Berambisi Jadi Dosen biar Terpandang dan Gaji Sejahtera, Pas Keturutan Malah Hidup Nelangsa

Jadi dosen non PNS (honorer) di kampus swasta dapat gaji yang bikin nelangsa. Nyesel kuliah sampai S2 MOJOK.CO

Ilustrasi - Jadi dosen non PNS (honorer) di kampus swasta dapat gaji yang bikin nelangsa. Nyesel kuliah sampai S2. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Menjadi dosen sepintas membuat diri terasa terpandang dan diperhitungkan. Baik di dalam keluarga maupun di lingkungan sosial. Banyak orang menganggap punya gaji besar. Namun, realita seorang dosen non-PNS (honorer), apalagi di kampus swasta tak terkenal, menunjukkan sebaliknya. Alhasil berujung menyesal jadi beban orang tua hingga jadi luluan S2.

Ambisi menjadi dosen biar jadi sosok terpandang

Dengan pakaian rapih dan necis, seorang laki-laki berumur 40-an turun dari mobil dengan tas menggantung di punggung. Ia berjalan meniti lorong bangunan, lalu berhenti di sebuah ruangan dengan nomor dan kode sesuai dengan yang ada dalam jadwal dalam ponselnya.

Dia memasuki ruang itu, sebuah ruang kelas yang di dalamnya sudah ada sekitar 25 mahasiswa menunggu. Dia lalu menghubungkan laptop dengan layar proyektor. Slide demi slide materi dia sampaikan.

Pemaparan materi itu tak berlangsung lama. Setelahnya, laki-laki itu memantik satu persatu mahasiswa di dalam kelas untuk bersuara: Sekadar bertanya atau memberi argumen.

Mata kuliah memang belum sepenuhnya selesaai. Namun, laki-laki itu langsung memberi tugas untuk dikumpulkan di pertemuan selanjutnya. Setelahnya, dia berjalan melenggang meninggalkan ruangan, sembari membalas satu-dua mahasiswa yang menghaturkan sapa.

Gambaran rutinitas ideal seorang dosen itu membuat Atsauri (28) punya tekad menjadi seorang dosen. Maka, sejak masih di bangku S1, Atsauri selalu sungguh-sungguh memerhatikan metode pengajaran dari setiap dosen.

“Aku harus jadi dosen. Pertama, aku suka diskusi. Rasanya pasti seru jika jadi dosen lalu diskusi dengan mahasiswa di kelas. Kedua, masih banyak orang menganggap dosen sebagai profesi terpandang,” ujar pemuda asal Malang, Jawa Timur, itu, Sabtu (18/10/2025).

Telat mengetahui realita

Atsauri lantas melanjutkan S2 di sebuah kampus negeri yang sama seperti masa S1-nya. Karena dia memang berniat betul menjadi seorang dosen.

Atsauri sendiri beranggapan, menjadi dosen pasti akan membuat hidupnya sejahtera. Akan tetapi, Atsauri merasa telat mengetahui realita.

“Ternyata tetep, untuk hidup dengan jaminan gaji tetap hingga masa tua itu ya PNS. Dosen itu kalau masih honorer nggak enak juga hidupnya,” ujar Atsauri.

“Aku sharing dengan salah satu dosen honorer. Dia itu kalau mau dapat uang lebih, ngajarnya harus dobel-dobel. Terus kudu ngoyo bikin peneletian-penelitian. Kalau nggak begitu, kalau cuma mengandalkan satu pintu (jadwal ngajarnya saja di satu kampus), ya nggak cukup,” sambungnya.

Hanya saja, entah kenapa Atsauri tetap optimis bisa sejahtera dengan menjadi dosen. Kalau toh memang harus menjadi PNS dulu untuk hidup sejahtera, maka setelah lulus S2 dia bertekad akan daftar CPNS.

Jadi terpandang tapi juga jadi tempat ngutang

Lulus S2, barulah Atsauri tahu betapa kenyataan tak seirama dengan bayangan di kepala. Susah betul untuk menjadi seorang dosen di kampus negeri. Begitu juga uapaya menjadi PNS.

“Aku terdampar di kampus swasta. Tentu jadi dosen honorer. Aku sudah dua kali gagal jadi PNS. 2023 dan 2024. Bener-bener nggak gampang,” beber Atsauri.

Memang, derajat sosialnya meningkat gara-gara profesi sebagai seorang dosen. Di lingkungan pertemanan, keluarga, hingga tetangga, Atsauri bahkan sering dipanggil “Pak Dosen Muda”. Benar-benar terpandang dan dihormati.

Sesepele rapat RT, jika Atsauri terlibat, dia selalu ditunggu untuk memberi pandangan. Di keluarga pun demikian, saudara atau keponakan-keponakan selalu minta pendapat dari Atsauri. Terutama soal pendidikan.

