Sudah menjadi rahasia umum bahwa guru honorer di Indonesia mendapat gaji yang sangat menyedihkan. Sekalipun mengajar di sebuah sekolah negeri. Namun, penderitaan mengajar seharian penuh pada akhirnya terbayar saat menjadi guru di sekolah (SMP) Muhammadiyah. Itu membuat narasumber Mojok tak menyangka, ternyata dia bisa hidup sejahtera dari mengajar.
Penderitaan karena gaji Rp300 ribu
Setiap berangkat dan pulang mengajar dari sebuah SMP negeri di Jawa Tengah, Aisyah (25), bukan nama asli, kerap merasa menyesal sendiri. Dia berstatus guru honorer. Gajinya hanya Rp300 ribu perbulan.
Gaji tersebut tentu saja tidak sebanding dengan biaya kuliah yang harus Aisyah keluarkan selama empat tahun. Tidak sepadan pula dengan energi dan waktu yang dia habiskan di sekolah.
“Karena Senin-Jumat kan di sekolah, itu dari pagi sampai ya jam 3 sore gitu,” ujar Aisyah, Minggu (17/8/2025).
Itupun masih harus membawa pulang pekerjaan ke rumah. Misalnya urusan administrasi atau nilai siswa.
Sebenarnya orangtua Aisyah tak masalah. Toh Aisyah pada waktu itu—tahun 2023—juga baru lulus kuliah. Itung-itung cari pengalaman dulu.
“Tapi tetap merasa nggak berguna. Gaji Rp300 ribu itu habis buat bensin di minggu pertama. Sisanya kalau kehabisan ya minta orangtua. Misalnya buat jajan atau beli paket internet. Makan juga masih ikut orangtua,” tutur Aisyah.
Menyesali jurusan kuliah
Selain perasaan capek dan tak berguna, Aisyah kerap dikungkung dengan penyesalan atas jurusan kuliah yang dia ambil. Aisyah bergelar Sarjana Pendidikan.
Dulu, dia membayangkan bahwa selain pekerjaan mulia, guru adalah profesi yang memungkinkan seseorang hidup terjamin. Ternyata tidak semudah itu. Iya kalau menjadi guru PNS, kalau terperosok menjadi guru honorer seperti Aisyah, pasti akan megap-megap.
“Teman-temanku kebanyakan juga menyesal. Terutama yang cewek ya, karena hanya berakhir menjadi guru honorer. Gajinya nggak cukup lah untuk sekadar jajan. Apalagi kalau beli skincare,” ucap Aisyah.
Sementara teman cowok Aisyah rata-rata bekerja di sektor yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan gelar Sarjana Pendidikan. Di titik itu, Aisyah sering kali nyesek sendiri. Mempertanyakan diri sendiri: Kenapa dulu kok yakin betul pilih kuliah Pendidikan dan Keguruan?
“Kalau bisa ngulang, rasa-rasanya nggak bakal aku bercita-cita jadi guru, kalau cuma berakhir jadi guru honorer dengan gaji Rp300 ribu,” sambungnya.
Baca halaman selanjutnya…
Awalnya ragu, tapi malah hidup berubah drastis usai pindah sekolah Muhammadiyah












