Perintis itu bukan cita-cita. Bukan juga mimpi indah. Tidak seru juga seperti yang dikatakan bocil pewaris itu kepadamu. Hanya sebuah keharusan untuk bertahan, karena tidak ada orang lagi yang bisa diandalkan. Seperti cerita seorang pemuda lulusan SMK ini yang harus “babat alas” untuk membayar utang ibu.
Nekat jadi ABK setelah lulus SMK untuk biaya berobat ibu
Yusril (23), bukan nama sebenarnya, seperti jatuh tertimpa tangga saat mendengar ibunya mengalami komplikasi selang 3 hari, saat kabar pandemi diumumkan masuk ke Indonesia. Selain membayar biaya pengobatan ibunya di rumah sakit, ia juga harus membayar utang keluarga.
Sebagai anak yang baru lulus SMK, Yusril benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Selain itu, ia juga belum mendapat kerja. Jadi secara penghasilan pun tak punya. Ia pun kelimpungan mencari bantuan ke saudara-saudara, tapi tak ada jalan keluar.
“Utang ibuku sampai Rp100 juta belum ditambah bunganya. Lalu, dua adikku masih sekolah. Belum lagi biaya pengobatan ibuku sampai Rp10 juta,” kata Yusril kepada Mojok, Kamis (31/8/2025).
Mau tidak mau, sebagai anak pertama tanpa kehadiran ayah, Yusril harus memikul beban itu sendirian. Sebelum menjadi perintis sekaligus membuka usaha sendiri, ia nekat bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) penangkapan ikan yang terkenal tak manusiawi.
“Aku cuman sanggup kerja selama satu bulan. Untungnya, aku masih bisa mendapat gaji pertamaku sebesar Rp10 juta untuk biaya berobat ibuku,” lanjut pemuda lulusan SMK itu.
Beratnya menjadi perintis karena harus babat alas
Setelah berhenti bekerja sebagai ABK, Yusril memilih pekerjaan yang tak jauh dengan keluarganya yakni menjadi buruh di salah satu pabrik. Pekerjaan itu mengharuskan ia lembur dari pukul 07.00 WIB hingga 21.00 WIB.
Selang beberapa bulan, pabrik itu menjadi sepi sehingga jam kerjanya dikurangi jadi pukul 07.00 WIB hingga 15.00 WIB. Otomatis, upah yang ia dapatkan juga menurun. Ia pun mencari pekerjaan tambahan yang bisa ia lakukan di malam hari.
“Kebetulan temanku nawarin kerjaan sebagai housekeeping dan langsung aku terima. Jadi aku punya dua pekerjaan dalam satu hari. Pagi sampai sore di pabrik, sore sampai malam kerja di hotel,” ujarnya.
Oleh karena itu, saat mendengar “bocil pewaris” itu bilang soal serunya menjadi perintis, Yusril hanya bisa tersenyum getir. Batinnya serasa dikoyak-koyak omongan anak kecil yang sejak lahir sudah hidup bergelimang harta. Sementara ia harus berjuang sejak lulus SMK.
Menurut Yusril, menjadi perintis bukanlah cita-cita tapi keterpaksaan. Bukan juga pekerjaan yang seru dan mengasyikkan. Ibarat pepatah Jawa, perintis itu harus siap babat alas.
“Berat banget jadi perintis. Minim relasi, kerja keras dari nol, serta proses yang lama dan hampir tak ada ujung. Jika gagal dan kehabisan modal, bisnis pun tak akan jalan malah meninggalkan utang,” ucapnya.
Kebahagianku adalah melihat senyum ibu
Namun, satu hal yang membuat Yusril kuat menjadi seorang perintis. Kondisi ibunya yang berangsur-angsur membaik setelah mengalami komplikasi, serta senyum bahagianya di dunia.
“Setiap aku melihat senyum ibu, saat itu juga aku mulai semangat bekerja,” ucapnya.
Baca Halaman Selanjutnya
Memutuskan resign dan bikin usaha sendiri