“Nah banyak orang mengira aku sudah kaya. Karena anggapan gaji dosen itu gede. Mangkanya, mesti aja ada yang bilang, ‘Udah jadi dosen kok nggak ndang beli mobil. Motoran terus panas kepanasan, hujan kehujanan loh’,” ujar Atsauri.

Atsauri hanya bisa berkilah. Menjelskan kalau naik motor lebih efektif baginya ketimbang naik mobil. Sebab, jadi dosen jam ngajarnya padat. Belum kalau ada rapat. Jadi harus serba buru-buru dan tepat waktu. Itu tidak akan terkejar kalau naik mobil dan terjebak macet.

“Paling parah ya ada saja yang ngutang dalam jumlah besar. Rp5 juta sampai puluhan juta pernah. Ya kutolak,” kata Atsauri.

Masalahnya, menolaknya juga harus penuh siasat. Mau terus terang soal gaji—sebagai dosen honorer di kampus swasta—yang kecil kok malu. Alasan lagi tidak pegang uang kok tidak masuk akal. Alhasil, Atsauri lebih sering bilang kalau uangnya digunakan untuk investasi. Padahal aslinya tidak pegang sama sekali.

Jadi dosen biar sejahtera malah nelangsa

Menjadi dosen—apalagi honorer dan di kampus swasta tak terkenal—ternyata tak menjawab bayangan Atsauri tentang hidup sejahtera. Gaji yang dia terima dalam sebulan katanya di bawah Rp2 juta. Sementara upaya untuk menjadi PNS juga tak serta merta mudah.

Di antara keluarga dan lingkungan Atsauri, hanya orang tuanya lah yang tahu kondisi Atsauri yang sebenarnya.

“Karena aku sering juga kehabisan uang sebelum gajian. Kalau begitu, masih sering minta bantuan orang tua buat sekadar beli bensis ke kampus,” kata Atsauri.

Situasi itu membuat Atsauri terpukul betul. Sebab, alih-alih mensejahterkan orang tua di hari tua mereka, dia malah masih menjadi beban.

“Karena aku dari S1 hingga S2 dibiayai penuh. Nggak pakai beasiswa. Itu yang bikin terus merasa bersalah. Sementara sekarang mereka juga membiayai adikku kuliah,” sambungnya.

Atsauri berkali-kali meminta maaf terhadap orang tuanya, belum bisa mencapai kesejahteraan yang sepadan dengan gelar S2-nya. Orang tua Atsauri sebenarnya berkali-kali pula melapangkan hati Atsauri: Bahwa tidak ada yang salah dari Atsauri. Apalagi kenyataannya memang semua orang sedang kesusahan mencari kerja.

Susah payah lawan gengsi, berkaca dari para lulusan S2 yang memilih jalan lain

Sejujurnya, mata Atsauri sudah diperlihatkan dengan banyak hal untuk berkaca: Ternyata banyak loh lulusan S2 yang memilih jalan lain. Tidak menjadi dosen, PNS, atau pekerja kantoran parlente.

Misalnya, Atsauri mengaku tersenggol ketika membaca liputan Mojok tentang lulusan S2 UGM yang  memilih jualan bakso berjudul, “Lulusan S2 UGM dengan IPK Tinggi Jualan Bakso di Jogja Kala Mimpi Jadi Dosen Tertunda“.

“Kalau nuruti gengsi, nggak ada habisnya,” kalimat dari si lulusan S2 UGM itu sebenarnya menampar Atsauri.

Beberapa teman dan kenalan Atsauri yang lulusan S2 juga tidak ada yang berambisi betul menjadi dosen. Ada yang jualan nasi goreng. Buka toko Madura. Membuka bisnis di marketplace pun ada.

“Tapi kalau gaji bulananku sebagai dosen honorer dibandingkan dengan pendapatan mereka, kalah aku, Bos,” ujar Atsauri.

Namun, Atsauri mengaku masih susah payah agar tak terus termakan gengsi. Pasalnya, dia kadung terjebak dengan ilusi kenyamanan “sebagai orang terpandang” karena status “Pak Dosen Muda” tadi. Tapi dia sadar belaka, yang paling penting untuk bertahan hidup saat ini bukan soal terpandang atau tidak, tapi bisa menghasilkan uang atau tidak.

Itu membuatnya terus saja merenung kala berangkat atau pulang mengajar, sembari menyibak kesemrawutan jalanan Malang di jam-jam pagi dan petang.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Pedihnya Lulusan S2 UGM, Ijazah Mewah Cari Kerja Susah: Jangankan Berharap Gaji Dua Digit, Tidak Diejek karena Kelamaan Nganggur Saja Sudah Baik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version