Sisi Lain di Balik Gemerlap Tangerang, Kumuh sampai Bertahun-tahun Terpaksa Tinggal di Tengah Tumpukan Sampah

Jatiuwung adalah gambaran sisi kelam Tangerang MOJOK.CO

Ilustrasi - Jatiuwung adalah gambaran sisi kelam Tangerang. (Ega Fansuri/Mojok.co)

“Mana daerah di Tangerang yang nggak banget buat ditinggali.” Begitu tanya seorang warganet di X. “Jatiuwung lah. Jangan kebayang tinggal di sini!” Jawab warganet lain tegas.

Ada apa dengan Jatiuwung?

Berdasar cerita-cerita dari narasumber Mojok, Jatiuwung adalah gambaran sisi lain Tangerang yang selama ini identik sebagai pusat industri dengan iming-iming upah besar.

Kondisi di sini tidak seperti daerah Tangerang lainnya seperti Ciputat atau Cileduk misalnya. Merujuk cerita yang masuk ke Mojok, dua daerah tersebut tentu saja memiliki cela.

Namun, setidaknya masih ada hal-hal yang patut disyukuri di dua daerah itu. Entah soal sarana-prasarana maupun peluang ekonomi. Sementara sulit rasanya untuk mencari alasan bersyukur tinggal di Jatiuwung.

Jatiuwung Tangerang tak lepas dari berita kelam

Pada Februari 2025 lalu, polisi menggerebek sebuah toko obat-obatan terlarang secara ilegal di Jatiuwung. Tepatnya di Kelurahan Pasar Jaya.

Sebelumnya, toko tersebut memakai kedok sebagai toko kosmetik. Namun, setelah diperiksa, ternyata toko tersebut juga menjual obat daftar G seperti Eximer dan Tramadol untuk disalahgunakan oleh penggunanya.

“Ya begitu kehidupan di Jatiuwung. Identik sama ngobat dan mabok. Yang jadi kurir obat (narkoba) juga ada,” ungkap pemuda yang mengaku asli Jatiuwung Tangerang. Panggil saja Pratama (27).

Pratama mengaku tak tahan dengan kehidupan di kampung kelahirannya tersebut. Itulah kenapa dia memilih lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Sekalian bekerja.

“Belum lagi persoalan tawuran. Nggak tahu kenapa ya, remaja situ tuh demen banget tawuran. Nggak main-main. Kalau pukul-pukulan lumrah lah. Tapi pada bawa sajam,” sambungnya.

Kekerasan remaja yang mendarah daging

Jika dirunut, hobi tawuran di kalangan remaja Jatiuwung sudah ada sejak dulu, ketika rivalitas klub bola asal Tangerang—Persita dan Persikota—masih begitu kental.

Perihal ini, Purnomo (33), seorang pria asal Kabupaten Tangerang pernah bercerita kepada Mojok dalam kesaksiannya atas memori kelam Stadion Benteng.

Dulu Tangerang hanya memiliki klub bola bernama Persita. Namun, setelah lahirnya wilayah baru bernama Kota Tangerang pada 1993, klub bola pun ikut terpecah.

Orang-orang di Kabupaten Tangerang mayoritas membela Persita. Sementara yang domisili di Kota Tangerang akan mendukung Persikota.

“Setiap laga derby (Persita vs Persikota) sudah pasti keos itu mah. Pasti tawuran,” ungkap Purnomo. Bahkan, dalam ingatan Purnomo, laga derby kelewat sering menimbulkan korban jiwa. Dia kenal beberapa rekannya sesama suporter Persita yang meregang nyawa di Stadion Benteng Tangerang.

Saking seringnya terjadi tawuran di Stadion Benteng, Majalis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk melangsungkan sepakbola di stadion tersebut.

Pratama mengamini cerita tersebut. Jatiuwung, sebagai daerah yang masuk Kota Tangerang, kebanyakan warganya yang penggila bola saat itu mendukung Persikota. Pratama mengaku tidak pernah ikut nribun. Namun, dia mendengar cerita dari orang-orang yang dulu kerap nribun hingga berujung tawuran.

Rivalitas mengerikan itu memang tidak pernah lagi terjadi di tahun-tahun belakangan. Akan tetapi, budaya kekerasan masih melekat—terutama di kalangan remaja Jatiuwung—dalam bentuk tawuran jalanan.

Kehidupan kumuh di Jatiuwung Tangerang

Dari Pratama, Mojok tersambung dengan saudaranya yang masih tinggal di Jatiuwung: Wijaya (45). Bagi Wijaya, wajar saja jika ada orang yang merasa enggan jika tinggal di Jatiuwung Tangerang.

Jatiuwung seolah berbeda dari daerah-daerah di Tangerang lainnya yang terkesan “lebih maju”. Perkampungan di sini terlampau padat dan kumuh. Sampah-sampah pun banyak berserakan lantaran banyak warga membuang sampah sembarangan. Terutama di saluran air seperti sungai.

“Ya wajar saja kalau tiap musim hujan mesti banjir. Sudah langganan itu,” ungkap Wijaya.

Kalau banjir, sudah terbayang bagaimana kondisi perkampungan yang tergenang air: bukan hanya air cokelat, tapi ari berwarna hitam dan berbau busuk lah yang “menyerang” warga.

Ditambah sampah-sampah yang turut mengapung terseret air. Alhasil, ketika banjir surut, meninggalkan lumpur berbau busuk dan sampah-sampah yang berceceran.

Upaya keras menyadarkan masyarakat

Sementara Tyas Chaerunisa, mahasiswa Universitas Yuppentek Indonesia, melalui kolomnya menyebut persoalan sampah di Jatiuwung Tangerang tidak akan selesai hanya dengan regulasi dari Pemerintahn Kota (Pemkot) Tangerang.

Untuk diketahui, Pemkot Tangerang sudah melakukan serangkaian upaya untuk mengatasi masalah sampah di salah satu kecamatannya tersebut. Pada 2019, misalnya, membangun Intermediate Treatment Facility (ITF) sebagai tempat pengolahan sampah sementara sebelum dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Monitoring pun terus dilakukan untuk memastikan masyarakat membuang sampah di kantong-kantong yang sudah disediakan. Bahkan, setiap memasuki musim hujan, selalu ada upaya pembersihan aliran sungai yang dipenuhi sampah untuk antisipasi banjir.

Lantas, kenapa sampah-sampah berserakan masih terus saja ditemukan di sejumlah titik di Jatiuwung?

“Dibutuhkan sosialisasi yang lebih masif kepada masyarakat agar mereka lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan,” tulis Tyas. “Masyarakat harus didorong untuk berperan aktif untuk memilah sampah dari rumah, memanfaatkan bank sampah, serta mendukung program pengelolaan sampah berbasis komunitas.”

“Selain itu, pengelolaan sampah yang lebih modern, seperti program daur ulang dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, perlu diterapkan agar pengurangan sampah lebih efektif,” tegasnya.

Namun, bagi Wijaya dan Pratama, masyarakat sendiri memang seperti bebal dalam urusan menjaga lingkungan. Alhasil, bertahun-tahun kondisi Jatiuwung Tangerang selalu tampak seperti perkampungan kumuh, kendati deretan rumah tak layak huni—yang dulu juga membuat daerah ini terkesan memprihatinkan—sudah direhabilitasi oleh Pemkot.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Cakung Jakarta Timur Memang Ber-UMR Besar, Tapi Hidup di Sini Penuh Ketidakpastian dan Harus Waswas Tiap Saat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

Exit mobile version