Kehidupan Pahit di Rusunawa Gunungsari Surabaya, 4 Kali Terusir Bertahan demi Pendidikan Anak hingga Berakhir Putus Sekolah

Ilustrasi - Nasib pahit warga eks stren Kali Jagir korban penggusuran Rusunawa Gunungsari Surabaya. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Setelah dua bulan bertahan di pendopo yang terbuka dan dengan hanya beralas tikar, warga eks stren Kali Jagir Surabaya kembali terusir. Mereka terombang-ambing tak punya hunian. Sebagian bahkan harus mengungsi di bekas pabrik botol yang telah 16 tahun terbengkalai karena kebakaran. Karena insiden ini, anak juga jadi harus putus sekolah.

***

Pasca terusir paksa dari Rusunawa Gunungsari pada Kamis, (16/5/2024) oleh Satpol PP dan Polisi, nasib warga eks stren Kali Jagir Surabaya tak tentu arah hingga hari ini. Beberapa berusaha keras mencari cara mengumpulkan uang untuk melunasi tagihan dan berhasil kembali ke unit. Beberapa yang lain memilih untuk menumpang  ke orangtua, mertua, atau saudara. Sisanya, sekitar 20 KK, terpaksa bertahan di pendopo rusunawa sebab tak ada opsi lain.

Kehidupan serba kurang di pendopo Rusunawa Gunungsari Surabaya

Warga yang tinggal di pendopo mengalami kondisi yang serba kurang. Penggusuran mereka dari Rusunawa Gunungsari benar-benar tidak menyisakan apapun untuk mereka selain baju yang menempel hari itu.

Beberapa kali berkunjung ke sana bersama kawan-kawan Solidaritas Surabaya membuat saya melihat sendiri bagaimana anak–anak, orang dewasa, serta lansia hidup jadi satu di pendopo dengan hanya beralas tikar.

Nasib Pahit Warga eks stren Kali Jagir Korban Penggusuran Paksa Rusunawa Gunungsari Surabaya MOJOK.CO
Kondisi warga yang tidur beralas tikar di pendopo. (Alya Putri Agustina/Mojok.co)

Melihat ini membuat saya berpikir, bagaimana mereka struggle di ruang terbuka menghadapi cuaca Surabaya yang sangat panas dan angin yang kering. Sedangkan saya pribadi tak bisa bertahan di kamar kos satu jam saja tanpa kipas.

Tak hanya dalam menghadapi panas, bertahan di malam hari dengan tikar setipis itu juga jadi malapetaka. Belum lagi ketika hujan, air rawan masuk dan membasahi pinggir-pinggir pendopo yang tak berdinding. Akibatnya, tidak sedikit warga dan anak-anak eks stren Kali Jagir Surabaya jatuh sakit.

Tak cukup sampai di situ, warga juga (lagi-lagi) mesti bergelut dengan tindak-tindak sabotase dari pihak pengelola rusunawa. Kerap terjadi pemutusan saluran air yang digunakan untuk kebutuhan para penghuni pendopo.

Kondisi tersebut, beruntungnya mendapat simpati dari beberapa masyarakat sipil Surabaya. Mereka berinisiatif menggalang donasi berupa uang, baju, obat-obatan dan logistik lain untuk membantu kebutuhan warga.

Selain itu, mereka juga menggelar acara bermain bersama anak rusunawa untuk membantu pemulihan psikis mereka akibat trauma pasca menyaksikan keosnya penggusuran dari Rusunawa Gunungsari pada Kamis (16/5/2024). Mereka juga menggelar cek kesehatan gratis, utamanya untuk lansia.

Solidaritas Surabaya saat main bersama anak-anak korban penggusuran Rusunawa Gunungsari. (Dok. Amnesty UNAIR)

Aspirasi tak didengar, penggusuran malah kembali terulang

Pada Kamis, (6/6/2024) atau tiga minggu pasca mereka terusir dari Rusunawa Gunungsari, warga melakukan aksi simbolik di depan Gedung Grahadi Surabaya.

Beberapa dari mereka melakukan aksi cor kaki selama delapan jam. Mereka bertahan sedari siang, disertai dengan orasi panjang, termasuk melebur dengan aksi Kamisan Surabaya sore harinya. Tetapi hasilnya nihil, pemerintah bergeming.

Setelah dua bulan bertahan di pendopo, warga eks stren Kali Jagir kembali diusir. Persisnya pada Jumat, (28/6/2024). Ini terhitung jadi pengusiran keempat. Detail pengusiran dari yang pertama bisa dibaca di sini.

Atas pengusiran tersebut, warga sempat melakukan resistensi dengan mendirikan tenda di depan rusunawa, tetapi itu pun segera diangkut aparat.

Kondisi terkini, warga eks stren Kali Jagir sejumlah 12 KK masih terambang nasibnya tak punya hunian tetap. 8 KK dengan 18 orang dewasa dan 5 anak mengungsi di daerah Simo Pomahan, tepatnya di sekretariat kelompok buruh bernama Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur yang sedari awal aktif mengawal konflik.

Sedangkan 3 KK sisanya berjumlah 9 dewasa dan 3 anak tinggal di daerah Ngagel. Mereka membersihkan dan mengungsi di bekas pabrik botol yang terbengkalai selama 16 tahun karena terbakar.

Kerja serabutan demi anak dan kakak yang pikun

Salah satu dari 12 KK yang masih perlu hunian itu adalah keluarga Bu Tinah (59). Mereka saat ini mengungsi di Simo Pomahan.

