Ketika anak diterima kuliah di kampus negeri Jogja, orang tua tak pelak turut sibuk mempersiapkan segala kebutuhan sang anak untuk menjadi mahasiswa baru. Salah satu yang paling vital (misalnya) adalah membelikan laptop.
Sebab, laptop bakal menjadi piranti yang tidak akan lepas bahkan sejak mahasiswa baru. Alat itu menjadi instrumen penting bagi mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Namun, tidak setiap orang bisa menghargai sekaligus menggunakan sebaik-baiknya barang pemberian orangtua, seperti yang narasumber Mojok akui. Alhasil, hanya ada penyesalan yang tersisa.
Tak sabar jadi mahasiswa di kampus negeri Jogja dan punya laptop baru, orangtua bingung
Hingga saat ini Farah (21), bukan nama asli, bahkan tak bisa memastikan, saat dia diumumkan lolos seleksi masuk kampus negeri, apakah kedua orangtuanya benar-benar bangga atau justru nelangsa?
Pasalnya, kedua orangtuanya sebenarnya bukan dari keluarga kaya. Hanya petani dan pedagang sayur. Barangkali sebenarnya mereka keberatan untuk membiayai kuliah Farah. Namun, mereka menutup-nutupinya dengan pura-pura ikut bangga.
Kala itu, Farah sendiri mengaku tidak berpikir sejauh itu. Dia hanya fokus pada dirinya sendiri. Ada perasaan tak sabar menjalani aktivitas sebagai mahasiswa baru di sebuah kampus negeri di Jogja yang dia tuju.
“Sekitar satu bulan sebelum berangkat ke Jogja (dari Kebumen, Jawa Tengah) aku terus terang minta dibelikan laptop. Aku agak rewel karena itu hal penting. Padahal sebelumnya aku baru saja minta dibelikan hp baru,” ungkap Farah, Kamis (7/8/2025).
Sejujurnya, Farah menangkap ada kesan berat dan bingung dari kerut wajah kedua orangtuanya. Terutama sang bapak. Namun, Farah tak peduli. Bagaimanapun, laptop itu penting dan harus segera terbeli.
Merasa kesal saat orangtua beri kejutan
Beberapa hari berselang, saat Farah baru pulang dari mengurus beberapa hal di SMA-nya, sang ibu menyambutnya dengan wajah sumringah. Ternyata, ibu dan bapaknya hendak memberi kejutan kalau mereka baru saja ke konter untuk membeli laptop untuk Farah.
Alih-alih senang dengan kejutan tersebut, Farah malah mengaku agak kesal. Sebab, laptop yang orangtuanya beli adalah laptop murah dengan spesifikasi yang sebenarnya tidak Farah inginkan.
“Ya aku agak meneggerutu. Kenapa sok harus ngasih kejutan. Padahal kalau bilang, aku kan bisa ikut, bisa milih,” ungkap Farah.
“Ya bapak ibu mampunya beli yang itu. Yang penting kan bisa buat kuliah,” begitu kata sang ibu mencoba menenangkan, meski wajahnya menyiratkan kekecewaan atas respons Farah.
Menjadi mahasiswa baru di kampus negeri, urusan tak penting jadi gengsi
Meski agak kesal, toh Farah tidak punya banyak pilihan. Dia pun pada akhirnya berangkat juga untuk menjadi mahasiswa baru di sebuah kampus negeri di Jogja.
Di semester-semester awal, sebenarnya dia mencoba tutup mata dengan sekeliling. Pasalnya, di kelas Farah, banyak mahasiswa yang menggunakan laptop bahkan hp berharga mahal. Misalnya merek “apel kroak”.
“Aku mencoba nggak ambil pusing karena laptopku kalau untuk sekadar ngetik aman-aman aja. Nggak butuh laptop mahal,” ujar Farah.
Sebenarnya, ada juga teman Farah yang piranti-piranti pendukung kuliahnya bukan merupakan piranti mahal. Dan dia tidak gengsi sama sekali menggunakannya. Karena yang terpenting adalah fungsi. Hanya saja, Farah malah lebih fokus ke mereka yang bergaya hidup mahal, sehingga timbul perasaan iri dan gengsi.
