Di Jogja, keberadaan ojek online (ojol) tidak hanya memudahkan pengguna untuk menjalani mobilitas sehari-hari. Ojol juga memberi rasa aman karena berada di garda depan dalam melumpuhkan kejahatan jalanan seperti Klitih.
***
Reva (25) sedang menikmati sepiring nasi orak-orik di sebuah Warmindo di daerah Godean, Jogja, saat sekelompok driver ojol melumpuhkan sekelompok remaja pelaku klitih.
Kabar mengenai mengerikannya klitih di Jogja memang sudah Reva dengar sejak lama. Itulah kenapa, setiap main di Joja hingga tengah malam, dia merasa waswas. Niat hati menikmati malam di Jogja tapi kalau berujung kena bacok kan repot.
Reva asal Semarang. Setiap dua minggu atau sebulan sekali di akhir pekan, dia kerap melipir ke Jogja untuk menemui sang kekasih yang sedang menempuh S2 di Jogja. Sering kali dia bisa muter-muter Jogja hingga tengah malam.
“Sejak sering ke Jogja pada 2022 lalu, sebenarnya belum pernah sekali pun ketemu klitih, sih. Padahal di Instagram atau X, aku sering nemu video-video klitih di Jogja. Tapi ya tetap saja agak ngeri kalau keluar tengah malam,” ujar Reva berbagi cerita belum lama ini.
Ojol di Jogja sigap amankan klitih
Suatu malam pada Juli 2024 lalu, saat sedang khusyuk menyantap nasi orak-arik di sebuah Warmindo di Godean, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan yang saling bersahut dari arah luar. Orang-orang di dalam Warmindo itu pun langsung berhamburan keluar: memastikan apa yang terjadi.
Tak mau ketinggalan, Reva ikut membuntuti, meninggalkan sepiring nasinya yang belum tandas. Ternyata, di hadapannya tampak sekelompok remaja diamankan oleh sejumlah orang berjaket hijau: siapa lagi kalau bukan para driver ojol.
“Klitih bajingan!”, “Klitih asu!”, “Bajingan kowe!”. Begitu teriakan-teriakan yang mengiringi pengamanan dua remaja tersebut.
Beberapa pengunjung di Warmindo pun lantas ikut menghampiri. Tak mau ketinggalan mengamankan para pelaku klitih yang mencoreng keistimewaan Jogja itu.
“Saat itu aku tanya lah ke salah satu pengunjung di Warmindo, saat para klitih sudah digiring ke kantor polisi. Katanya sih, di daerah situ memang rawan,” ungkap Reva.
“Uniknya, kalau kata pengunjung Warmindo itu, setiap ada penangkapan klitih, pasti driver ojol akan terlibat. Selain orang-orang yang kebetulan melintas. Karena sudah muak betul dengan klitih,” sambungnya.
Tengah malah menjadi tenang gara-gara ojol
Cerita lain diungkapkan oleh Delvi (22), perempuan asal Purwokerto yang saat ini masih menempuh pendidikan S1 di salah satu kampus negeri di Sleman, Jogja.
Sejak pertama kuliah pada 2020 silam, sampai saat ini Delvi mengaku masih parno dengan keberadaan klitih. Dia ngeri membayangkan menerima bacokan ketika motoran malam-malam.
Itulah kenapa dia amat jarang keluar kos hingga larut, kecuali misalnya saat dia baru saja balik dari Purwokerto.
“Kalau balik dari rumah (Purwokerto), biasanya nyampai Jogja itu jam 11-an malam. Sebenarnya bisa saja balik sorean. Tapi kalau mau balik biasanya ada drama-drama dulu di rumah. Maklum, aku masih suka homesick,” tutur Delvi saat Mojok wawancara, juga belum lama ini.
Awalnya, dulu dia merasa dag dig dug dalam setiap perjalanan dari Terminal Giwangan ke kosannya di Sleman. Meskipun dia sebenarnya menggunakan jasa ojol.
Sampai akhirnya, suatu ketika dia mengajak berbincang driver ojol yang mengantarkannya. Jawaban si driver membuat Delvi merasa aman dan lega.
“Kan aku tanya, ‘Kok narik sampai malem apa nggak takut klitih?’. Abang ojol-nya jawab, ‘Aman, Mbak. Sekarang ini mulai jarang. Toh kalau malam driver ojol juga masih ramai di jalanan,” terang Delvi.
