Banyak orang tua yang sebenarnya tidak menuntut apa-apa kepada anak. Tidak membebani anak agar menjadi orang sukses atau punya karier mentereng. Namun, dalam lubuk terdalam beberapa orang anak, secara naluriah muncul dorongan agar mengejar kesuksesan. Betapapun berat jalannya. Demi membanggakan orang tua dan syukur-syukur membawa hidup mereka lebih mapan.
Rela tak pulang demi kejar karier
Jika dihitung sejak pertama kuliah (2017), artinya sudah hampir 10 tahun ini Widya menghabiskan masa hidupnya di perantauan (Jakarta-Bekasi).
Jarak kampung halamannya (Ungaran, Jawa Tengah) terbentang jauh dengan Jakarta dan Bekasi. Itu membuatnya sudah jarang pulang sejak masa mahasiswa. Paling hanya dalam momen libur semester dan lebaran saja dia bisa pulang.
Selepas lulus, Widya memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan di Bekasi. Padatnya pekerjaan semakin membuatnya jarang bisa pulang. Relatif dia hanya memiliki waktu agak jenak di rumah ya ketika libur lebaran.
“Aku mati-matian ngejar karier karena ibuku sudah sepuh. Bapak sudah meninggal sejak Covid-19. Sekarang masih ada dua adik yang perlu sekolah,” kata Widya, Minggu (20/10/2025).
Widya ingin menjadi orang sukses dengan karier mentereng demi mencapai hidup mapan. Dengan begitu, pastinya persoalan ekonomi tidak akan menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
“Sering ambil lembur. Apapun tugas kantor kukerjakan sebaik-baiknya. Jarang ambil cuti. Weekend masih sering ambil kerjaan tambahan. Semua demi jenjang karier,” beber perempuan 27 tahun itu.
Bahkan, Widya masih mengerjakan side job dengan mengajar les privat. Sejak zaman mahasiswa memang dia sudah terbiasa menjadi freelancer. Sebab, dia tak mau bergantung penuh pada orang tuanya.
Tak ada tuntutan jadi orang sukses, tapi malu kalau jadi laki-laki gagal
Berbeda dari Widya yang mati-matian karena kondisi keluarga, Fayad (25) rela pontang-panting di perantauan karena malu jadi laki-laki gagal. Apalagi dia adalah anak pertama.
Fayad asli Tulungagung, Jawa Timur. Dia habiskan waktunya sedari kuliah hingga sekarang di Surabaya.
“Sebenarnya orang tua nggak nuntut apa-apa. Aku sering bilang, maaf belum bisa jadi orang sukses. Dan mereka selalu menjawab, sukses itu bukan urusanmu. Itu wilayah Tuhan. Jadi syukuri apapun yang kamu kerjakan’,” tutur Fayad.
Rasa bersalah mendekap diri Fayad karena sudah berkali-kali dia gonta-ganti pekerjaan. Namun, belum ada satupun yang membawanya ke jenjang karier yang bagus. Gajinya selalu saja separuh UMR.
Meski orang tua Fayad—terutama sang ibu—selalu menekankan perihal syukur, tapi Fayad tetap saja terkungkung dengan rasa bersalah. Karena dia merasa menjadi anak laki-laki pertama yang tidak berguna.
“Aku cuma punya satu adik, masih SMA. Aku malu karena kau nggak bisa ngasih uang ke orang tua. Jarang bisa kasih uang jajan ke adik,” kata Fayad.
Kadang hatinya merasa nyesek sendiri tiap berkumpul dengan beberapa temannya. Sebab, beberapa dari mereka ada yang sering membelikan hadiah unuk orang tua (misalnya emas-emasan) dan adik (sesimpel sepatu bahkan smartphone). Sementara Fayad belum bisa seperti itu.
Karena merasa malu, Fayad akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu di perantauan. Amat jarang dia pulang ke kampung halaman. Alhasil, amat jarang pula dia bersua orang tuanya. Itu kemudian menjadi hal yang dia sesali.
Skip menikah demi kejar karier
Ada juga orang seperti Ariawan (27), asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang sehari-hari bekerja di Surabaya.
Kedua orang tuanya berpisah sejak Ariawan kuliah. Ariawan lalu memilih membersamai ibunya. Sementara adiknya memilih ikut sang bapak yang kemudian menikah lagi.