Laptop dijual demi hp “apel kroak”
Singkat cerita, seiring bertambah semester, performa laptop Farah menurun. Di samping itu, dia mulai ingin seperti mahasiswa lain di kampus negeri Jogja tersebut: pakai hp “apel kroak”.
“Aku sering malu, kalau lagi nugas bareng atau nongkrong bareng, kayaknya cuma hpku yang android. Apalagi kalau foto-foto. Aku nggak pernah berani mengeluarkan hpku,” ungkap Farah.
Awalnya dia ingin meminta uang dari orangtuanya untuk beli hp baru. Tapi untuk membeli “apel kroak”, rasa-rasanya orangtua Farah tak akan sanggup memberi uang dalam jumlah besar secara langsung. Wong beli laptop saja murah-murahan, kok. Apalagi kalau “cuma” hp.
Dari situ, Farah langsung kepikiran untuk menjual dua piranti pendukung kuliahnya di kampus negeri Jogja: laptop dan hp. Sisanya tinggal ditambahi uang saku dan minta tambahan dari orangtua dengan alasan untuk kebutuhan kuliah.
Rencana itu memang benar-benar dilakukan. Hp “apel kroak” akhirnya benar-benar dalam genggaman.
Penyesalan dan rasa bersalah (1)
Beberapa kali tiap pulang ke rumah setelah laptop terjual, sang ibu kerap bertanya, “Laptopmu apa masih bisa? Kok nggak dibawa pulang?” Karena memang Farah sudah tidak punya laptop lagi.
Namun, dia selalu bisa berkilah. Dan ibunya tak pernah curiga. Lebih-lebih, Farah juga mencoba menyembunyikan hp “apel kroak”-nya itu dari orangtua dan adiknya di rumah.
Tapi, “kebengalan” sejak menjadi mahasiswa baru itu kini berakhir penuh penyesalan bagi Farah. Sejak tak punya laptop, dia agak keteteran mengerjakan tugas. Apalagi saat ini dia sedang proses mengerjakan skripsi.
“Aku awalnya nyoba pinjam teman yang laptopnya bagus-bagus itu. Tapi mereka bilang laptopnya juga dipakai,” kata Farah.
Beberapa kali Farah terpaksa sewa laptop. Di Jogja sendiri memang ada beberapa jasa sewa piranti tersebut yang umumnya memang digunakan mahasiswa untuk mengerjakan tugas. Tapi begitu terus rasa-rasanya menghabiskan uang.
“Belakangan ini aku sering ke kosan temanku yang sama sepertiku. Dari keluarga biasa. Laptopnya nggak bagus. Bahkan lemot sekali. Tapi dia jadi satu-satunya teman yang dengan senang hati ngasih pinjaman. Jadi aku ke kosan pasti malam, pokoknya setelah dia selesai ngetik,” beber Farah.
Penyesalan dan rasa bersalah (2)
Yang membuat Farah tertampar dan penyesalananya makin menjadi-jadi adalah: temannya itu ternyata mirip dengannya. Laptop butut yang dia pakai merupakan laptop hadiah dari hasil kerja keras bapaknya.
Memang murah dan tak terlalu bagus. Tapi bagi teman Farah, perjuangan dan ketulusan bapak saat membelinya teramat mahal. Bahkan sekalipun kelak si teman Farah lulus, kerja, dan bisa beli laptop baru yang lebih mahal sekalipun, dia tak berniat untuk menjual atau bahkan membuang laptop tersebut.
Gara-gara cerita itu, tiap kali Farah berhadapan dengan laptop temannya tersebut, bayangan-bayangan wajah orangtuanya berkelindah dan sahut-sahutan di kepalanya. Memicu rasa bersalah yang teramat dalam. Dia merasa telah “membuang” barang berharga pemberian orangtuanya. Bukan berharga karena harganya, tapi karena perjuangan dan ketulusan orangtua.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Mahasiswa Universitas Negeri Rela Bohongi Ibu, Ngaku Sudah Sarjana padahal DO demi Fokus Kerja Bantu Hidupi Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
