Puluhan Tahun Tinggal di Jagakarsa, Berdamai dengan Hal-hal Menyebalkan di Balik Label “Daerah Ternyaman” Se-Jakarta Selatan

23 tahun tinggal di Jagakarsa, daerah terluas dan paling nyaman di Jakarta Selatan (Jaksel) MOJOK.CO

Ilustrasi - 23 tahun tinggal di Jagakarsa, daerah terluas dan paling nyaman di Jakarta Selatan (Jaksel). (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sudah sejak 2002 keluarga Fatih (24) menetap di Jagakarsa, Jakarta Selatan (Jaksel). Daerah terluas kedua di Jaksel setelah Cilandak dengan luas 2.501 hektare.

Keluarganya memang sempat tiga kali pindah rumah. Namun, ketiga rumah itu masih di Jagakarsa. Tidak pernah bergeser dari kecamatan itu.

Hingga kini, Fatih dan keluarganya mengaku masih sangat betah tinggal di sana. Meski memang ada beberapa hal dari daerah ini yang kadang dianggap “menyebalkan”.

Jagakarsa, daerah paling adem di Jakarta Selatan (Jaksel)

“Adem”. Kalau diminta menggambarkan Jagakarsa dalam satu kata, kata itulah yang selalu Fatih pilih.

Wajar saja. Daerah ini memiliki banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH), baik berupa taman maupun hutan kota yang tersebar di banyak titik. Tidak hanya belantara gedung-gedung tinggi sebagaimana sering banyak orang bayangkan tentang Jakarta.

“Udara cenderung sejuk kalau dibanding tetangganya (Depok). Dan emang jalanan-jalanan di sini rindang,” ujar Fatih berbagi cerita, Kamis (8/5/2025).

“Aku kalau denger kata Depok, Margonda, Tangerang, Bekasi, Cinere, Jakarta Timur, yang ada di kepala tuh panas aja gitu. Tapi kalau denger Jagakarsa, langsung adem di kepala,” sambungnya.

Akses yang serba mudah

Selain itu, bagi Fatih, suasana di Jagakarsa, Jakarta Selatan yang adem itu didukung dengan akses ke beragam fasilitas yang semkain ke sini terasa makin mudah.

Jagakarsa dekat dengan kawasan perkantoran dan bisnis di Jalan TB Simatupang.

Akses ke pusat pendidikan seperti ke Universitas Pancasila, Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP), Universitas Tama Jagakarsa, Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), serta asrama Universitas Indonesia juga mudah.

Jarak ke RSUP Fatmawati, sebagai pusat kesehatan di Jakarta Selatan pun hanya berkisar 5-10 menit. Lalu hanya beberapa menit saja sudah bisa menjangkau pusat perbelanjaan dan hiburan: AEON Mall Tanjung Barat.

“Transportasi umum juga gampang ngaksesnya di sini,” tutur Fatih. Sebab, ada beberapa stasiun yang melayani kebutuhan komuter ke daerah-daerah sekitar.

Baca halaman selanjutnya…

Hal-hal menyebalkan di balik label “daerah paling nyaman”

Daerah resapan air, tapi masih kena banjir?

Dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) Tahun 1985-2005, diperkuat juga dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030, Jagakarsa memang ditetapkan sebagai daerah resapan air di Jakarta Selatan.

“Mungkin juga minus tinggal di sini konturnya nggak rata. Jadi ada tempat-tempat yang kalau ujan deres bisa banjir sebetis, tapi sampingnya tuh bisa nggak banjir sama sekali karena konturnya beda,” jelas Fatih.

Beberapa daerah yang rawan terendam banjir jika hujan dengan intensitas tinggi, misalnya Jalan Mohammad Kahfi II dan Cipedak. Fatih sendiri merasa beruntung karena rumahnya di Srengseng Sawah tidak termasuk dalam daerah yang rawan banjir. Itu menjadi nilai lain yang membuatnya betah tinggal di daerah terluas kedua di Jaksel ini.