Ketika saya hubungi pada Rabu, (24/7/2024) pagi, ia baru bersedia saya  wawancara siang harinya. Sebab, pagi jadi waktu Bu Tinah untuk membersihkan kantor FSPMI Jawa Timur, tempatnya kini menumpang tinggal.

Bu Tinah sudah terdengar menahan tangis sejak kalimat pertama yang ia ucapkan. Terdengar ia menyangga trauma dan pikiran yang sangat berat.

Selepas penggusuran terakhir dari pendopo, ia mengaku sangat terpukul hingga sempat ingin mengakhiri hidup. Sebab, ia lelah melihat semua harapannya berulang kali terampas.

Bu Tinah jadi satu-satunya yang bekerja di keluarga. Ia tinggal bersama satu anak perempuan berusia 18 tahun dan seorang kakak laki-laki berusia 69 tahun dan telah pikun. Sementara sang suami saat ini sudah tidak tinggal bersamanya lagi.

Suami Bu Tinah mengalami kecelakaan kerja ketika anaknya masih kelas 3 SD. Singkat cerita, usai tergusur dari stren Kali Jagir, suami Bu Tinah kehilangan pekerjaan. Ia akhirnya ikut kerja orang menjadi kuli bangunan demi terus menyambung hidup.

“Suami saya jatuh dari ketinggian 7 meter, jadi hilang ingatan. Lupa sama anak istri,” ceritanya dengan suara parau. Karena insiden itu, suaminya mesti pulang ke desa tempatnya lahir dan tumbuh sebagai bentuk terapi flashback guna mengembalikan ingatannya.

Setelah beberapa waktu, suaminya hanya teringat dengan orang-orang yang ia temui semasa kecil.

“Nggak ingat sama sekali sama kita, sama anak, jadi suami udah nggak kembali. Saya cari nafkah sendiri.” Begitu tutur Bu Tinah.

Di rusun, ia bekerja serabutan menjual jasa. Apapun ia lakukan untuk cari uang, dari bersih-bersih rumah, mencuci, hingga menjaga anak orang.

Salah satu pekerjaan yang sering ia lakoni adalah memotong kuku ceker ayam. Itupun hanya dapat imbalan Rp2 ribu per kilonya.

Dari kerja serabutan yang ia jalani, dalam satu hari ia hanya mendapat uang Rp20 ribu-Rp25 ribu. Kadang-kadang kalau sedang apes, sama sekali tidak ada pekerjaan yang masuk. Dengan kata lain, tidak ada pemasukan di hari itu.

Tidak bayar sewa Rusunawa Gunungsari Surabaya demi sekolah anak, kini anak malah putus sekolah

Bu Tinah awalnya diusir dari Rusunawa Gunungsari Surabaya sebab nunggak sewa satu tahun, dengan total tagihan Rp6 juta. Bukannya tak mau bayar, dengan penghasilan semepet itu ia memilih untuk memprioritaskan biaya sekolah sang anak. Karena baginya pendidikan sang anak adalah yang paling penting.

Atas penderitaan panjang yang sudah Bu Tinah dan sang anak alami, anak Bu Tinah bahkan turut serta menjadi salah satu peserta aksi cor kaki di depan Gedung Grahadi Surabaya.

“Kaki anak saya bahkan sampai bengkak karena aksi cor kaki itu,” jelas Bu Tinah.

Aksi Cor Kaki di depan Grahadi Kamis, 6 Juni 2024. Anak Bu Tinah berada di sisi paling kiri. (Dok. Ifan Bikul/LBH Surabaya)

Anak Bu Tinah saat ini seharusnya menempuh pendidikan kelas 2 di salah satu SMK di Ketintang, Surabaya. Sayangnya, kini ia harus berhenti sekolah. Sebab, semua atribut sekolahnya–buku-buku, seragam, hingga sepatu–telah dirampas sewaktu pengosongan paksa Rusunawa Gunungsari Kamis, (16/5/2024).

Selain itu, SPP sekolahnya juga sudah nunggak dan tak terbayar. Pemasukan Bu Tinah yang tak seberapa itu makin tak pasti dari hari ke hari. Kadang ada, lebih sering malah tidak sama sekali.

“Saya juga kepingin anak saya bisa kuliah, bisa pinter, tapi mungkin Allah masih belum memberi yang terbaik. Semoga ke depan diberi yang terbaik,” ucapnya sambil (kembali) menahan tangis.

Saya menangkap kekecewaan yang begitu besar dalam diri Bu Tinah sebab gagal membantu anaknya menyelesaikan pendidikan.

Itulah kenapa, menjelang akhir obrolan, ibu-ibu ramah itu menasihati saya dengan lembut: saya sudah beruntung bisa mencecap bangku kuliah. Maka saya harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

“Orangtua sudah bekerja untuk biaya belajar yang mahal, supaya mbak kedepannya pinter. Kalau mbaknya pinter orangtua bangga,” ucapnya dengan suara masih gemetar.

Di antara untaian nasihat Bu Tinah, ada satu kalimat yang begitu membekas bagi saya.

“Jangan lupa orang kecil ketika sudah sukses,” katanya. Mendengar itu, ganti saya yang menahan tangis.

Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA: Gedung Tua Surabaya Berusia 147 Tahun Diromantisasi Lagi, Saksi Pahit di Kota Pahlawan Sejak 1877

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

Exit mobile version