Posisi relasi dan kepatuhan santri terhadap pimpinan pondok pesantren (kiai atau pengasuh) tengah menjadi sasaran kritik bahkan dituding sebagai praktik perbudakan. Etika santri di pondok pesantren dianggap lebih menunjukkan ketimpangan relasi kuasa alih-alih pemenuhan hak-hak santri sebagai penuntut ilmu (Seperti diperlakukan layak hingga mendapat fasilitas yang memadai).
Misalnya, santri berjalan jongkok di hadapan kiai. Santri meminum atau memakan bekas kiai. Memberi amplop ketika bersalaman dengan kiai. Ikut gotong-royong membangun pesantren. Tidur di kamar sekadarnya. Hingga perkara sungkem (menyucup tangan kiai dengan penuh penghayatan).
Etika para santri kemudian dinarasikan sebagai fenomena yang mengarah pada pengkultusan terhadap sosok pimpinan pondok pesantren.
Ta’lim Muta’allim: panduan paripurna
Sejauh penelusuran Mojok, para santri—khususnya di pondok pesantren di Jawa—menjadikan kitab Ta’lim Muta’allim sebagai panduan paripurna dalam persoalan etika profetik (kalau meminjam istilah Kuntowijoyo).
Kitab tersebut ditulis oleh Imam Burhan al-Din Ibrahim al-Zarnuji yang diperkirakan hidup pada abad 12/13 Masehi (masih di masa Kekhalifahan Abbasiyah).
Poin-poin yang termaktub dalam kitab tersebut antara lain:
1. Etika dan adab: Menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu, termasuk bagaimana memilih guru dan sahabat yang baik, serta cara-cara yang tepat untuk belajar.
2. Menghormati ilmu dan guru: Mengajarkan pentingnya memuliakan ilmu pengetahuan dan para ulama atau cendekiawan yang telah menguasai ilmu tersebut.
3. Kesungguhan dan ketekunan: Pentingnya memiliki kesungguhan, ketekunan, dan cita-cita yang luhur dalam proses belajar agar mendapat ilmu yang bermanfaat.
4. Fondasi belajar: Kitab ini memberikan fondasi yang harus dipersiapkan setiap pencari ilmu. Termasuk bagaimana nantinya seorang pencari ilmu akan mengajar ilmunya pada publik.
Berpegang kitab tersebut, para santri yang Mojok ajak berbincang menyebut bahwa penghormatan beda dengan pengkultusan. Sebab, penghormatan yang dilakukan para santri bukan dalam posisi “mendewakan” si pengasuh atau kiai. Tapi bentuk terima kasih atas ilmu dan bekal moral-spiritual yang sudah diberikan oleh sang kiai.
Bukan pula sebagai bentuk feodalisme. Sebab, tidak ada unsur keterpaksaan bagi para santri dalam mengikuti titah kiai. Tapi dilandasi keikhlasan karena sudah laiknya para santri, sebagai fakir ilmu, melakukannya pada orang yang telah memberi mereka ilmu.
Dalam Islam, ilmu memiliki kedudukan sangat mulia. Karena berkat ilmu lah seseorang bisa beranjak min al-dhulumat ila al-nur (Dari gelap (kebodohan) ke pencerahan). Sehingga orang yang mengajari ilmu juga sudah sepatutnya dimuliakan. Sebagaimana juga penuturan Ali bin Abi Thalib yang cukup masyhur: أنا عبد من علمني ولو حرفا واحدا (Aku adalah hamba sahaya bagi siapapun yang mengajarkan ilmu kepadaku walau satu huruf).
Etika profetik santri di pondok pesantren tidak lahir dari ruang kosong
Habibi Farihin dan Fahmi Khasani dalam jurnal “Etika Profetik Santri: Resepsi Hadis Pada Tradisi Pendidikan Pesantren” menyebut, etika profetik di pondok pesantren tidak terbangun dari ruang kosong.
Ada banyak etika profetik yang berkembang di sejumlah pesantren. Salah satu yang dikaji dalam jurnal tersebut adalah di PP. Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Misalnya, etika ibadah, pendidikan, sosial, hingga lingkungan.