Jagakarsa Jakarta Selatan (Jaksel) tak luput dari macet parah

Tapi bagaimanapun, Jagakarsa adalah bagian dari Jakarta. Mungkin udara sejuk dan kerindangannya menjadi pembeda. Tapi ada satu hal yang rasa-rasanya sama saja di belahan Jakarta manapun: macet.

Fatih mengakui, terutama di jam-jam berangkat kerja dan pulang kerja, ada beberapa ruas jalan yang macetnya minta ampun. Terutama di Jalan Mohammad Kahfi I dan II.

“Sebenernya Jagakarsa tuh punya banyak jalan alternatif alias jalan tikus,” ucap Fatih. Tapi melewati jalan tikus di Jagakarsa bagi Fatih yang bahkan sudah 23 tahun tinggal di sana masih terasa sangat merepotkan. Karena jalannya meliuk-liuk dan terlalu banyak percabangan.

Kesal karena sering dikira Depok

Secara geografis, Jagakarsa adalah daerah paling ujung selatan di Jakarta Selatan. Berbatasan langsung dengan Kota Depok. Inilah sisi menyebalkannya bagi Fatih.

“Orang sering nganggep Jagakarsa bagian dari Depok,” kata Fatih.

Bahkan di media sosial X ada ceng-cengan: Orang Jagakarsa selalu ngaku-ngaku Jaksel tiap ditanya “Dari mana?” Apa susahnya mengakui kalau Jagakrsa itu Depok.

Loh, kan memang Jagakarsa itu bukan Depok, tapi masih Jakarta Selatan.

Salah paham tersebut sebenarnya bukan persoalan serius. Hanya saja, menjadi sangat menyebalkan jika ada berita-berita miring tentang Depok lantaran ulah warganya.

Bisa menikmati kuliner Betawi, tapi heran sama pengamen ondel-ondel

Apa yang digambarkan Fatih—sebagai warga asli—tentang Jagakarsa juga diamini oleh Dito (27), seorang pendatang dari Ciamis, Jawa Barat yang bekerja di TB Simatupang.

Dito menyebutnya sebagai anomali kawasan urban. Sebab, umumnya kawasan urban—apalagi di Jakarta—identik dengan panas, semrawut, kumuh, dan sederet ketidaknyamanan lainnya. Tapi dia merasa nyaman di Jagakarsa, Jakarta Selatan.

“Habis melihat hiruk-pikuk Jaksel, terus bisa santai dengan suasana asri. Karena kontrakanku di sebuah perkampungan asri,” ujarnya. Sementara banyak perantau di Jakarta mengaku, kerap kali harus menetap di kawasan kumuh.

“Jagakarsa juga kayak jadi pusat budaya Betawi. Terutama di Srengseng Sawah, karena ada cagar budaya Betawi (Setu Babakan),” sambungnya. Amat mudah pula bagi Dito menemukan kuliner-kuliner khas Betawi di Jagakarsa.

Tapi ada satu hal yang bagi Dito agak mengganggu, yakni keberadaan pengamen ondel-ondel. Sebab, kendati sudah ada larangan dari Pemprov DKI Jakarta, tapi masih ada pengamen ondel-ondel kerap muncul di jalanan.

Bahkan saat malam hari pun ada juga yang keliling masuk-masuk perkampungan. Suaranya terasa agak mengganggu.

Jangan gunakan ondel-ondel untuk mengamen

Sejak 2021 lalu, Pemprov DKI Jakarta mulai menaruh perhatian pada penertiban pengamen ondel-ondel. Terutama jika mengganggu ketertiban umum seperti di jalanan atau di kawasan permukiman padat.

Pihak Pemprov DKI saat itu menilai ondel-ondel seharusnya tidak “direndahkan” nilainya dengan menjadikannya atribut ngamen. Jika hendak dilestarikan, haruslah dalam wadah yang layak.

Namun, hingga saat ini, upaya penertiban itu masih membentur situasi dilema. Pengamen ondel-ondel terbentur persoalan ekonomi. Sementara di sisi lain, ada warisan budaya yang seharusnya ditempatkan secara semestinya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Cilandak Jakarta Selatan Daerah Elite tapi Tak Aman Gaji di Bawah UMR buat Kredit Motor Langsung Hilang sebelum Sebulan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

Exit mobile version