“Ibu nggak nikah lagi. Dia jadi alasanku kerja mati-matian. Aku nabung buat bikin bisnis. Siapa tahu kalau nggak bisa kejar karier, ya nanti suksesnya lewat bisnis,” ucapnya.
Ariawan sebenarnya sempat punya kekasih. Namun, karena dia terus terang belum siap menikah, akhirnya hubungan mereka berakhir.
“Ibu sebenarnya juga dorong biar aku lekas nikah. Cuma aku bilang nggak pengin. Aku mau menemani ibu saja. Aku takut kalau aku sudah nikah, nanti pikiranku terbagi, takut uang juga kebagi untuk ngurus keluarga sendiri. Sementara ibu masih harus kuurus,” sambungnya.
Widya sebenarnya juga begitu. Ibunya beberapa kali mendorong, bahwa sudah waktunya Widya menikah, memiliki suami. Tapi Widya masih gamang. Takut jika sesudah menikah dia tak bisa lagi membantu ibunya secara penuh. Toh dia memang sedang ingin kejar karier dulu.
Belum jadi orang sukses, orang tua malah meninggal
Widya, Fayad, dan Ariawan punya nasib serupa. Ketika mereka masih mati-matian mengejar karier untuk menjadi orang suskes demi mencapai hidup mapan, orang yang mereka perjuangkan malah keburu berpulang.
Bapak Widya bahkan meninggal kala Widya masih kuliah, ketika dia belum juga dia mulai meniti jalan kariernya. Sementara sang ibu menyusul pada 2024 lalu.
Fayad terpukul sangat dalam Sebab, sang bapak yang sangat ingin dia kasih tunjuk atas kesuksesannya malah berpulang lebih dulu pada Ramadan 2023 silam.
Sementara Ariawan pada akhirnya harus menjadi sebatang kara, setelah sang ibu yang selama ini dia perjuangkan hidupnya meninggal pada pertengahan 2025 lalu.
“Mati-matian kejar karier, belum juga hidup mapan, orang tua malah meninggal,” begitu kira-kira yang akhirnya terucap dari ketiganya.
Hidup jadi hampa, mau banggakan kesuksesan ke siapa?
Ariawan mengaku gairah hidup dan bekerjanya semakin mengendor sejak sang ibu meninggal. Dia tak lagi berpikir bagaimana kelak bisa hidup mapan.
Sebab, sejatinya dia kerja mati-matian demi kelak mencapai hidup mapan adalah untuk membahagiakan sang ibu. Kalau sang ibu sudah tiada, lalu buat apa kerja keras dan hidup mapan itu?
“Kalau buat aku pribadi, aku nggak ada ambisi. Bahkan soal nikah pun aku masih belum kepikiran lagi,” kata Ariawan.
Fayad pun demikian. Dia sedianya masih punya ibu dan adik. Namun, selama ini dia ingin memberi pembuktian bahwa dia akhirnya bisa menjadi laki-laki berguna sama seperti bapaknya.
“Aku malah makin terpuruk, karena hingga bapak meninggal, aku masih belum bisa menunjukkan kalau aku bisa menjadi anak laki-laki pertama yang bisa dibanggakan dan berguna. Walaupun sebenarnya dia nggak nuntut itu,” tutur Fayad.
Ibu melihat dari alam baka
Kalau Widya agak berbeda. Dengan tiadanya sang ibu, dia masih punya tanggungan dua adik untuk dia urus. Itu membuat giat bekerjanya makin keras. Sebab, adik-adiknya menggantungkan hidup dari Widya.
Widya percaya, bapak dan ibunya masih bisa melihat perjuangannya dari alam baka. Oleh karena itu, dia kerap berbisik sendiri tiap menatap foto orang tuanya di layar ponsel, “Pak, Bu, aku masih berjuang. Doakan semoga aku bisa jadi orang sukses, demi adik-adik.”
Widya masih berharap, suatu saat kalau dia datang ke makan orang tuanya, dia bisa memberi kabar baik: Kalau anak perempuan mereka telah sukses, telah hidup mapan sebagaimana yang diperjuangkan selama ini.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Betapa Jahat Keluarga Bapak: Suka Sakiti Keluarga Ibu-Lihai Berganti Wajah Tanpa Tahu Diri, Bikin Benci Kumpul Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












