“Kami kan daerah miskin yang terjepit di antara orang kaya. Udah gitu tempatnya sangat di bawah standar dibandingin sama daerah sekitarnya. Mau ngebangun bagus pun tanah belum milik pribadi.” – Dian, warga kampung Ledhok Timoho di bantaran Sungai Gajahwong, Jogja.
***
Kurang lebih sejak 20 tahun yang lalu, suatu kampung menggeliat di bantaran Sungai Gajahwong, Jogja. Kampung ini sempat dijuluki sebagai “Kampung Pemulung”. Sebab, dahulu mayoritas warganya sempat bermata pencaharian demikian.
Berawal dari rumah-rumah berbahan anyaman bambu dan papan triplek, seiring waktu menjadi rumah-rumah tembok yang berjejalan, lalu terbentuklah kampung Ledhok Timoho.
Secara geografis kampung ini berada di Kelurahan Muja-Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Jogja. Kendati begitu, rupanya kampung Ledhok Timoho belum diakui sepenuhnya oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja.

Nasib abu-abu warga kampung Ledhok Timoho, Jogja
Dian, salah satu warga kampung Ledhok Timoho, seolah tidak kehabisan energi untuk bolak-balik ke Pemkot Jogja. Salah satu misinya adalah memperjuangkan KTP warga Ledhok Timoho.
Mayoritas warganya memang pendatang dari berbagai daerah. Oleh karena itu, bagi Dian, setidaknya KTP mereka sebagai warga Ledhok Timoho diakui terlebih dulu, meski kepemilikan tanah kampung masih abu-abu.
“Status tanahnya masih belum hak milik kami, tapi kami terus mengusahakan itu ke Pemkot Jogja biar selamanya kami nggak gondal-gandul, nggak jelas gini,” seru Dian saat berbincang dengan Mojok pada Jumat (8/8/2025).
Rasa khawatir kampung mereka bakal digusur Pemkot Jogja sering mampir. Tapi Dian dan warga lainnya punya semangat memperjuangkan ruang hidup yang sudah mereka tempati bertahun-tahun itu.
Dian percaya, dengan 20 tahun menempati tanah, dapat menjadi syarat untuk memiliki sertifikat tanah. Terlebih, di beberapa titik kampung toh sudah ada yang bersertifikat.
Esok cerah tak kunjung datang bagi warga Ledhok Timoho, Jogja
Kata Dian, kampung Ledhok Timoho, Jogja, tak jarang disambangi oleh para calon pejabat. Memberi harapan bahwa hari esok akan cerah: mendapat pengakuan hukum dan sertifikat tanah. Tapi nyatanya hari itu tak kunjung datang juga.
Alih-alih mendapat realisasi janji manis tersebut, warga bantaran Sungai Gajahwong itu malah lebih sering dapat kiriman sampah lewat sungai–entah dari mana.
Sepenuturan Dian, warga Kampung Ledhok Timoho justru terbilang disiplin perihal sampah. Tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan mereka membentuk sistem pengolahan sampahnya sendiri.
Gotong royong: upaya berdaya tanpa pemerintah
Warga Ledhok Timoho, Jogja, mengaku tidak lagi berharap penuh pada Pemkot Jogja. Untungnya, kata Dian, mereka kerap terbantu gotong royong dari pihak non-pemerintah.
Seperti mahasiswa yang memberi bantuan barang milik bersama hingga ajakan membuat bazar. Memang sederhana. Tapi Dian merasa dampaknya cukup signifikan. Selain mahasiswa, warga setempat juga mendapat dorongan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), misalnya Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih dan BMT Bina Ihsanul Fikri.
Warga Ledhok Timoho punya semangat untuk berdaya, setidaknya itulah yang dipandang oleh SP Kinasih. Ia mendorong warga untuk bangkit dan tidak sepenuhnya berharap pada pemerintah.
Kelas-kelas pemberdayaan warga
Sejak Juli 2025 lalu. SP Kinasih mengajak warga setempat untuk mengikuti kelas pengembangan dan pengajaran. Kelas tersebut bukan hanya soal pemberdayaan praktis, melainkan juga pembekalan isu-isu hari ini.
Seperti yang diungkapkan Suparmi, juga warga Kampung Ledhok Timoho, pertemuan tersebut membahas ragam isu mulai dari gender hingga perubahan iklim.
