Dilema Pelestarian Budaya dan Eksplorasi Wisata di Jogja hingga Salah Tafsir pada Pangeran Diponegoro

Dilema Kraton Jogja di tengah pelestarian budaya, peningkatan wisata, dan pengembangan teknologi MOJOK.CO

Ilustrasi - Dilema Kraton Jogja di tengah pelestarian budaya, peningkatan wisata, dan pengembangan teknologi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ada dilema antara pelestarian budaya dan eksplorasi wisata saat berhadapan dengan teknologi. Termasuk dalam konteks Jogja sebagai kota budaya dan wisata. Hal itu disampaikan oleh putri Kraton Jogja, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara dalam seminar bertajuk “Kolaborasi Budaya dan Teknologi dalam Tantangan Pengembangan Pariwisata” yang digelar Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kota Jogja di Hotel Crystal Lotus, Rabu (19/2/2025) pagi WIB.

Budaya berwisata-wisata berbasis budaya

Dalam pemetaan GKR Bendara, saat ini ada budaya berwisata dan wisata yang berbudaya. Keduanya, bagi putri Kraton Jogja tersebut, adalah dua hal berbeda.

“Milenial dan Gen Z sekarang membuat berwisata sebagai bagian dari budayanya. Tetapi kurang dalam berwisata berbasis budaya,” tutur GKR Bendara.

“Terjadi pula perdebatan hangat antara praktisi budaya dengan praktisi wisata. Praktisi budaya mengutamakan preservasi, sementara praktisi wisata fokus pada peningkatan ekonomi. Keduanya tidak ada yang salah. Tapi tidak 100% benar,” sambungnya. Sebab, bagaiman pun, keduanya sedikit banyak saling mempengaruhi.

GKR Bendara memberi contoh: Sebuah lukisan tidak akan ada nilainya kalau hanya didiamkan di rumah. Tapi jika dipajang dalam pameran, diringi dengan membuat kajian tentang narasi hingga sejarahnya, maka akan membuat orang lain bisa mengapresiasi.

Kemudian, seiring banyak orang yang bisa mengaksesnya, maka semakin tinggi value-nya. Jika sudah begitu, lantas semakin mahal pula tiket masuknya. Dari situ, akan semakin banyak lah cuan yang masuk dari orang-orang yang melihat lukisan tersebut.

Cuan tersebut pada akhirnya bisa digunakan untuk proses pelestarian. Ambil contoh lukisan Mona Lisa.

Daya tarik yang begitu besar dari lukisan karya Leonardo da Vinci itu berhasil mengundang kunjungan banyak orang. Cuan yang masuk dari kunjungan itu bisa digunakan untuk melakukan pelestarian benda-benda lain di Museum Louvre, Paris.

Tarian Bedhaya Semang Kraton Jogja dan garis abu-abu

Sementara dalam kasus lain, terjadi dampak yang fatal ketika sebuah produk budaya berhadapan dengan teknologi. Misalnya yang terjadi pada tarian Bedhaya Semang.

Bagi Kraton Jogja, tarian yang sudah ada sejak masa Sultan Agung tersebut merupakan tarian sakral. Saking sakralnya, tarian ini hampir punah karena tidak ada yang berani menarikan kecuali acara penting kraton.

“Maka kami (dari Kraton Jogja) berpikir, bagaimana cara agar orang tidak melupakannya? Salah satunya dengan membuat video, lalu di-upload di YouTube,” kata GKR Bendara.

“Tapi efeknya, tidak semua orang melihatnya sebagai sesuatu yang sakral. Setelah satu bulan di YouTube, ada sebuah SD di Jawa yang melakukan tarian Bedhaya Semang secara asal-asalan oleh siswa laki-laki dan perempuan,” imbuhnya.

Padahal, di Kraton Jogja, tarian tersebut hanya dilakukan oleh perempuan. Mendapati kefatalan tersebut, pihak Kraton Jogja pun, kata GKR Bendara, memutuskan untuk tidak lagi menampilkannya di YouTube.

“Budaya apa yang boleh atau tidak boleh dieksplorasi, garisnya memang abu-abu. Case by case. Yang bisa menentukan ya praktisi budayanya,” ucap GKR Bendara.

Tawaran memfilmkan Kraton Jogja dengan potensi narasi tidak utuh

Saat ini, film memang menjadi medium yang sering digunakan untuk mengabadikan sebuah produk budaya atau sejarah. Hanya saja, sering kali sebuah rumah produksi film mengambil narasi tidak utuh.

GKR Bendara mencontohkan, pasca rilisnya film Sultan Agung: Harta, Tahta, dan Cinta, Kraton Jogja lantas mendapat tawaran untuk diangkat menjadi film dengan fokus pada awal mula lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta.

“Kami dirayu, bagaimana film Sultan Agung cukup sukses, cuan, dan mendekatkan generasi muda dengan sejarah. Tapi harus diketahui, sejarah sering kali ditulis oleh para pemenang. Kebanyakan tidak bisa menarasikan secara utuh,” beber GKR Bendara.

Sejarah lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta tidak lepas dari berdirinya Kasunanan Surakarta. Karena keduanya adalah pecahan dari Mataram Islam.

Kedua kerajaan di Jawa tersebut punya versi berbeda atas sejarah lahir masing-masing dengan membawa sentimen satu sama lain. Maka, jika sutradara film hanya mengambil narasi dari salah satunya saja, gesekan mungkin saja terjadi.

Misinterpretasi Pangeran Diponegoro

GKR Bendara sebenarnya tidak menampik bahwa penggunaan teknologi, di satu sisi, bermanfaat sebagai media eksplorasi dan promosi wisata atau budaya.

Namun, masih menyambung dilema-dilema di atas, GKR Bendara mendapati bahwa teknologi tidak jarang membawa publik pada misinterpretasi.

“Misalnya kasus Pangeran Diponegoro. Berdasarkan sumber internet, digambarkan berjubah dan bersorban putih. Tapi kalau merujuk manuskrip Kraton Jogja, sebenarnya berikat (blangkon) warna putih. Pakaian atasnya itu semacam beskap berwarna putih. Sementara bagian bawahnya kain jarik,” papar GKR Bendara.

Titik temu antara wisata, budaya, dan teknologi

Di akhir makalahnya, GKR Bendara menyimpulkan, kata kuncinya adalah balancing: bagaimana mempertemukan antara wisata, budaya, dan teknologi agar tidak saling menggerus nilai satu sama lain. Harapan GKR Bendara kira-kira seperti ini:

  1. Sesuatu yang sakral harus dipreservasi oleh internal drive (dalam konteks Jogja, ya oleh praktisi budaya bahkan Kraton Jogja)
  2. Kearifan lokal berbentuk pertunjukan bisa dibungkus dan dipromosikan melalui teknologi
  3. Kreativitas individu harus disertai penegasan bahwa itu merupakan kreativitas individu, bukan bagian dari budaya agar tidak menimbulkan misint

“Tidak semua budaya adalah produk pariwisata, dan tidak semua pariwisata adalah produk budaya. Tapi harus dicatat, tanpa pariwisata, pelestarian budaya tidak bisa maksimal,” kata GKR Bendara.

“Maka, eksplor dan promote budaya-kearifan lokal harus berlangsung dengan hati-hati. Jaga nilai sakral dan adiluhung-nya,” pungkasnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Cerita Rarasmudo Budoyo dan Batari, Sanggar Seni di Jogja yang Manfaatkan Jalanan untuk Berkesenian atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

Exit mobile version