Berkah Kos Rp200 Ribu di Surabaya, Terlalu Jelek untuk Ditempati tapi Lebih Aman dari Banjir ketimbang Kos Mahal

Berkah sewa kos Rp200 ribu di Jemur Wonosari, Surabaya, yang selalu aman dari banjir MOJOK.CO

Ilustrasi - Berkah sewa kos Rp200 ribu di Jemur Wonosari, Surabaya, yang selalu aman dari banjir. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kos murah seharga Rp200 ribu di Jemur Wonosari, Wonocolo, Surabaya, di hari-hari biasa memang menyiksa bagi Haqi (27). Karena relatif hanya bisa ditempati di malam sampai pagi.

Selebihnya, Haqi memilih mengungsi. Entah di warung kopi, pelataran masjid kampusnya (UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA)), atau yang paling sering ya di kos temannya yang lebih adem.

Tidak usah menunggu puncak musim kemarau. Panas Surabaya di hari-hari biasa saja sudah sangat menyengat. Apalagi atap kosnya full asbes. Makin tersiksa lah dia kalau mendiami kosnya tersebut di jam-jam tujuh pagi sampai tiga sore.

Begitulah kenangan Haqi atas kosnya di Jemur Wonosari, Wonocolo, Surabaya.

Namun, kos murah yang Haqu tempati tersebut bukannya tanpa hal baik sama sekali. Di musim hujan, kos murah itu justru membuatnya lebih santai ketimbang penghuni beberapa kos lain.

4,5 tahun di kos murah Rp200 ribu Jemur Wonosari Surabaya

Haqi menempati kos murah di Jemur Wonosari, Surabaya, tersebut sejak 2016. Tahun pertamanya kuliah di UINSA.

“Sejak awal masuk kuliah memang langsung nemu di sana. Karena aku memang carinya yang murah,” ungkapnya, Senin (16/12/2024).

Pemuda asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu kemudian bisa bertahan di sana hingga lulus kuliah. Persis empat tahun.

Di titik tertentu, dulu, Haqi sering kali merasa sudah tak betah tinggal di kos murah itu. Dia bahkan beberapa kali diajak oleh temannya untuk ngekos bareng di kos yang lebih adem dan nyaman.

Haqi tentu saja tertarik. Tapi, dia selalu berpikir, kalau masih ada kos di harga Rp200 ribu, dia—karena latar belakang ekonomi pas-pasan—merasa eman saja kalu harus cari yang lebih mahal. Terlebih kiriman orang tuanya juga pas-pasan.

“Aku itu sebulan dapat dari orang tua Rp800 ribu. Paling banter Rp1 juta, tapi ya jarang. Yang jelas nggak pernah lebih dari itu,” akunya. Sementara saat kuliah, Haqi memang tidak nyambi bekerja. Jadi tidak ada pemasukan tambahan.

Menerjang banjir untuk ke kampus

Namun, setiap musim hujan tiba, Haqi justru merasa beruntung karena kosnya menjadi kos murah yang cenderung aman. Tak pernah kebanjiran.

Sejak bertahun-tahun lalu, Jemur Wonosari masuk dalam wilayah di Surabaya yang kerap terendam banjir tiap musim hujan. Dan begitu lah yang Haqi rasakan setidaknya hingga dia lulus kuliah.

“Di sepanjang Gang Lebar sebagai akses utama, itu bisa di atas mata kaki lebih banjirnya. Jadi dulu ngalamin kuliah itu copot sepatu dan nyincing celana,” jelas Haqi.

Dan itu, kata Haqi, adalah pemandangan biasa di kalangan mahasiswa-mahasiswa UINSA seangkatannya tiap Jemur Wonosari terendam banjir. Karena memang banyak yang berjalan kaki lewat Gang Dosen yang menghubungkan Gang Lebar dengan “pintu doraemon” UINSA.

“Yang paling tersiksa tentu cewek-cewek. Mereka kan kuliah pakai gamis atau rok panjang. Agak susah kalau mau ke kampus,” ucap Haqi.

“Nggak mungkin kalau nggak basah. Karena walaupun sudah hati-hati, kadang kan kena cipratan pengendara motor juga,” imbuhnya ekspresif. Dia selalu semangat mengenang masa-masa sulit saat menjadi mahasiswa ekonomi pas-pasan.

