Hak Prerogatif Tuhan di Ponpes Waria Al Fatah

Ilustrasi - Hak Prerogatif Tuhan di Ponpes Waria Al Fatah (Mojok.co/Ega Fansuri)

Saya mengobrol dengan para santri Ponpes Al Fatah, sebuah pesantren waria di Jogja. Bagi mereka, baik buruknya seseorang harus dilihat dari perilaku, bukan gendernya. Apalagi menilai manusia sebatas tampilan luarnya saja.

“Perihal spiritualitas itu hak prerogatif Tuhan untuk melihat manusianya. Jadi yang bisa tahu tingkat spiritualitas masing-masing manusia itu cuma Tuhannya.”

Kalimat itu selalu terlintas di kepala. Tak pernah bisa hilang. Bahkan, kalau boleh ditulis sebuah mural, kutipan tadi lah yang harusnya paling tebal dan lebar. 

***

Keramahan khas gang-gang sempit Jogja begitu terasa. Ketenangan kota seolah nyata terhampar saat seorang ibu, salah satu penghuni gang, mengantar saya menuju Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fatah, Kotagede, Kamis (10/7/2025) siang. 

Tak ada riuh berarti; hanya ada warga yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sambil tergopoh-gopoh, seorang santri dari kejauhan melepas alas kaki di teras pondok.  “Mbak YS”, demikian mereka memanggilnya.

Dan, benar! Mbak YS adalah sosok yang membuat kutipan menggugah di awal tulisan ini.

Mbak YS merupakan orang yang aktif mengelola Ponpes Al Fatah. Ponpes ini adalah sebuah pesantren di Jogja yang dikhususkan untuk waria.

Namun, yang perlu diketahui, jauh sebelum Ponpes Al Fatah berdiri, Mbak YS sudah aktif dalam komunitas waria di Jogja. Dengan gincu merah terangnya itu, ia bercerita bahwa dirinya turut mendirikan LSM Keluarga Waria Yogyakarta (Kebaya) pada 2006 bersama tokoh lainnya, seperti Mami Vinolia Wakidjo. 

Baik LSM Kebaya maupun Ponpes Al Fatah, keduanya sama-sama memperjuangkan hak, kesejahteraan, serta kesetaraan di berbagai aspek kehidupan bagi transpuan. Bedanya, LSM Kebaya berpusat pada isu kesehatan HIV/AIDS, sementara Ponpes Al Fatah lebih memfasilitasi ruang spiritual untuk teman-teman transpuan.

Ponpes Al Fatah memang bukan pondok dengan bangunan luas. Namun, kalau kata Mbak YS, ia lebih dari cukup untuk mewadahi kegiatan spiritual para santri.

ponpes al fatah.MOJOK.CO
Bagi Mbak YS, Ponpes Al Fatah tidak besar dan luas, tapi cukup untuk mewadahi kegiatan spiritual para waria. Foto Mbak YS, diambil pada Kamis (10/7/2025). (Mojok.co/Melvinda E)

Ponpes Al Fatah dan kenangan Sintha Ratri sang pendiri

Kendati demikian, sudah hampir tiga tahun mereka pindah dari Kotagede setelah Ibu Sintha Ratri, ketua Ponpes sebelumnya, meninggal dunia. Tentu saat itu Mbak YS tak hanya merasakan duka kehilangan, tapi muncul juga keresahan akan keberlanjutan Ponpes Al Fatah. Apalagi, mereka harus segera memindahkan “ruang” Ponpes dari rumah Ibu Sintha.

Begitu pula Mbak Yolla, santri lainnya, yang memberi saya gambaran betapa sulitnya memindahkan Ponpes dari rumah Ibu Sintha di Kotagede ke ruang yang—bahkan kata dia: “kami belum tahu harus ke mana”. 

Banyak kenangan sentimental terukir di dinding-dinding itu selama sembilan tahun. Meski begitu, ini bukan kali pertama Ponpes Al Fatah harus berpindah dengan cerita serupa. Sebelumnya, Ponpes Al Fatah bertempat di rumah Ibu Maryani, sosok yang mendirikan ponpes ini, pada 2008–2014, sebelum akhirnya pindah ke rumah Ibu Sintha hingga 2023.