Solidaritas sesama pencari nafkah di jalanan
Seperti cerita Reva dan Delvi, driver ojol ternyata menjadi komunitas yang belakangan mulai ditakuti oleh para pelaku klitih di Jogja. Hal itu pun terkonfirmasi pengakuan dari Subhi (40-an).
Subhi membuka sebuah warung di Santren, Condongcatur. Warungnya itu kerap menjadi tongkrongan para driver ojol. Dari siang hingga malam.
“Dulu sempet malam-malam ada klitih beraksi. Langsung temen-temen ojol yang santai di sekitaran sini sigap menangkap para klitih itu, diamankan ke Polisi,” tutur Subhi saat kami mengobrol di warungnya, Selasa (23/10/2024) siang WIB.
Subhi mengamini bahwa saat ini driver ojol memang menjadi kelompok yang paling ditakuti oleh klitih. Sebab, belakangan, para driver ojol selalu berada di garda depan dalam setiap kemunculan klitih di jalanan.
Terlebih, tidak hanya bermassa besar, driver ojol juga memiliki ikatan solidaritas di jalanan sangat kuat. Sehingga, ketika satu terusik, maka lainnya pun ikut terusik dan lekas mengambil tindakan.
“Bisa jadi karena didorong perasaan, kita ini sama-sama nyari nafkah di jalan. Jadi kalau ada yang bikin onar di jalanan, mereka akan bertindak,” beber Subhi.
Saling jaga demi hak hidup bersama
Lebih dari itu, kata Subhi (seperti yang dia dengar dari obrolan ojol-ojol yang kerap mampir di warungnya), bersatunya para driver ojol untuk melumpuhkan klitih juga didorong oleh rasa jengah dan muak.
Pasalnya, masalah klitih sebenarnya sudah bertahun-tahun terjadi di Jogja. Namun, sampai saat ini masih tak kunjung tertangani secara maksimal. Oleh sebab itu, para driver ojol secara organik berinisiatif mengambil peran dalam menciptakan ruang aman di jalanan.
“Kata mereka (ojol), mereka harus saling jaga. Bukan cuma ke sesama ojol, tapi juga semua orang di Jogja,” kata Subhi.
Kecenderungan saling jaga ke sesama (tidak cuma pada sesama ojol) itu pun muncul atas kesadaran bahwa setiap orang yang bekerja, terutama di jalanan, punya keluarga yang menunggu di rumah.
Mengingat, banyak dari driver ojol ternyata juga berangkat dari profesi yang beragam. Memang ada banyak driver yang menggantungkan hidupnya secara penuh dari ngojol. Namun, tidak sedikit pula yang selain ngojol juga menjalani peran lain. Ada mahasiswa, buruh pabrik, karyawan perusahaan, PNS, pedagang, penjual angkringan, bahkan ibu rumah tangga. Dan tentu masih banyak lagi profesi-profesi lain.
Ngojol, bagi mereka, menjadi alternatif untuk mencari tambahan pemasukan untuk menyambung hidup: untuk diri sendiri dan keluarga yang menanti di rumah.
Kita yang tinggal di Jogja harus angkat topi
“Ojol punya keluarga. Kalau jadi korban klitih, bayangkan gimana keluarganya nanti. Mahasiswa punya orang tua. Kalau dibacok klitih, bayangkan gimana orang tuanya nanti di rumah,” tambahnya.
Intinya, lanjut Subhi, semua orang itu ada yang menunggu di rumah. Nyawa mereka tak seharusnya melayang sia-sia di jalanan akibat ulah remaja-remaja puber yang menganggap nyawa manusia sebatas mainan belaka.
Didorong atas besarnya rasa kemanusiaan, para driver ojol memilih untuk mengambil tindakan. Pelaku klitih harus dibereskan dari jalanan Jogja. Maka, kita yang tinggal di Jogja, berhak angkat topi setinggi-tingginya untuk mereka: pejuang nafkah untuk keluarga yang tak lupa memperjuangkan ruang aman bagi sesama.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kalau Bukan Karena Ngojol, Bagi Saya Kuliah Cuma Mimpi di Siang Bolong
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News