika diinterogasi, ia bersama Ikasti bernegosiasi dengan polisi untuk membangun sebuah mekanisme yang mengatur perizinan terbitnya komik.
Hasil perundingan itu antara lain: komik yang akan diterbit harus disortir terlebih dulu. Sebuah komik baru dikatakan layak terbut jika menerima setempel atau cap “izin” dari asosiasi tersebut.
Seiring itu, popularitas genre komik wayang pun bergeser menjadi genre komik silat, salah satunya komik karya Ganes T.H.: Si Buta dari Gua Hantu. Komik Si Buta ini mengikuti format komik Amerika yang seukuran dengan buku tulis dan difilmkan berulang kali.
Selain genre komik silat, genre komik romansa juga naik popularitasnya di tengah ketatnya mekanisme penerbitan komik. Genre ini juga mulai menarik pelaku sinema untuk mengangkatnya sebagai produk layar lebar.
Orde Baru dan Runtuhnya Industri Komik Indonesia
Memasuki tahun 1980-an, komik karya orang Indonesia seakan menghilang atau mati suri. Banyak yang menduga hal tersebut disebabkan karena semakin tumbuhnya industri Manga dari Jepang yang tembus ke pasar Indonesia.
“Yang sebetulnya terjadi adalah wahana outlet utama pendistribusian komik tergusur, yaitu rental-rental komik oleh toko-toko buku,” kata Hikmat.
Pemerintah saat itu memberi ancaman bredel terhadap berbagai media, dan komik berpotensi dicap sebagai bacaan “buruk”. Walaupun secara resmi dikategorikan sebagai bacaan anak, yang bermasalah justru isi dari komik-komik yang sering kali tidak layak bagi pembaca anak-anak: banyak mengandung tema-tema dewasa. Kira-kira begitu dalihnya.
Jadi, dengan rental komik tergusur dan popularitas komik asing seperti Manga tumbuh dengan pesat, komik karya asli Indonesia merosot peminatnya.
“Padahal, sebetulnya komik-komik Indonesia ini dapat co-exist bersama komik-komik dari luar,” tutur Hikmat dengan nada kecewa.
Industri era kontemporer
Komik Indonesia mulai bergeliat lagi di tahun 1992, lalu bertahan hingga sekarang. Era inilah yang disebut sebagai era komik kontemporer. Era ini ditandai dengan munculnya komik-komik indie. Tanpa industri percetakan, awal mulanya banyak komik yang menggunakan kertas seperti kertas bekas kalender dan semacamnya.
Komik-komik kecil atau indie yang berbasis komunitas ini didorong dengan adanya festival-festival kecil dan di-eskalasi dengan diadakannya Pameran Komik dan Animasi Nasional pertama di tahun 1998. Pameran tersebut didorong oleh inisiatif Edi Sedyawati, seorang sejarawan dan arkeolog.
Studio-studio komik yang ada saat itu banyak bergabung ke pameran ini, dengan kota-kota utamanya Jakarta, Jogja, dan juga Bandung. Basis dari studio ini utamanya berangkat dari kampus, seperti UGM, ISI, ITB, Trisakti, IKJ, Universitas Pancasila, dan lain sebagainya.
Pada 2011, medium komik mulai bergeser ke digital dan I.P. (Intellectual Property). Model-model I.P. ini bisa dilihat dari munculnya komik Si Juki dan Tahilalats yang berekspansi di luar medium komik sebagai produk cetak.
“Tapi yang menarik, pada periode ini muncul pembaca dan kreator perempuan, yang sebelumnya boys club. Ini dikarenakan mereka dibesarkan dengan Shojo Manga (penerbitan Mangan di Jepang yang memang ditargetkan untuk para perempuan muda),” ucap Hikmat.
Namun, hingga kini, komik karya Indonesia sebagai medium cerita yang dibukukan sudah jarang terlihat di toko buku. Selain tidak adanya industri juga disebabkan karena pergeseran ke I.P. tadi.
“Pergeseran ke I.P. membuat komik tidak fokus dengan produk cerita dan kelekatan dengan masyarakat pembaca,” lanjut Hikmat. Industri komik era sekarang lebih banyak bergerak pada pengembangan brand yang mendorong monetasi di merchandise.
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Mohamadeus Mikail
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Cerita di Balik Kesuksesan Komik Kamvret: Sempat Mencoba Jadi Guru, tapi Demam Panggung, Kini Bisa Servis Motor dari Hasil Bikin Komik Lucu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












