Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kali Code merupakan salah satu permukiman kumuh di Jogja. Lingkungannya kotor dan menjadi langganan banjir. Namun, yang mungkin banyak orang belum tahu, ia adalah tempat tinggal favorit para perantau yang mengadu nasib di kota ini.
***
Kacung (38) pertama kali diboyong ke Jogja pada 1989. Saat itu usianya masih tiga tahun. Ia pindah dari Madura ke Jogja bersama kakak dan kedua orang tuanya dengan maksud mengubah nasib.
Di kota asal, orang tuanya bekerja sebagai petani garam. Namun, uang yang didapatkan tak cukup untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Makanya, ayah dan ibunya mantap merantau ke Jogja dengan harapan ada peluang kerja yang lebih baik.
Sementara di Jogja, orang tuanya itu sudah menjajal berbagai peruntungan. Mulai dari menjadi kuli bangunan, mengelola lahan parkir, hingga membuka usaha kuliner berjualan sate.

Tempat tinggal mereka pun juga berpindah-pindah. Kacung mengaku pernah tinggal di daerah Giwangan, Umbulharjo, di awal-awal kedatangannya ke Jogja. Setelah puluhan tahun, mereka kemudian berpindah-pindah mencari kontrakan yang harga sewanya murah sebelum akhirnya mendirikan bangunan di bantaran Kali Code.
“Awal 2000-an pindah ke Kali Code, Mas. Alasannya karena nggak bayar, asal kita betah aja hidup di lingkungan kumuh,” ungkapnya, saat Mojok temui di kediamannya, Selasa (11/2/2025).
Langganan banjir dan ancaman Gunung Merapi
Kali Code sendiri merupakan salah satu sungai dengan sejarah panjang di Jogja. Secara administratif, ia mengalir sejauh 17 kilometer dengan melintasi tiga kabupaten/kota di DIY, yakni Kabupaten Sleman, Kota Jogja dan Kabupaten Bantul.
Dalam buku Geliat Masyarakat Kali Code: Nadi Jogja nan Istimewa (2016), permukiman di pinggir Kali Code sudah terbentuk paling tidak sejak akhir abad ke-18. Hal ini tampak dari peta pemerintah kolonial Hindia Belanda buatan tahun 1790 yang telah mencantumkan dua permukiman di sisi barat Kali Code.
Kacung sendiri menetap di bantaran Kali Code RT 02 RW 01 Terban. Sejak lama permukiman ini dikategorikan sebagai kawasan kumuh. Maka dari itu, meskipun tak mengeluarkan biaya untuk sewa rumah, Kacung menyebut bahwa tinggal di bantaran sungai ini bukannya tanpa risiko.
Selain harus bertahan di lingkungan yang kotor, kata dia, ancaman bencana juga bisa datang kapan saja. Kacung bercerita, selama tinggal di bantaran Kali Code, banjir sudah seperti agenda tahunan.
Tiap musim hujan tiba, mereka sudah harus bersiap dengan potensi meluapnya air sungai ke rumah-rumah bedeng mereka.
“Kalau ditanya paling parah itu kapan, saya lupa karena nyaris tiap tahun pasti ada air masuk rumah. Tapi 2015 seingat saya itu paling bikin repot, soalnya sampai lumpur-lumpur masuk rumah dan berlangsung berhari-hari,” jelasnya.
Sebagai informasi, ujung utara Kali Code terhubung dengan Kali Boyong yang berhulu di wilayah lereng Gunung Merapi. Kondisi menyebabkan permukiman di sekitar Kali Code kadang terdampak lahar hujan dari Gunung Merapi.
“Nah, itu dia, Mas. Kalau ada desas-desus Merapi aktif lagi, kawasan Code sini juga was-was. Nggak cuma yang tinggal di atas (lereng Merapi).
Kali Code memang kumuh, tapi jadi favorit pendatang
Meskipun kumuh dan menjadi langganan banjir, nyatanya bantaran Kali Code menjadi jujugan favorit para perantau. Seperti yang Kacung katakan, alasannya karena biaya hidupnya murah. Malahan, jika ingin sedikit prihatin, perantau bisa mendapatkan hunian gratis.