Foto Sintha Ratri, salah seorang pendiri Pondok Pesantren Al Fatah, yang terpajang di dalam ruangan ponpes. Foto diambil pada Kamis (10/7/2025). (Mojok.co/Melvinda E)

“Secara konsep, Ponpes Al Fatah di zaman Bu Maryani dan Bu Sintha memang selalu berlokasi di rumah tinggal mereka yang memiliki ruang cukup representatif dan kondusif untuk jadi ruang berkegiatan santri,” katanya tatkala kami berbincang, Kamis (10/7/2025).

“Bicara soal kegiatan Ponpes kan sifatnya komunal, jadi butuh ruang yang cukup luas. Sementara aku sendiri cuma ngekos sepetak. Masa Ponpes harus usai saja?” keluh Mbak YS, mengimbuhkan.

Sepeninggal Ibu Sintha, tak banyak yang berubah; semangat untuk mendekatkan diri pada Tuhan tetap sama. Untungnya, Ponpes berhasil dipindahkan.

Menjadi transpuan di ambang ide biner masyarakat Indonesia

Saat saya datang, Ponpes Al Fatah berwujud sekretariat kotak dengan dua bilik kecil dan satu ruang utama. Meski demikian, bagi Mbak Yolla dan Mbak Dea—dua santri lain yang turut serta dalam obrolan sore itu—keseharian Ponpes masih terbilang sama. 

Saat Minggu sore, misalnya, para santri sibuk mengaji bersama, mendengar kajian, dan dilanjut salat berjamaah. Setidaknya itu juga yang tergambarkan pada Ponpes Al Fatah hari ini. 

Tak sampai di situ. Semangat meningkatkan spiritualitas, kata Mbak YS, juga diiringi dengan kegiatan edukasi dan pemberdayaan bagi para santri. 

“Aku selalu bilang bahwa pendidikan itu menjadi tiang (penting),” tegasnya. Bagi Mbak YS, ruang ponpes memang menjadi wadah diskusi  yang melonggarkan batasan-batasan gagasan gender biner, yang selama ini masih dianggap tabu oleh masyarakat.

Mbak YS (kiri) dan Mbak Yolla (kanan) sedang menjalankan aktivitas di dalam Ponpes Al Fatah. Foto diambil Kamis (10/7/2025). (Mojok.co/Melvinda E)

Lebih lanjut, Mbak YS menekankan salah satu program penting Ponpes, yakni “Ponpes Gruduk Kampus”. Baginya, hal itu dapat menjadi gerbang memulai diskusi dengan teman-teman akademis muda terkait isu keberagaman gender hingga hal-hal lainnya.

“Itulah kenapa Ponpes membuka ruang seluas-luasnya untuk diskusi, sebab melalui diskusi itu harapannya menambah pengetahuan juga pemahaman. Barangkali, masyarakat umum dapat melonggarkan ide gender biner,” pungkas Mbak YS.

Namun, Ponpes Al Fatah pernah tutup pada 2016 karena ancaman ormas konservatif

Meski begitu, Ponpes Al Fatah punya pengalaman buruk. Terutama pada tahun 2016 lalu. Kala itu, Ponpes Al Fatah mendapatkan penolakan hingga ancaman dari kelompok konservatif agama. 

Bahkan, pesantren ini sempat ditutup sementara pada bulan Februari 2016 akibat tekanan tersebut.

Alasan penutupan? Ormas konservatif tadi menganggap pesantren waria bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma masyarakat. Klaim ini kemudian dibantah oleh Ibu Shinta Ratri dengan menegaskan bahwa pesantren tidak mengajarkan hal-hal menyimpang.

“Ya Allah, kegiatan kami positif, tidak nyeleneh, di saat teman-teman pengen dekat ke Tuhan kok orang-orang malah berusaha menghalangi ya?” ujar Mbak YS, mencoba mengingat peristiwa sembilan tahun silam.

Menanggapi hal itu, Mbak Yolla turut mempertanyakan soal kemanusiaan. Yang ia tahu, agama seharusnya mengajari kebaikan tanpa kekerasan. Setelah penyerangan itu, Mbak Yolla belajar bahwa manusia tak punya akses untuk mengetahui baik dan buruk seseorang, apalagi hanya dari penampilan luarnya.

“Terlebih, untuk perkara spiritualitas dan religiusitas, kiranya adalah urusan individu dengan Tuhannya,” ujarnya.

Bangkit, tak mau larut dalam kemalangan

Meski kejadian kala itu sangat memilukan, para pengelola termasuk Mbak YS, tak ingin berlarut dalam kemalangan. Malah, dirinya mengubah itu menjadi sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Pun, ini akhirnya jadi semangat keluarga Ponpes Al Fatah untuk mempertahankan eksistensinya.