Sebenarnya bukan kali pertama kegiatan komunitas di Ledhok Timoho berlangsung. Menurut Suparmi, sebelumnya SP Kinasih juga mendorong komunitas lansia di kampung ini selama bertahun-tahun.
Kegiatannya dari bercocok tanam atau berkebun yang hasil sayurnya sempat diperjualbelikan. Juga pengolahan kolam ikan yang kemudian dapat dinikmati warga setempat.
Membangun kembali hal-hal baik yang telah redup
Sayang, hal-hal baik itu kini hanya bercecer kenang. Komunitas lansia itu disebut Suparmi sudah mogok. Maka dari itu, SP Kinasih berupaya mengajak ibu-ibu Ledhok Timoho, Jogja, untuk kembali membangun komunitas di Ledhok Timoho. Rencananya, komunitas yang diinisiasi warga dan SP Kinasih ini akan memulai fokus pada penghijauan kampung.
Dalam proses pembentukan kembali komunitas ini, Suparmi mengaku mahasiswa banyak membersamai SP Kinasih dan warga Ledhok Timoho. Ia merasa banyak unsur mahasiswa yang selama ini telah terlibat dalam perjalanan warga.
Bahkan dalam komunitas Posyandu, mahasiswa memberikan bantuan aset seperti timbangan. Hal ini, bagi Suparmi, sangat bermanfaat sebab Posyandu Ledhok Timoho berdiri mandiri nonpemerintah.
Tidak ada PKK, warga Ledhok Timoho memang asyik membentuk komunitas lingkar dalam yang menurut mereka lebih bermanfaat.
Jimpitan yang memberi “nyala”
Suami Dian, Rama, bukan nama sebenarnya, mengamini bahwasanya pemerintah tidak banyak melibatkan diri di Kampung Ledhok Timoho.
Akhirnya, mereka mengupayakan kesejahteraan dengan serba gotong royong, misalnya sesederhana lewat “jimpitan”. Rama menyampaikan bahwa lewat cara itu, kini hampir seluruh Kampung Ledhok Timoho punya aliran listrik dan MCK.
“Begitu cara awal kami bertahan di sini (kampung Ledhok Timoho), apapun dibahas dan digotong bersama. Siapa yang belum punya kamar mandi, perlahan dibuat ganti-gantian,” jelas Rama.
Selain Posyandu dan gotong royong, warga setempat punya komunitas yang lebih aktif di sisi relijiusitas, yakni komunitas Istiqomah. Komunitas ini aktif mengadakan pertemuan untuk mengaji, yasinan, dan kegiatan relijius lainnya. Lewat ini pula, mereka didorong BMT Bina Ihsanul Fikri untuk mendapatkan bantuan kambing dari Dinas Pemkot Jogja.
Parmi, warga setempat yang tiap harinya disibukkan bekerja di warung makan, merasa senang mengikuti kegiatan-kegiatan relijius tersebut. Ia bersyukur setelah kegiatan sehari-hari yang cukup padat, ia tetap mendapatkan ruang spiritual.
“Pun tempat kegiatannya bergiliran, tapi ya beginilah ‘gubuk’ kami, kalau tidak cukup ruang ya di musala kampung,” tutur Parmi.
Bahagia di balik gang kecil di bantaran Gajahwong, Jogja
Warga di bantaran kali Gajahwong, Jogja tersebut memang hidup di balik gang kecil yang mungkin hanya bisa dijangkau menggunakan motor atau jalan kaki.
Namun, semangatnya untuk tumbuh, terus berkecamuk meski lewat resah maupun suka. Dengan nasi-nasi kering yang mereka jemur di depan rumah, jadi simbol harapan: masih ada hari esok untuk dijalani.
Entah disebut kelompok, komunitas, atau keluarga, kebersamaan menuju kesejahteraan yang utama. Seperti ungkapan Dian dalam gelitik tawanya, bahwa tidak ada yang mengalahkan rasa bahagia daripada sekadar hasil.
“Tidak mau kalau cuma mementingkan hasil dari komunitas, apalah arti kalau prosesnya kita tidak bahagia?” Pungkas Dian.
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-Septmber 2025.
Penulis: Melvinda Eliana
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kali Code Jogja Tak Menawarkan Kemewahan, Tapi Memberi Harapan Para Perantau untuk Bertahan Hidup atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan