Menjadi seorang guru ibarat bekerja tanpa jam pulang. Guru tak pernah benar-benar bisa merasa pulang. Meski raga sudah berada di rumah, tapi pikiran dan hati kerap kali masih tertinggal di sekolah. Sebab, ada hal-hal yang tak bisa lepas kendati bel tanda jam pelajaran berakhir sudah lama berbunyi.
Beban moral terhadap anak sendiri
Jam sekolah sebenarnya sudah berakhir sejak pukul 14.30 WIB. Namun, ibu Qolila (16)—seorang guru MA di Sidoarjo, Jawa Timur—baru akan pulang pada pukul 15.00 WIB.
Sore memang menjadi waktu jeda bagi ibu Qolila. Sekadar untuk menonton televisi atau melipat-lipat baju. Pemandangan itu sudah Qolila lihat sejak ia masih SD hingga kini duduk di bangku SMA.
Sepengakuan Qolila, sepanjang hidup ibunya menjadi seorang guru, ia merasa ibunya tak pernah benar-benar bisa menikmati rumah.
Ibu Qolila akan bangun pukul 04.00 WIB untuk masak, mencuci, dan lain-lain. Pukul 06.20-an WIB, ia akan berangkat ke sekolah sampai pukul 15.00. Malam harinya, Qolila merasa amat jarang mendapati ibunya dalam situasi yang benar-benar santai kecuali di malam Minggu.
“Kadang kan ya ngecek tugas siswanya. Tapi kalau malam ibu pasti mencoba mendampingiku belajar, karena kan aku memang nggak satu sekolah sama ibu,” ujar Qolila. “Beban moral kali ya, masa seharian sibuk mendidik anak orang, anak sendiri sampai kelewatan.”
Qolila menyadari itu karena ia melihat, ada kasus saking sibuknya orang tua di sekolah, sampai tak cukup waktu untuk mendampingi anaknya sendiri untuk sekadar belajar. Alhasil, si anak malah nggak karuan.
Guru tak pernah benar-benar di rumah: kepikiran “anak-anak bermasalah”
Kini, ketika Qolila sudah tumbuh remaja, tak jarang ia mendengar kegelisahan dari sang ibu. Di sekolahnya, ibu Qolila memang dikenal sebagai salah satu guru “favorit siswa”. Karena asyik, taletan, dan bisa berbaur dengan siswa model apa pun.
“Kadang ibu itu kepikiran kan, ada anak yang, mohon maaf, nggak pinter. Nilainya jelek terus. Itu ibu juga kepikiran, ini anak harus diapakan ya biar nilainya naik,” tutur Qolila.
Ada juga siswa yang bolak-balik jadi langganan BK. Sering telat lah, bikin onar lah, bolos lah. Kata Qolila, hal-hal semacam itu turut dipikirkan ibunya saat pulang ke rumah.
Sebagai seorang guru, ibu Qolila merasa perlu membantu anak-anak itu belajar disiplin dan lebih tertata hidupnya. Karena bagaimana pun ia tidak akan melulu hidap sebagai remaja puber. Tapi kelak akan menghadapi kehidupan orang dewasa.
“Tapi asli, kuakui ibu itu disayang sama siswanya. Karena kalau lebaran rumahku pasti paling ramai. Alumni-alumni juga nggak pada lupa. Katanya kalau ke sekolah, pasti ada alumni yang cari ibu, dan ibu masih hafal wajah dan nama-nama mereka,” kata Qolila.
Bawa pekerjaan ke rumah
Fauzana (26), seorang guru muda di sebuah MI di Tuban, Jawa Timur, juga mengungkapkan hal serupa. Guru itu seperti tak punya jam pulang. Raga di rumah tapi pikiran tetap di sekolah.
Penyebabnya, fauzana secara eksplisit menyebut, ada pekerjaan-pekerjaan sekolah yang mau tidak mau harus dibawa ke rumah. Misalnya, mengecek tugas-tugas atau PR siswa, membuat soal-soal ketika ujian, dan beban-beban administratif lain.
“Apalagi kalau mau kasih rapor. Itu bisa lembur-lembur bikin nilai,” kata Fauzana.
Guru saat di rumah: mikir kondisi siswa
Belum lagi, untuk guru MI seperti dirinya, Fauzana harus benar-benar kreatif. Oleh karena itu, momen di rumah sering ia gunakan untuk riset perihal metode ajar yang efektif dan menyenangkan bagi anak-anak.
“Bebannya itu apalagi kalau tahu ada anak yang hitung-hitungan alot, baca juga masih terbata-bata. Nah, itu harus mikir gimana biar anak-anak bisa nangkep,” jelas Fauzana.
Fauzana juga kerap kepikiran, misalnya ketika ia mengajar lalu melihat anak-anak di kelas malah tampak nglentruk tak bergairah. Kan percuma Fauzana berbusa-busa kalau materi ajarnya tidak masuk di siswa karena mereka tidak antusias belajar.
“Jadi, harus selalu cepet nemu metode baru. Kalau satu metode dipakai terus-menerus, anak-anak nanti bakal bosen-bosen sendiri,” sambungnya.
Nasib guru harus diperhatikan
Cerita yang dibagikan Qolila dan Fauzana bukan dalam rangka sambat dan adu nasib. Bagi Fauzana, setiap profesi pasti memiliki konsekuensi tertentu. Dan memang sudah seharusnya dijalani.
Bahwa misalnya dengan menjadi guru membuat Fauzana dalam situasi “raga di rumah tapi pikiran di sekolah”, sungguh itu bukan masalah.
Fauzana dan Qolila hanya ingin menunjukkan, betapa guru seharusnya mendapat perhatian serius. Nasib mereka harusnya diupayakan layak oleh pemerintah. Karena mereka serius dalam mendidik.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat rehat, justru jadi ruang paling intim bagi para guru untuk memikirkan anak-anak didiknya yang mungkin di luar sana tengah sibuk bermain bersama teman atau kumpul-kumpul keluarga.
“Apalagi untuk honorer seperti saya,” kata Fauzana. Kalimatnya terhenti di situ. Hanya nafas panjang yang sudah cukup bisa menjelaskan kondisi yang ia alami sebagai seorang guru honorer.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Berambisi Jadi Dosen biar Terpandang dan Gaji Sejahtera, Pas Keturutan Malah Hidup Nelangsa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
