Desa Tlogowatu Klaten: Dulu Serba Susah Kini Uang Melimpah berkat Olah Batu

Ilustrasi - Desa Tlogowatu, Klaten, dulu serba susah kini uang melimpah gara-gara batu. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Desa Tlogowatu, Kecamatan Kemalang, Klaten awalnya hanyalah sebuah desa yang warganya berekonomi pas-pasan. Namun, temuan “harta karun” membuat desa tersebut kini menjadi pusat industri besar.

***

Suara deru mesin gergaji batu alam terus terdengar di Desa Tlogowatu, Klaten. Setidaknya begitulah saat saya main-main di sana, Kamis (3/10/2024) siang WIB.

Dulu, tidak ada pemandangan semacam itu di Tlogowatu, Klaten. Sebab, mayoritas warga desa berprofesi sebagai petani, yang hasilnya sering kali sangat pas-pasan untuk menyambung hidup.

Cerita perubahan Desa Tlogowatu, Klaten, saya dengar dari Gunar (40), seorang pelopor usaha batu alam di Tlogowatu. Bisa dibilang, ia mengenal baik sejarah industri batu alam di desanya itu.

Betapa sulitnya cari kerja

Kata Gunar, dulu Desa Tlogowatu, Klaten, memang tidak memiliki banyak potensi ekonomi sebelumnya. Ia mengingat betul bagaimana sulitnya mencari pekerjaan di masa itu.

“Waktu itu, kebanyakan dari kami hanya jadi buruh tani, buruh harian, atau kadang-kadang sopir pasir. Ekonomi stagnan, tidak ada pergerakan yang signifikan,” ungkap Gunar saat berbincang dengan Mojok, di tengah deru mesin dan debu-debu yang membumbung dari bongkahan batu yang sedang digergaji.

Gunar bercerita, ide untuk memanfaatkan batu alam sebenarnya muncul secara tidak sengaja. Dulunya, ia hanyalah seorang sopir truk yang mengantar pasir.

Di masa itu, ia sering mendapat pesanan untuk dikirim ke pabrik batu alam di luar daerahnya. Dari pekerjaan itu, ia akhirnya mengenal beberapa pemilik usaha batu alam.

Desa Tlogowatu, Klaten, Dari Desa Susah Jadi Sejahtera karena Batu Alam MOJOK.CO
Suasana di salah satu pabrik batu alam di Tlogowatu, Klaten. (Lina Sunarni/Mojok.co)

“Waktu itu saya kenal dengan beberapa pemilik pabrik batu alam yang butuh bahan baku seperti batu candi dan batu hitam,” akunya.

“Batu-batu ini sebenarnya banyak di sekitar Tlogowatu, tapi waktu itu belum ada yang berpikir untuk memanfaatkannya,” sambung Gunar.

Karena melihat potensi ekonomi dari batu alam, Gunar lantas berpikir untuk mengelola batu alam yang ada di Desa Tlogowatu, Klaten. Pada 2008, Gunar bersama beberapa rekannya merintis pabrik batu alam kecil-kecilan di Tlogowatu, Klaten.

“Alhamdulillah, ide itu berhasil. Sejak kami mulai produksi sendiri, permintaan terus meningkat sampai sekarang,” beber Gunar.

Dari gergaji manual ke mesin modern

Awalnya, industri batu alam di Desa Tlogowatu, Klaten, masih menggunakan cara tradisional. Batu-batu besar dipotong menggunakan gergaji manual, tenaga manusia menjadi tumpuan utama.

Namun, seiring meningkatnya permintaan dan teknologi yang semakin berkembang, industri di desa ini pun mulai beradaptasi.

“Sekarang kami sudah pakai mesin pemotong otomatis, hasilnya lebih halus, lebih cepat, dan lebih banyak. Warga yang dulu hanya buruh tani atau sopir, sekarang bisa bekerja sebagai operator mesin,” jelas Gunar.

Batu alam Desa Tlogowatu Klaten diminati berbagai daerah

Ragil (41), salah satu pengusaha batu alam di Desa Tlogowatu, Klaten, membenarkan apa yang Gunar ungkapkan.

Ragil bisa dibilang juga merupakan generasi awal yang mengikuti jejak Gunar untuk memanfaatkan batu alam di desanya tersebut.

Kata Ragil, sejak 2008 itu, seiring waktu batu alam dari Desa Tlogowatu, Klaten, terutama batu candi dan batu hitam, mulai dikenal luas di berbagai daerah di Indonesia. Banyak kontraktor dan pengusaha properti menggunakan batu alam dari Tlogowatu untuk bangunan-bangunan mereka.

“Batu dari sini kualitasnya bagus, tahan lama, dan teksturnya unik. Itu yang bikin produk kami diminati,” tambah Ragil,

Harapan hidup lebih baik bagi warga Desa Tlogowatu Klaten

Usaha batu alam tersebut pada akhirnya membawa dampak besar bagi perekonomian Desa Tlogowatu, Klaten, hingga saat ini. Batu alam tidak hanya melahirkan pengusaha-pengusaha baru, tapi juga menciptakan lapangan kerja bagi warga setempat.

Sejak pabrik batu alam mulai menjamur di Desa Tlogowatu, Klaten, banyak warga akhirnya memilih tidak merantau ke luar daerah, seperti bertahun-tahun silam.

Sebab, penghasilan dari bekerja di pabrik batu alam terbilang sudah sangat cukup untuk menyambung hidup. Tukang gergaji batu, misalnya, bisa membawa pulang Rp4 juta-Rp5 juta perbulan jika mendapat borongan, setengah dari UMR Klaten.

Pekerja di salah satu pabrik batu alam Tlogowatu, Klaten. (Lina Sunarni/Mojok.co)

Lalu tukang pecah batu, mendapat sekitar Rp120 ribu perhari. Sementara sopir truk pengangkut batu alam memperoleh Rp200 ribu perhari. Angka-angka tersebut jika ditotal, hampir mendekati UMR Klaten.

Oleh karena itu, banyak warga memilih bekerja di pabrik di desa saja. Sehingga bisa lebih dekat dengan keluarga. Tak perlu jauh-jauh merantau ke luar daerah.

“Bahkan ada beberapa pekerja dari Jawa Timur yang datang ke sini untuk bekerja di pabrik batu alam,” ungkap Ragil.

“Ini menunjukkan bahwa industri kami nggak cuma mengangkat ekonomi lokal, tapi juga menjadi daya tarik bagi pekerja dari luar,” sambungnya.

“Dulu, untuk makan aja kadang susah. Sekarang, warga sudah bisa menyekolahkan anak mereka lebih tinggi, membangun rumah yang layak, bahkan beli motor atau mobil,” tambah Ragil lagi.

Ingin ciptakan produksi ramah lingkungan

Meski industri batu alam di Desa Tlogowatu, Klaten, sudah berkembang pesat, Gunar dan Ragil tidak mau berhenti di situ.

Mereka terus berinovasi agar usaha batu alam tersebut bisa terus tumbuh dan membawa kemanfaatan yang lebih besar lagi.

“Kami masih punya banyak potensi. Sekarang kami sedang mencari cara agar produksi kami bisa lebih ramah lingkungan,” ujar Gunar.

Selain itu, kami juga ingin memperluas pasar, mungkin sampai ke luar negeri,” imbuhnya dengan penuh harap.

Penulis: Lina Sunarni
Editor: Muchamad Aly Reza

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Magang Jurnalistik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta periode September 2024.

BACA JUGA: Umbul Manten, Surga Tersembunyi di Klaten yang Wajib Dikunjungi

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version