Keramahan di Sepanjang Jalan Rembang-Jogja yang Sulit Ditemui Saat ke Surabaya

1 Kilometer Paling Menyebalkan di Jalan Kaliurang yang Bikin Pengendara Naik Darah.MOJOK.CO

Ilustrasi 1 Kilometer Paling Menyebalkan di Jalan Kaliurang yang Bikin Pengendara Naik Darah (Ega Fansuri/Mojok.co)

Perjalanan motoran dari Rembang ke Jogja ternyata memberi kesan tersendiri perihal keramahan orang-orang di sepanjang jalan. Keramahan yang, setidaknya buat saya pribadi dan dua teman saya, agak berbeda dengan saat melakukan perjalanan ke Surabaya.

***

Setidaknya sudah empat kali saya motoran dari Rembang, Jawa Tengah ke Jogja. Yang paling baru adalah pada Senin, 29 Januari 2024 lalu.

Sementara kalau ke Surabaya, tentu tidak terhitung sudah berapa kali sejak saya kuliah pada 2017 silam.

Dan dari dua rute perjalanan yang berlawanan tersebut, saya punya penilaian tersendiri perihal orang-orang yang saya temui di sepanjang jalan.

Saling tegur sapa meski tak kenal

Setelah keluar dari Rembang, nyaris sepanjang jalan hujan mengguyur tanpa henti dari kabupaten ke kabupaten yang saya lalui untuk menuju ke Jogja. Benar-benar tak ada satu daerah pun yang tak basah.

Alhasil, saya pun harus banyak berhenti untuk berteduh jika hujan yang mengguyur rapat dan deras.

Namun, motoran sendirian dan kehujanan di sepanjang jalan nyatanya tak membuat saya merasa nelangsa-nelangsa amat.

Sebab, setiap berteduh, ada saja orang—yang tentu saya tak kenal—mengajak berbincang, begitu akrab, seolah kami pernah kenal sebelumnya.

Seperti misalnya saat saya memasuki Kudus, Jawa Tengah. Beberapa saat sebelum melintasi jembatan ikonik “Kudus Kota Kretek”, awalnya hanya gerimis kecil-kecil. Sehingga saya masih berani untuk menerabas.

Akan tetapi, persis saat melintasi jembatan, gerimis kecil-kecil tadi seketika berubah jadi hujan deras. Saya pun lantas sesegera mungkin memacu motor, mencari tempat berteduh terdekat.

“Weh, bawa tas gunung, mau muncak po, Mas? Jangan nekat, Mas, musimnya kayak gini,” ujar seorang pria gemuk di samping saya saat kami sama-sama berteduh di sebuah mini market.

Mboten (tidak), Mas, mau ke Jogja,” jawab saya sembari tersenyum.

Tak lama setelah itu, pria berumur kisaran 30an tahun itu menyodori saya sebatang rokok yang baru saja ia beli dari mini market tersebut.

Lantas, kami pun berbincang panjang sembari menunggu hujan sedikit mereda. Sesekali juga melempar candaan

Bahkan, ia sempat berpamitan saat hendak melanjutkan perjalannya ke Semarang.

“Aku disik (duluan), Mas. Alon-alon wae (Pelan-pelan saja),” ujarnya.

Kepedulian pada musafir yang kehujanan

Tak berhenti di situ, hujan deras pun memaksa saya harus kembali berhenti dan mencari tempat berteduh saat saya tiba di Kopeng, Jawa Tengah.

Saya sempat bingung harus berteduh di mana. Lantaran tak ada mini market atau toko dengan emperan luas yang bisa dijangkau untuk berteduh.

Maka, saya pun berteduh ngasal di teras rumah warga setempat.

Ilustrasi – Menemukan keramahan dala perjalanan Rembang ke Jogja yang tak ditemui di Surabaya. (Aly Reza/Mojok.co)

“Masuk sini aja, Mas. Deres, pasti lama itu.” Suara itu datang dari dalam rumah, sedikit mengagetkan saya yang berdiri menggendong tas gunung sembari mendekap tas berisi laptop.

Oh nggeh, Bu, matur nuwun. Mpun teng mriki mawon (Oh iya, Bu, terima kasih. Sudah di sini saja),” belas saya.

Mendengar jawaban saya, ibu-ibu—kira-kira berumur 40an tahun lebih sedikit—itu keluar menghampiri, menanyakan dari mana dan hendak ke manakah saya pergi.

“Ya sudah, kalau pegel berdiri, masuk saja, duduk di ruang tamu. Saya tinggal masuk dulu,” tuturnya kemudian.

