Aku Marsinah. Aku bukan suara masa lalu. Aku adalah peringatan dari masa depan, bahwa keadilan yang tidak ditegakkan akan terus menggali kuburannya sendiri.
***
8 Mei 1993. Aku masih ingat bau tanah malam itu. Basah, dengan aroma amis darah tubuhku yang mulai mengering. Di sebuah gubuk tua di Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, tangan-tangan yang tak kukenal meletakkan tubuhku begitu saja, lalu pergi. Saat itu tubuhku sudah kaku, dengan tulang iga yang patah, leher memar, dan wajah lebam tak karuan. Bahkan, kemaluanku juga robek.
Sialnya, tak ada doa malam itu. Tak ada lampu penerang. Hanya ada desir angin yang lewat di antara batang-batang pohon dan suara makhluk malam yang pelan-pelan menelan tubuhku.
Keesokan harinya, orang-orang menemukanku dalam keadaan mengenaskan. Tubuhku beku membiru. Mataku tertutup rapat, tapi cerita tentangku langsung menyebar cepat. Mereka mengenaliku sebagai Marsinah, buruh perempuan dari PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo, yang dianggap berani menuntut hak dan menolak ketidakadilan.
Setelah dimakamkan dengan layak, orang-orang datang membawa bunga dan air mata. Namaku disebut di koran, diteriakkan di jalanan, dijadikan lagu perjuangan. Aku yang dulu hanya ingin upah layak, tiba-tiba jadi simbol perlawanan.
Bertahun-tahun berlalu. Aku kira dunia di atas tanah sudah berubah. Namun, dari dalam kuburku, aku mendengar kabar yang membuat dada yang remuk ini seolah bergetar lagi. Ada yang ingin memberi Suharto gelar Pahlawan Nasional.
Iya, Suharto!
Bayangkan, lelaki yang memerintah rezim yang membunuhku kini disucikan, dipuja, dan disebut penyelamat bangsa. Katanya, jasa-jasanya melampaui segala dosa. Mungkin, di negeri ini, darah buruh dan air mata rakyat memang tak pernah punya nilai.
Dan yang paling lucu, aku mendengar namaku disebut dalam upacara yang sama. Aku, yang mati di bawah bayang-bayang Orde Baru, dijadikan pahlawan bersama sang penguasa yang menanam teror itu. Dunia benar-benar pandai bercanda.
Ketika menuntut hak dianggap memberontak
Aku lahir di Nglundo, Nganjuk, 10 April 1969. Hidupku sederhana, dengan rutinitas bangun pagi, berangkat ke pabrik arloji PT Catur Putra Surya di Porong, dan bekerja delapan hingga dua belas jam sehari. Di pabrik ini, mesin berdentum lebih keras daripada suara manusia. Setiap hari kami berdiri berjam-jam menatap arloji yang kami rakit, seolah waktu bukan milik kami sendiri.
Aku mulai bekerja di sana sejak 1990. Upahku dua ribu lima ratus rupiah per hari. Cukup untuk makan seadanya, membayar sewa kos, dan sedikit menabung untuk keluarga. Namun, ketika harga kebutuhan naik, upah kami tetap. Maka kami pun mulai bicara, pelan-pelan, dari meja ke meja, dari ruang istirahat ke gerbang pabrik.
Tuntutan kami sebenarnya sederhana: naikkan upah sesuai ketetapan pemerintah, kurangi jam kerja yang melampaui batas, dan hentikan intimidasi terhadap buruh perempuan. Sederhana!
Pada 1 Mei 1993, di Hari Buruh Internasional, kami melakukan mogok kerja. Seratusan buruh berdiri di halaman pabrik, menolak mesin berputar sebelum upah kami disesuaikan dengan SK Gubernur Jawa Timur No. 50/1992. Aku ikut menulis dan membacakan tuntutan itu di depan manajemen. Isi tuntutan kami jelas:
- Kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh
- Asuransi tenaga kerja yang ditanggung perusahaan
- Penghitungan lembur sesuai keputusan menteri
- Jaminan kesehatan karyawan
- Kenaikan uang makan dan transport
- THR satu bulan gaji sesuai imbauan pemerintah
- Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum
- Tunjangan cuti hamil yang tepat waktu
- Upah karyawan baru disamakan dengan yang sudah setahun bekerja
- Peniadaan pencabutan hak karyawan yang sudah diberikan
- Larangan mutasi, intimidasi, atau PHK bagi karyawan yang menuntut hak
- Bubarkan SPSI
Tak ada yang kasar. Tak ada yang ingin menghancurkan apa pun. Kami hanya ingin hidup lebih manusiawi.
Namun, di masa itu, berserikat di luar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dianggap makar. Serikat yang diakui negara itu lebih sering jadi corong pengusaha ketimbang suara buruh. Kami yang menolak tunduk dianggap melawan sistem. Dalam bayang-bayang Orde Baru, mogok kerja tak beda dengan pemberontakan. Aku tahu risikonya: dicatat, diintai, mungkin dihilangkan. Namun, aku tak pernah membayangkan harga dari tuntutan sesederhana itu adalah nyawaku sendiri.
Pada 4 Mei, setelah aksi mogok, tiga belas buruh dipanggil ke Koramil Porong dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Aku datang ke sana keesokan harinya untuk menanyakan nasib mereka. Itulah hari terakhir orang melihatku hidup.
Tiga hari kemudian, jasadku ditemukan di Wilangan, sekitar 80 kilometer dari pabrik tempatku bekerja–dengan kondisi persis seperti yang aku ceritakan di awal. Para aktivis, pengacara, dan jurnalis berjuang mengungkap pelakunya, tapi kasus itu segera ditutup dengan alasan “tidak cukup bukti.” Komnas HAM mencatat adanya keterlibatan militer dalam interogasi para buruh, tapi negara menolak mengakui.
