Tak mudah bagi para atlet panahan muda kala harus melesatkan anak panah di tengah hujan yang mengguyur Kota Kudus. Namun, anak-anak panah itu toh harus tetap dilesatkan juga, demi meraih target emas MilkLife Archery Challenge (MLARC). Salah satunya atlet dari Semarang ini yang maju ke babak final.
***
Rabu (17/12/2025) hujan mengguyur Stadion Supersoccer Arena (SSA), Kudus, saat pertandingan MilkLife Archery Challenge (MLARC) berlangsung. Para atlet yang sedang latihan di sisi kiri lapangan dari arah pintu masuk, langsung berhamburan menyelamatkan busur-busurnya di dekat tenda.
Tapi tidak bagi atlet yang sedang bertanding, mereka harus rela basah-basahan di tengah lapangan. Salah satunya atlet muda dari klub panahan Abhipraya Semarang. Mereka terdiri dari Naura A. Anindya (14) dan Niyo A. K. Nizham (14) yang harus menyelesaikan pertandingan di babak final.
Hujan bak petaka para atlet di area panahan Kudus
Di tengah derasnya hujan dan angin kencang, baik Naura maupun Niyo hanya bisa pasrah. Toh, mereka tak bisa langsung berhenti memanah, kecuali panitia menunda jalannya pertandingan.
Pada pertandingan MLARC yang digagas oleh Persatuan Panahan Indonesia (Perpani), Milklife, dan Djarum Foundation itu, Niyo maupun Naura harus menembak 4 anak panah dalam satu babak (set) atau total ada 4 set yang harus mereka selesaikan.

Belum selesai set ke-3, hujan sudah membasahi mereka. Sementara waktu terus berjalan dan skor dengan tim lawan terus berkejar-kejaran.
“Panik banget karena anginnya kencang. Jadi susah buat ngatur (tekniknya). Kan harusnya kami narik panah ke bawah tuh, tapi kalau hujan harus beda lagi caranya,” ucap Naura saat ditemui Mojok di tribun usai bertanding.
Perempuan kelas 9 SMP itu juga bercerita kalau tetesan hujan yang mengenai tangannya sering membuatnya risih. Selain basah, posisi pegangan tangan jadi tidak nyaman karena licin. Belum lagi, tali busur (string) menjadi basah dan berubah elastisitasnya.
“Jadi aku harus bolak-balik ngelap tuh. Takut banget kalau karatan,” kata Naura.
Tak hanya Naura, Niyo pun mengaku sempat terganggu jarak pandangnya karena butiran hujan yang masuk ke mata. Selain itu, air hujan juga bisa membuat sight atau bidikan di busur jadi berembun, sehingga ia sulit melihat target dengan jelas.
“Deg-degan banget sebetulnya, ini meleset apa nggak ya anak panahnya? Karena final juga kan,” ujar Niyo.
Di tengah hujan, penguasaan teknik lah yang berbicara
Bisa dibilang Naura dan Niyo merupakan atlet unggulan dari klub panahan Abhipraya Semarang. Sebab dalam aturan MLARC, atlet putra dan putri yang mengikuti kategori beregu campuran recurve U-15 jarak 40 meter, biasanya diambil dari para atlet terbaiknya di dalam klub.
Niyo sudah menggeluti olahraga panahan sejak kelas 3 SD. Kini, dia sudah kelas 8 SMP. Artinya, selama 5 tahun itu, Niyo sebetulnya sudah terbiasa latihan panahan saat hujan. Begitu pula Naura yang sudah berlatih panahan selama 3 tahun.
Meski begitu, atlet panahan senior, Nurfitriyana Saiman menjelaskan, hujan memang menjadi tantangan terberat bagi atlet panahan, apalagi untuk usia muda seperti Naura dan Niyo. Mau seberapa pun lamanya mereka latihan, teknik tetap harus bisa mereka kuasai.
“Atlet panahan itu harus bisa membaca angin. Dan kalau hujan, itu beda lagi. Target kuning itu kan di tengah, tapi anginnya terus kencang, apesnya lagi kalau anak panahnya kena hujan. Pasti hujan itu menekan kan, jadi bisa nggak stabil anak panahnya. Sehingga nggak bisa tuh kalau hanya ditembak lurus, tetap diukur,” tutur Nurfitriyana yang ikut menikmati jalannya pertandingan MLARC di SSA, Kudus.
“Sementara, kalau anak-anak tuh fokusnya sebetulnya lebih ke bagaimana dia suka dulu, senang dulu dengan olahraga panah,” lanjut Nurfitriyana.
Menaklukkan hujan dan ketakutan, medali emas panahan pun di tangan
Lebih dari itu, Nurfitriyana berujar hujan juga bisa menjadi faktor penghancur fokus dan mental. Sementara, panahan adalah olahraga yang tak hanya mengandalkan fisik, tapi juga pikiran.
“Panahan itu mengandalkan fokus, nggak boleh punya pikiran macam-macam. Saat memegang busur, di sana lah kamu harus bisa menguasai dirimu. Mangkanya saya selalu bilang, panahan itu sangat bagus untuk kehidupan ke depan,” ujar legenda 3 Srikandi itu, penyumbang medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade tahun 1988.
Lebih-lebih, jika atlet sudah teralihkan dengan hujan, hal itu bisa mengganggu konsentrasinya dalam menembak. Misalnya, seperti yang dipikirkan Naura tadi, saat ia khawatir kalau busur panahnya bisa karatan. Atau seperti kata Niyo yang khawatir dan takut kalau anak panahnya meleset dari target.
Beruntung, baik Naura maupun Niyo tak memikirkan hal itu berlarut-larut. Teriakan semangat dari teman-temannya di atas tribun pun menyadarkan mereka bahwa pertandingan belum usai. Sehingga, sesulit apa pun kondisinya, mereka harus menampilkan yang terbaik.
“Waktu dengar teriakan semangat dari teman-teman dari atas tribun, aku langsung sadar. Udah lah, gas aja! Yakin!” kata Naura.
Naura dan Niyo pun berhasil “menaklukkan” hujan dan ketakutan, mereka pun berhasil meraih medali emas di kategori tim beregu campuran recurve U-15 jarak 40 meter.
“Alhamdulillah, senang sekali bisa dapat emas walaupun tantangannya juga berat. Semoga kedepannya kami bisa masuk timnas.” Kata Niyo.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan