Lulus dan berhasil mendapat gelar dari Jurusan Kesehatan di kampus elite tak menjamin anak muda langsung dapat kerja. Masalah itu, salah satunya, dialami oleh Fia Ziah (bukan nama sebenarnya). Fia merupakan lulusan D3 Jurusan Kesehatan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Bahkan dia pernah di fase mengalami penolakan dari 100 lebih perusahaan, yang membuatnya merasa kuliah di jurusan dan kampus elite tak begitu penting.
Bagi Fia, euforia saat wisuda hanya terasa untuk sesaat. Sesudahnya, dia harus memilih: jalan-jalan dulu untuk istirahat, lanjut S2, atau tancap gas mencari kerja.
Opsi untuk langsung mencari kerja nampak lebih realistis baginya. Apalagi dia anak pertama dari keluarga kelas ekonomi menengah. Ayahnya bekerja sebagai sopir ojek online. Sementara, ibunya tidak bekerja dan adiknya masih duduk di bangku SMP.
Fia merasa setelah lulus harus bisa menjadi tulang punggung keluarga, setidaknya untuk membayar sekolah sang adik. Namun, sebagai lulusan D3 Jurusan Kesehatan Unair Surabaya jalannya masih tidak mudah.
Dia lulus tahun 2022 bersamaan dengan Covid-19. Selama dua tahun tersebut, dia mengirim surat lamaran ke sekitar 100 lebih perusahaan. Namun, hanya hitungan jari perusahaan yang mau mewawancarainya.
Kuliah Jurusan Kesehatan Universitas Airlangga Surabaya karena panggilan hati
Sebenarnya, kuliah di D3 Jurusan Kesehatan Universitas Airlangga Surabaya adalah keinginan Fia. Alasannya, selama SMA dia dianggap sebagai siswa yang cerdas. Buktinya, dia masuk penjurusan IPA, yang “dianggap” sebagai jurusan bagi anak-anak cerdas.
Saat duduk di kelas 12 pun, dia memantapkan diri masuk Jurusan Farmasi. Sayangnya, pada seleksi SNMPTN, dia gagal. Fia ingin mencoba lagi pada seleksi SBMPTN. Orang tuanya memang menghendaki, dengan catatan tidak mendaftar ke Jurusan Kedokteran karena biayanya mahal.
Akhirnya, pada SBMPTN Fia mendaftarkan ke Jurusan Kesehatan di Unair Surabaya. Pilihan pertama pada S1 Jurusan Farmasi dan pilihan kedua D3 Jurusan Kesehatan. Dia lolos pada pilihan kedua.
Fia akhirnya berhasil menjadi mahasiswa diploma atau vokasional. Jadwal kuliah di jurusan itu sudah padat sejak semester pertama. Oleh sebab itu, dia merasa tak punya kesempatan untuk mengeksplor minatnya lebih jauh di luar perkuliahan.
Fia berujar kuliahnya berbeda dengan mahasiswa lain, di mana tugasnya bisa dibawa pulang ke rumah, kerja di mana saja, atau lewat pertemuan online, sedangkan mahasiswa vokasi lebih sering bekerja di lab.
“Jam kuliahku itu bisa dari jam 6 pagi sampai jam 6 malam. Aku juga punya masalah pribadi di mana memang fisikku tidak sekuat itu untuk melakukan banyak aktivitas,” kata dia.
Merasa insecure dengan masa depannya yang abu-abu
Namun, lulusan D3 Universitas Airlangga Surabaya itu menyadari minatnya justru berubah setelah lulus. Dia merasa tidak cocok dengan jurusannya selama ini. Setelah lulus dia baru punya kesempatan untuk mengeksplor minatnya.
“Beberapa kali aku mendapatkan kesempatan magang [di luar bidang kesehatan], tapi underpaid bahkan unpaid,” ucapnya kepada Mojok pada Selasa (1/10/2024).
Fia pernah menjadi content creator di salah satu merek kecantikan. Mulai dari menulis konten, membuat video, dan menjual produk tersebut. Semenjak saat itu, dia mulai mendalami kegiatan yang berhubungan dengan digital marketing.
“Setelah mencari-cari, alhamdulillah dari pengalamanku, terbukalah sedikit jalan buat aku bisa ada di karier path yang sekarang, meskipun bagiku ini sulit,” ujarnya.
Sayangnya, mencari kerja di bidang digital marketing tak semudah membalikkan telapak tangan. Dia sudah banyak mengirim surat lamaran ke perusahaan di bidang tersebut tapi menemui jalan buntu. Sehingga, dia pasrah dan memutuskan mengirim lamaran kerja di bidang apa pun.
“Aku sudah melamar di 100 lebih perusahaan, sudah banyak. Tidak terhitung,” katanya. “Aku daftar lewat LinekedIn, Email, Glints, Jobseeker, tapi tidak ada kabar lanjutan,” lanjutnya.
Jadi beban keluarga, sampai rela kerja underpaid
Karena mengalami banyak penolakan, sepanjang dua tahun tersebut, Fia tak memiliki pekerjaan tetap. Cap “pengangguran” dan beban keluarga menjadi momok bagi dia.
Lulusan Universitas Airlangga Surabaya itu sering mendengar keluh kesah dari orang tuanya saat di rumah. Terutama saat membahas masalah ekonomi. Misalnya, ibunya sering mengeluh soal biaya sekolah adiknya atau curhatan ayahnya yang tidak dapat pelanggan dalam sehari.
Cerita itu secara tidak langsung membebani pikirannya. Oleh karena itu, dia lebih memilih menyibukkan diri daripada terus-terusan di rumah dan diomeli.
Sambil menunggu panggilan kerja, Fia memilih untuk menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan positif. Dia mencoba mendaftar Cak dan Ning Surabaya, volunteer, sampai freelance.
“Sebenarnya aku pribadi sadar, karena pekerjaan yang aku inginkan berbeda dengan jurusanku. Aku juga mengetahui kekuranganku jadi aku ikut berbagai pelatihan dan kegiatan,” kata Fia.
Salah satu pekerjaan freelance yang dia ambil menggajinya sebesar Rp500 ribu per bulan. Selama sembilan bulan dia bertahan tapi akhirnya memutuskan untuk resign. Fia merasa perusahaannya saat itu tak memberikan kepastian.
Sebagai pekerja yang tidak memiliki pengalaman, Fia merasa penting untuk mempelajari hak-haknya. Misalnya, jam kerja, hak cuti, BPJS, dan gaji. Setidaknya, dia berharap memiliki gaji minimal UMR.
“Aku berharap kita sebagai pekerja satu suara, punya keyakinan minimal kita harus menerima UMR. Agar perusahaan enggak semena-mena,” kata alumnus Universitas Airlangga Surabaya itu.
Kini, Fia bekerja di suatu yayasan islam sebagai content writer. Setidaknya, kata dia, dia ingin menambah pengalaman ketimbang menganggur. Meskipun gajinya pun belum sesuai dengan UMR Surabaya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita MOJOK lainnya di Google News