Menikmati banjir dari kosan

Dalam rentang 2016-2021, kata Haqi, ada beberapa kos murah di Jemur Wonosari, Surabaya. Dari Rp200 ribu-Rp300 ribu. Hanya saja, bukan risiko kenapa sebuah kos disewakan dengan harga sangat murah.

Beberapa teman Haqi yang tinggal di kos murah tersebut sering harus pontang-panting saat musim hujan. Sebab, air dari sungai yang membelah Jemur Wonosari sering kali meluap. Selokan-selokan meluap. Luapannya lantas masuk ke kos-kos murah atau rumah-rumah yang lantainya terlalu datar.

“Kalau kosku kan modelnya berundak. Di atas mata kaki sedikit. Jadi kalau banjir, airnya nggak menyentuh teras kos-kosan,” terang Haqi.

“Jadi kalau musim hujan malah momen aku bersyukur. Karena meski murah, ternyata empat tahun setengah selamatkan aku dari banjir,” sambungnya.

Saat banjir melanda Jemur Wonosari, Surabaya, Haqi yang malas menerjang genangan air kotor di Gang Lebar biasanya akan menggelar banner di teras kosnya. Menyesap rokok, menikmati kopi yang airnya dimasak menggunakan rice cooker, menikmati rintik hujan, sembari memantau status WhatsApp beberapa temannya yang tampak sibuk mengamankan barang-barangnya karena banjir sudah masuk kamar.

“Bahkan ada juga yang kosnya lebih mahal. Rp400 atau Rp500 ribu seingatku. Itu karena nggak berundak, ya tetap jadi korban banjir,” ujar Haqi menceritakan temannya.

Teman Haqi sedang tertidur saat hujan lebat mengguyur Surabaya pada suatu malam 2016 sialm. Lalu tiba-tiba dia merasakan ada air bercampur pasir di bawah punggungnya. Saat dia bangun, ternyata banjir masuk kamarnya. Kasurnya kuyup. Buku-bukunya tak tertolong.

Kejadian itu nyaris berulang. Akhirnya, teman Haqi memutuskan pindah: mencari kos baru. Mahal sedikit tak masalah. Yang penting tidak repot kalau banjir.

Jemur Wonosari Surabaya kian surut

Teman Haqi tersebut kini sudah pulang ke kampung halamannya di Madura. Sementara Haqi, karena sudah bekerja, sudah berani menyewa kos di atas Rp200 ribu. (Atau karena memang sekarang mulai sulit menemukan kos seharga itu di Surabaya?)

“Di Jemur Wonosari saja, kata beberapa adik kelas, sekarang sudah susah cari kos Rp200 ribu,” katanya.

Meski Haqi sudah bekerja dan ngekos di Surabaya Barat, seminggu sekali dia masih main ke Selatan. Ke warkop langganan di Jemur Wonosari. Sebab, Jemur Wonosari sudah menjadi titik kumpul baginya dan teman-teman seangkatannya yang masih bertahan dan mengundi nasib di Kota Pahlawan.

“Jalanan Jemur Wonosari kini sudah berpaving dan ditinggikan. Dari ujung ke ujung. Alhsil, sederas-derasnya, kalau air menggenang, sudah nggak seatas mata kaki,” beber Haqi.

Rp1,3 triliun untuk banjir Surabaya

Sayangnya, tidak semua kampung padat di Surabaya berangsur aman dari banjir seperti Jemur Wonosari. Hingga 2024 ini, masih ada sejumlah kampung yang dibayangi banjir tiap musim hujan.

Oleh karena itu, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menganggarkan Rp1,3 triliun untuk penanganan banjir Surabaya pada 2025.

Anggaran tersebut bakal digunkaan untuk mengkoneksikan saluran pipa. Baik di jalan-jalan protokol maupun perkampungan.

Baru-baru ini Eri menegaskan, penuntasan masalah banjir itu akan menjadi salah satu proyek prioritas Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan target pengerjaan 2025-2026.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Nestapa Para Perantau di Kawasan Gubeng Surabaya: Bertahan di Kos Kumuh, Berdamai dengan Bau Busuk dan Segala Kehororannya

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version