Setiap etika tersebut merupakan bentuk dari living hadis. Dalam pengertian A. Ubaydi Hasbillah dalam Ilmu Living Quran-Hadis (2021), yakni suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang kokoh dan meyakinkan dari suatu budaya, praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau perilaku hidup di masyarakat yang diinspirasi dari sebuah hadis Nabi.
“Nabi Muhammad Saw menjadi role model manusia ideal dalam segala hal. Wejangan dan tindakannya yang bernilai hukum dipelajari oleh para ulama, dirumuskan menjadi ilmu fikih, yang bernilai moral-spiritual menjadi ilmu akhlak-tasawuf, yang bernilai keyakinan dan keimanan menjadi ilmu akidah/tauhid. Demikian hadis hidup sebagai ilmu dan mewarnai dinamika pemikiran islam,” tulis Fahmi dan Habibi.
Landasan sungkem hingga makan atau minum bekas kiai di pondok pesantren
Mencari rida seorang guru (kiai di pesantren) menjadi tujuan puncak bagi setiap santri. Bahkan, dalam kasus yang Mojok temui, ada semboyan semacam ini: Alim saja tapi kalau tidak mendapat rida kiai, maka hidupnya tidak akan mendapat berkah.
Demi mendapat keridaan guru, Imam al-Zarnuji menyebut beberapa praktik yang pada intinya bermuara pada: penghormatan (ketawaduan) pada guru. Misalnya, tidak berjalan di depan guru, tidak menempati tempat duduknya, tidak banyak bicara di depannya, tidak memulai pembicaraan tanpa dipersilakan, dan menjaga perasaan sang guru dalam bentu-bentuk lain.
Wujud hormat bisa dilihat dalam keseharian santri yang selalu keroyokan mencium tangan kiai. Dasarnya adalah H.R. Ibn Hajar al-Atsqalani:
Diriwayatkan dari Usamah bin Syuraik r.a: Kami berdiri menemui Nabi Muhammad Saw, lalu kami mencium tangannya (sungkem).
Di pesantren juga ada tradisi tabarrukan (tabarruk) alias mencari berkah. Umumnya dilakukan para santri dengan memakan atau meminum bekas minuman atau makanan kiai. Juga bentuk-bentuk ngalap berkah yang lain.
Dasar tabarrukan merujuk riwayat Asma binti Abu Bakar dalam H.R. Bukhari. Asma menggunakan jubah yang pernah dipakai Rasulullah Saw untuk mencari berkah berupa kesembuhan dari penyakit.
Ada juga periwayatan dari Ibn Asakir yang menyebut bahwa Asma binti Yazid pernah melakukan tabarruk dengan meminum air bekas minum Rasulullah Saw.
Bahkan persoalan makan bersama-sama dalam satu wadah pun juga merujuk perilaku Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan dalam H.R. Abud Dawud: “Makan bersama-sama dengan menyebut nama Allah Swt, niscaya akan memberi berkah.”
Sementara pemandangan santri memberi amplop pada kiai juga bagian dari representasi hormat atas ilmu. Sifatnya adalah hadiah sukarela, bukan karena kiai mengharuskan demikian. Bahwa ada kiai yang mencari kesempatan, itu lain soal—sudah berada di luar prinsip etika profetik pesantren.
Pada batas mana kepatuhan santri?
Rasulullah Saw sendiri dalam riwayat Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari memang menekankan perihal sam’an wa tho’atan (mendengar dan patuh) pada sosok pemimpin (dalam konteks pesantren ya kiai). Namun, Rasulullah membatasi kepatuhan tersebut pada kemaksiatan.
Batasan tersebut memang sudah jelas. Namun, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, M. Febriyanto, menekankan pentingnya transformasi dalam manajemen pesantren.
Lebih spesifik Febriyanto menyontohkan pembangunan di pesantren yang melibatkan para santri. Baginya, hal tersebut merupakan bagian dari rasa kepemilikan santri terhadap pesantren (sebagai bentuk pengabdian juga) dan merupakan tradisi sosial yang positif.
Bagi Febriyanto, tradisi pengabdian tetap bisa dijaga, hanya memang harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan, keselamatan, dan perlindungan anak.
“Nilai luhur tradisi pesantren tidak boleh menutup mata terhadap persoalan keselamatan dan kemanusiaan,” jelasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kitab Kuning, Peradaban Sepanjang Masa Pondok Pesantren atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