“Tapi yang namanya gratis, harus siap tanggung risiko. Ya banjir, ya kotor, ya digusur kalau dianggap ilegal, macam-macam.”
Namun, tak cuma perantau yang kebanyakan adalah pekerja. Mahasiswa dari luar daerah pun, tak sedikit yang memilih mencari kos di sekitaran Kali Code. Sekali lagi, alasannya karena murah.
Mojok sendiri pernah melakukan survei harga kos-kosan yang berlokasi di bantaran Kali Code bawah Jembatan UGM, Sinduadi, Mlati. Rata-rata harga kos di kawasan ini hanyalah Rp250-400 ribu sebulan.
Bahkan salah satu narasumber Mojok, Alfian, seorang mahasiswa di Fakultas Teknik UGM, mendapatkan kos-kosan dengan harga Rp500 ribu per tiga bulan.
Fasilitas yang didapatkan, jangan berharap banyak: kamar berukuran 2×3 kosongan, kamar mandi bersama, dengan akses sulit karena harus memasuki gang-gang sempit dan turunan curam.
Karena Jogja tak melulu soal yang “estetik-estetik”
Alfian bercerita, sebagai mahasiswa yang berasal dari keluarga pas-pasan, ia tak bisa pilih-pilih. Khususnya untuk memilih kos-kosan. Di mana yang paling murah, itu yang diambil.
Selama tinggal di kos bantaran Kali Code, ia mengaku banyak hal tak mengenakkan yang dialami. Seperti, yang paling diingatnya, air kamar mandi berbau anyir yang membuatnya harus mandi di kampus selama berhari-hari.
“Biasanya kejadian kalau musim hujan. Memang nggak banjir, tapi air jadi keruh dan berbau anyir,” jelasnya.
Mendengar cerita Alfian, saya jadi teringat dengan liputan Mojok berjudul “Nekat Kos Dekat Kali Code Jogja Mandinya di Pom Bensin karena Air Kos Bau, Semua Demi Lolos Seleksi di UNS” yang tayang pada 3 Maret 2024 lalu.
Dalam liputan ini, narasumber Mojok bernama Fata (22) rela tinggal di kos bantaran sungai yang kumuh selama sebulan. Alasannya, selama itu ia harus mengikuti bimbel di Kotabaru demi lolos ke kampus favoritnya. Sementara kos-kosan di Kali Code itu, harga sewanya murah dan dekat dengan tempat bimbel. Cocok baginya yang tak memiliki sepeda motor.
“Jogja itu nggak melulu soal estetik-estetikan saja,” kata Alfian. “Kita juga perlu tinggal di Kali Code untuk melihat warna lain Jogja.”
Kali Code tempat tinggal ribuan perantau
Kacung dan Alfian, adalah potret dari orang-orang yang tinggal di bantaran Kali Code Jogja. Ada ribuan orang lain seperti mereka, yang memilih tinggal di permukiman kumuh demi bertahan hidup di Jogja.
Pada Selasa (11/2/2025) kemarin, saya juga menyempatkan waktu menyusuri jalanan sempit di pinggiran Kali Code untuk menyaksikan geliat masyarakatnya.
Bapak-bapak menikmati sore dengan memancing, anak-anak yang bebas bermain di dekat aliran sungai, juga para mahasiswa yang berjalan terburu-buru di antara gang-gang sempitnya. Barangkali mereka sudah terlambat masuk kuliah.
Di sana juga, saya mengunjungi rumah deret Terban di bantaran Kali Code. Liputannya bisa dibaca di sini. Rumah deret ini memberikan kesempatan bagi orang-orang seperti Kacung buat mendapatkan hunian yang aman, nyaman, tapi tetap gratis.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mengunjungi Keluarga Kacung di Rumah Deret Terban Bantaran Kali Code: Satu Unit Berisi Empat KK, 15 Penghuni atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.