Sejak itu, dari dalam kubur, aku mendengar bahwa diriku “menjadi simbol”. Simbol betapa murahnya nyawa seorang buruh di negeri yang katanya sedang “membangun”.
Jasad lain yang ikut terkubur
Dari bawah tanah ini, aku mendengar banyak jeritan lain yang terkubur bersama namaku. Jauh sebelum jasadku dibuang, ada malam-malam di mana orang hilang tanpa kabar, dan mayat ditemukan di kali, sawah, atau selokan. Mereka menyebutnya penembakan misterius atau Petrus.
Aku ingat kabar samar yang sampai ke telinga kami, para buruh, bahwa ada banyak lelaki-lelaki muda ditemukan terikat, dadanya bolong, tubuhnya dibuang begitu saja di jalan. Kata orang, itu peringatan dari negara agar rakyat takut. Kata penguasa, Suharto, itu cara menertibkan negeri. Tapi bagaimana bisa ketertiban lahir dari peluru di kepala anak muda yang bahkan tak diadili?
Aku sering membayangkan, mungkin di antara mayat-mayat itu ada yang juga buruh atau pedagang kecil. Mereka mati bukan karena jahat, tapi karena negara ingin terlihat kuat. Suharto pernah berkata di televisi, dengan nada datar: “Kalau tidak jahat, ya tidak akan ditembak.”
Lihat betapa mudahnya nyawa manusia digantikan kalimat. Betapa murahnya hidup di bawah tangan seorang “Bapak Pembangunan.”
Beberapa tahun setelahnya, suara takbir menggema di Tanjung Priok. Tahun 1984, warga hanya ingin protes karena tentara memaksa mereka menurunkan spanduk keagamaan dari masjid. Namun, tentara datang membawa senjata, bukan dialog. Puluhan, bahkan ratusan orang ditembak. Suharto bilang hanya dua lusin yang mati, tapi warga menyebut ratusan. Di tengah asap dan darah itu, Suharto masih enteng berpidato tentang “stabilitas nasional.”
Aku, dari dalam tanah, mendengar semua itu seperti dengung serangga di telingaku. Setiap kali ada pembantaian, bumi bergetar sedikit, lalu diam lagi.
Setelah Tanjung Priok, ada Santa Cruz di Dili. Dua ratus tujuh puluh satu, ya: 271 orang ditembak di pemakaman karena menuntut kemerdekaan Timor Timur. Sebelumnya, ada Aceh, yang dijadikan Daerah Operasi Militer sejak 1989, di mana perempuan diperkosa dan desa-desa dibakar. Lalu Papua, di mana rakyat dipaksa memilih bergabung dengan Indonesia di bawah bayonet.
Jujur, aku tak bisa lagi menghitung berapa banyak tanah di negeri ini yang basah oleh darah rakyat. Tahun-tahun berganti, tapi polanya sama: siapa pun yang melawan akan dibungkam. Pers ditutup, kampus diawasi, mahasiswa dipukul di jalan.
Bahkan setelah aku mati, banyak aktivis lain menyusulku: Wiji Thukul yang hilang, buruh-buruh yang ditangkap, mahasiswa Trisakti yang ditembak di siang bolong. Setiap nama baru di berita seperti gema dari nasibku sendiri.
Lalu datang Mei 1998. Aku tak melihatnya, tapi aku bisa merasakan panasnya. Kota terbakar, rakyat lapar, mahasiswa turun ke jalan, dan akhirnya lelaki yang dulu disebut “Bapak” itu jatuh juga. Dunia pun sempat bersorak.
Suharto, di kemudian hari, memang akhirnya mati. Sialnya, ia mati tanpa pernah diadili. Aku sendiri heran, bagaimana seorang penjahat HAM bisa hidup dengan tenang sampai ajal menjemputnya, bahkan masih dipandang luhur.
Bagaimana bisa aku disandingkan dengan pemimpin rezim yang membunuhku?
Setiap kali nama Suharto disebut dengan hormat, tanah di sekitarku bergetar. Seolah ada yang menendang dari bawah. Seolah ribuan korban yang marah, tapi tak bisa bicara. Kami tak butuh balas dendam. Kami hanya ingin diakui bahwa kami pernah ada, dan apa yang dilakukan negara kepada kami adalah kejahatan.
Kini kudengar kabar yang lebih gila. Pada Hari Pahlawan, 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto, menandatangani keputusan yang memberi gelar Pahlawan Nasional kepada mertuanya. Di hari yang sama, katanya, aku juga diberi gelar serupa.
Bayangkan, aku yang dibunuh oleh tangan rezimnya, kini dipaksa berdiri sejajar dengannya di prasasti negara. Aku tak tahu harus tertawa atau menangis. Barangkali inilah ironi paling sempurna dari negeri yang begitu pandai melupakan; korban dan pelaku disucikan dalam satu upacara, satu penghormatan, satu lagu kebangsaan.
Dari bawah tanah, aku bertanya: apa arti kata pahlawan bagi bangsa yang tak pernah berani menatap sejarahnya sendiri? Bagaimana bisa negeri ini memuja orang yang menembak warganya, menutup mulut persnya, dan menggantungkan masa depannya pada rasa takut? Bagaimana bisa lelaki yang membangun negeri ini di atas tulang-tulang kami, kalian sebut sebagai pahlawan?
***
Aku Marsinah. Aku bukan suara masa lalu. Aku adalah peringatan dari masa depan, bahwa keadilan yang tidak ditegakkan akan terus menggali kuburannya sendiri.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani atau Liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