Mbak YS (tengah) menyebut bahwa kejadian 2016 lalu ia anggap sebagai sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Foto diambil pada Kamis (10/7/2025) (Mojok.co/Melvinda E)

Misalnya, di samping melakukan kegiatan yang bersifat edukatif, para santri pun semangat mengembangkan kemampuan diri. Ini terwujud dalam berbagai kegiatan pemberdayaan seperti pelatihan literasi keuangan, komputer dasar, advokasi, hingga layanan klinik gratis yang bisa diakses masyarakat umum.

Hasil pemberdayaan itu terwujud dalam kesibukan Mbak Yolla sebagai pemilik warung makan, salon, kos, hingga koperasi. 

Dalam pandangan Mbak Yolla, menjadi transpuan tidaklah berbeda dari masyarakat umumnya, sama sekali—juga memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Pun, buatnya, selagi ada kesempatan untuk menghasilkan, “kenapa enggak sih?”, tegas Mbak Yolla.

Selain Mbak Yolla, ada juga Mbak Dea. Dia adalah santri yang sehari-harinya sibuk menjadi penyanyi kafe dan berjualan pakaian. Ia lebih pendiam dengan penampilan sangat feminim.

Melalui ceritanya, Mbak Dea banyak mendapatkan pengetahuan melalui kegiatan edukasi serta pemberdayaan dari Ponpes. Hal ini diperkuat dengan dukungan dari masyarakat sekitar yang mengikutsertakan Mbak Dea dalam kelas pemberdayaan di luar Ponpes. 

Bahkan, Mbak Dea mengamini bahwa hubungannya dengan masyarakat sekitar Ponpes maupun tempat tinggalnya sangatlah rekat. 

Dukungan itu tak sekadar kata, Mbak Dea juga banyak terlibat dalam kegiatan masyarakat seperti PKK. 

“Bagiku, menjadi transpuan sama halnya dengan menjadi perempuan maupun laki-laki, yakni sama-sama menjadi manusia yang beretika,” tegas Mbak Dea.

Potret ruang tengah Ponpes Al Fatah yang dihiasi foto-foto para tokoh penggerak ponpes ini. Foto ini diambil pada Kamis (10/7/2025). (Mojok.co/Melvinda E)

Penilaian terhadap manusia terletak pada sikap, bukan gendernya

Pernyataan itu diperkuat dengan ucapan Mbak YS yang menganggap penilaian terhadap manusia diletakkan pada sikap dan perilakunya, bukan gender. Oleh sebab itu, Mbak YS selalu mengingatkan para santri agar dapat berperilaku baik.

“Terlebih, kami sadar bahwa kami kaum minoritas, jadi aku mengingatkan teman-teman transpuan supaya tidak memudahkan masyarakat umum menggeneralisasi label buruk ke kaum transpuan,” ungkapnya.

Alhasil, baik Mbak YS, Mbak Yolla, maupun Mbak Dea mengakui tiga tahun ini tidak pernah terjadi penolakan bahkan konflik di masyarakat sekitar. Hal ini cukup membuktikan bahwa rasa menghargai sesama manusia muncul dari interaksi sosial, perilaku yang baik.

Kendati tak ada konflik eksternal, kalau berdasarkan kesaksian Mbak YS, tentu terdapat gejolak dalam keluarga Ponpes itu sendiri. Khususnya setelah perginya pemimpin Ponpes Al Fatah.

Beberapa berfraksi, sangat ambisius untuk menjadi pemimpin pengganti Ponpes, tetapi menurut Mbak YS, mereka tidak benar-benar memiliki semangat mempertahankan Ponpes Al Fatah. Begitu juga Mbak Yolla, ia membenarkan pernyataan Mbak YS karena saat itu, baginya, yang tentu harus diusahakan adalah cara Ponpes Al Fatah tetap berdiri.

“Ini bentuk rasa sayangku ke Ponpes yang sudah kudirikan bersama Bu Maryani dan Bu Sintha. Menjadi ketua Ponpes hari ini bukan suatu kebanggaan sama sekali buat aku pribadi, justru ini adalah tanggung jawab besar,” tegas Mbak YS.

Penulis: Melvinda Eliana

Editor: Ahmad Effendi

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025

BACA JUGA: Orang Berpostur Tinggi Sering Dikira Banyak Privilese seperti Gampang Cari Kerja, padahal Penuh Kerepotan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version