Keramahan saat ke Jogja yang sulit ditemui saat ke Surabaya

Dua hal di atas adalah keramahan-keramahan yang amat jarang saya alami saat perjalanan dari Rembang ke Surabaya, Jawa Timur (atau sebaliknya). Dalam kasus ini adalah saat melintasi Pantura.

Jika kebetulan saya berhenti di mini market dan duduk bersebalahan dengan seseorang, tak akan ada percakapan yang terjadi. Kecuali jika saya lah yang mencoba mengajak berbincang duluan.

Namun, itupun menjadi sesuatu yang riskan. Karena bisa jadi sapaan saya justru dianggap mengganggu dan terkesan sok akrab. Sebab, demikianlah yang sering teman saya, Sohib (26) alami.

“Pernah nyoba nyapa (saat duduk dengan orang asing di mini market), tapi dari gelagat dan caranya menjawab kayak kurang nyaman,” katanya.

Sohib sendiri sudah beberapa kali motoran dari Surabaya-Rembang (juga sebaliknya) dan Rembang-Yogyakarta (juga sekitarnya), saat kami sama-sama masih suka ekspedisi mendaki gunung-gunung di Jawa Tengah berdua.

“Memang terasa bedanya. Kalau jalan ke Jawa Tengah, rasanya orang-orangnya lebih hangat dan ramah. Ini subjektif loh. Bukan berarti aku menganggap orang Jawa Timur nggak ramah,” lanjutnya.

“Kalau di Jawa Timur, khususnya di Surabaya ya, harus kenal dulu baru bisa saling sapa dengan akrab.” tuturnya.

Pun jika ada kasus berteduh di teras orang seperti yang saya alami, jika si pemilik rumah tahu pun pasti hanya sekadar tahu.

“Memang tidak melarang, hanya saja seperti nggak peduli,” sambung Sohib.

Keramahan di Jateng-Jogja yang tulus dan tak patut dicurigai

Ada satu momen yang paling Sohib ingat saat ekspedisi mendaki gunung-gunung di Jawa Tengah, yakni saat ia baru saja turun dari Gunung Sumbing via Butuh, Kaliangrik di tengah musim hujan pada 2022 silam.

Dalam perjalanan meninggalkan kawasan pendakian, hujan deras tak pelak membuat tubuhnya basah kuyup dan sedikit menggigil.

Lalu seorang bapak-bapak petani yang mengendarai motor modifan khas motor-motor warga lereng gunung mendekati motor Sohib yang melaju pelan.

“Kalau kedinginan mampir rumah saya dulu, di depan sana. Ada api unggun buat menghangatkan badan. Kira-kira begitulah yang si bapak bilang,” beber Sohib menirukan apa yang si bapak petani ucapkan.

“Gak curiga sama sekali. Karena setelah beberapa kali mendaki di Jateng, ternyata keramahan mereka tulus,” ungkapnya.

Dan benar saja, si bapak-bapak petani itu benar-benar mempersilakan Sohib untuk berteduh dan menghangatkan badan di rumahnya.

“Seingatku malah dibuatin teh anget juga. sSi bapak nawarin makan juga. Terus ngobrol-ngobrol,” ucapnya mencoba mengingat-ingat.

“Dan ini jarang aku temui saat mendaki di Jatim. Jarang ya, bukannya nggak ada (keramahan) sama sekali,” pungkasnya.

Sohib juga mengaku memiliki kenangan hangat saat singgah di Yogyakarta beberapa kali.

Saat berkunjung di beberapa tempat wisata, tiap berpapasan dengan warga lokal, pasti ia sering menerima sapaan “monggo” atau sekadar anggukan kepala dan senyum ramah dari mereka

Kehangatan di Jogja yang sulit ditemui di Surabaya

Teman saya yanga lain, Dzikri (23), mengungkapkan hal yang kurang lebih sama.

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu menyebut bahwa di Yogyakarta, sesimpel kita duduk di depan pintu kamar kosan saja, pasti orang-orang dari kamar sebelah akan “permisi” lebih dulu jika hendak lewat di depan pintu kamar kita.

“Pas aku nginep di kosmu (di Surabaya), kayak nggak kenal yawis (yasudah) nggak kenal. Cuek aja,” ungkap pemuda asal Rembang itu.

“Orang-orang di Jogja itu ramah. Yang gathel biaya hidup dan UMR-nya” imbuhnya sembari menahan tawa.

Reporter: Muchamad Aly Reza

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Surabaya Tidak Selalu Indah, Masih Banyak Hal Negatif yang Membuat Warganya Resah dan Putus Asa

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version