Laksono (24), seorang teman komunitas, berbagi cerita perihal “petualangannya” bersepeda dari Sleman ke Bantul. Lalu singgah di Curug Banyunibo. Sebuah alternatif wisata alam yang baginya cocok untuk menepi dari hiruk-pikuk Jogja.
***
“Kalau napas, nggak ada masalah. Cuma paha aja yang nyeri. Karena ngayuh terus kan,” ujarnya sambil menunjuk dua pahanya, pada Senin (20/1/2025) pagi WIB di Akademi Bahagia.
Sabtu (18/1/2025) menjadi momen pertamanya mengayuh dengan jarak tempuh yang terbilang jauh. Dari Akademi Bahagia di Ngaglik, Sleman sampai ke Pajangan, Bantul. Sekitar 34 kilometer.
Berikut adalah cerita petualangan Laksono, bersepeda dari Sleman hingga menemukan sisi tenang Jogja bernama Curug Banyunibo, yang dia bagikan kepada reporter Mojok, Aly Reza.
Aly Reza menyajikan cerita Laksono dalam sudut pandang orang pertama: Laksono sebagai “saya”.
Bangun pagi-pagi untuk pit-pitan pertama kali
Sesuai kesepakatan dengan tiga orang teman komunitas, titik kumpul keberangkatan kami adalah dari Akademi Bahagia di Ngaglik, Sleman. Pagi-pagi sekali mereka—teman-teman komunitas—sudah datang.
Sejak berkantor di Akademi Bahagia, saya memang jarang tidur di sana. Tidak seperti beberapa teman lain yang sudah menubuh dengan Akademi Bahagia: tinggal (tidur, makan, mandi, bahkan buang air) di rumah panggung tersebut.
Karena saya memang berniat betul coba-coba ikut pit-pitan (istilah Jogjanan untuk bersepeda), maka Jumat (17/1/2025) malam saya putuskan tidur di sana. Pola tidur saya kadung terbalik. Baru bisa tidur selepas Subuh.
Jadi kalau saya tidur di rumah saya di Maguwoharjo, sepertinya akan bablas. Maka, tidur di Akademi Bahagia adalah solusi. Biar kalau belum bangun, teman-teman komunitas lah yang membangunkan.
Dan memang begitu di Sabtu (18/1/2025) paginya. Saya yang masih tidur terbangun karena badan saya rasanya ada yang menggoyang-goyang. Teman-teman ternyata sudah siap ngepit menuju Pajangan, Bantul.
Jalan terjal menuju Curug Banyunibo Bantul
Kami mulai mengayuh dari Akademi Bahagia sekitar jam setengah tujuh pagi. Suhu di Akademi Bahagia masih dingin-dinginnya. Jam-jam ketika anak-anak yang tidur di sana masih meringkuk dalam sarung, selimut, atau sleeping bag masing-masing.
Tidak ada banyak hal yang bisa saya bagikan dalam perjalanan dari Ngaglik, Sleman, ke Bantul. Selain bahwa bersepeda bareng teman-teman ternyata seseru itu. Ya meskipun tentu saja ngos-ngosan dan sedikit keram di paha.
Dalam setiap momen pit-pitan, teman-teman komunitas memang kerap menyelipkan satu tujuan wisata alam. Seringnya wisata air. Tidak lain untuk segar-segaran setelah berkeringat sepanjang jalan.
Termasuk siang itu. Kami memasuki Pajangan, Bantul, pada jam sebelasan siang. Lalu teman-teman mengarahkan haluan ke Curug Banyunibo, salah satu wisata alam di sana. Saya ngikut saja. Yang penting lekas bisa menyelonjorkan kaki.
Trek menuju Curug Banyunibo naik-turun, dengan jalan cor dua sisi. Seperti umumnya jalan cor di desa-desa terpencil.
Karena saya “pemula”, saya butuh tenaga ekstra untuk mengikuti laju teman-teman. Bagaimana tidak. Saya hanya bisa menaiki sepeda saat jalanan menurun.
Sialnya, setelah jalanan menurun itu, eh langsung menanjak. Teman-teman tampak kuat-kuat saja mengayuh menaiki tanjakan. Kalau saya, ah jalan kaki saja. Meniti tanjakan pelan-pelan sambil mendorong sepeda.
Menyibak belantara
Tak cuma jalanan yang naik-turun. Untuk sampai ke salah satu alternatif wisata alam di Jogja tersebut, kami juga melewati belantara pepohonan.
Tapi itulah untungnya. Karena banyak pohon rimbun, setidaknya ada hawa sejuk yang mengusap ubun-ubun dan menyelinap di balik baju saya yang sudah kuyup oleh keringat.
Hingga tiba lah saya di Curug Banyunibo. Sebuah grojogan air di tengah-tengah bebatuan besar dan rimbun pepohonan di Sendangsari, Pajangan, Bantul.
Di bawah grojogan air itu terbentuk sebuah “kolam kecil”. Tanpa pikir panjang kami berempat langsung membuka kaos masing-masing. Lantas menyeburkan diri ke kolam kecil di bawah grojogan air tersebut. Ah, segar sekali.
Menikmati sisi tenang Jogja di Curug Banyunibo Bantul
Kalau membaca informasi di internet, Curug Banyunibo, Bantul, sebenarnya tertulis sebagai salah satu wisata alam alternatif di Jogja. Bahkan ada informasi soal biaya parkir juga.
Namun, saat saya dan teman-teman komunitas tiba di sana, tidak ada apa pun yang perlu kami bayar. Tidak ada tiket masuk. Tidak ada pula biaya parkir. Bahkan juga tidak ada satu orang pun yang sedang berwisata di sana. Relatif hanya kami berempat.
Air di Curug Banyunibo, Bantul, memang tidak bening. Beda misalnya dengan wisata sumber air lain di Jogja: Blue Lagoon, Widomartani, Ngemplak, Sleman.
Kalau untuk kondisi airnya, saya lebih menikmati Blue Lagoon. Namun, kalau ngomongin soal ketenangan, tentu saja Curug Banyunibo, Bantul, saya rekomendasikan.
Blue Lagoon selalu ramai pengunjung. Tapi di Banyunibo, bahkan di akhir pekan saja, sehening itu. Rasa-rasanya, cocok lah bagi para mahasiswa atau pekerja di Jogja yang hendak menepi dari hiruk-pikuk Kota Pelajar, terutama di akhir pekan.
Hanya ada gemericik air dan desis angin
Momen epik saat kami berempat di sana adalah, ada satu momen saat kami berempat tidak saling bicara. Yang terdengar tinggal gemericik air dan desis angin yang menerpa pepohonan. Asoy sekali.
Kami cukup lama istirahat di sana. Sebelum akhirnya beranjak, mampir ke rumah seorang teman lain: pemuda Pajangan yang saat ini mengurus toko Mojok Store.
Pemuda Pajangan itu kini juga merangkap sebagai barista di Kedai Sebelah Toko. Sebuah kedai kopi kecil yang terletak persis di sebalah barat Mojok Store.
Kalau Anda ke Mojok Store (satu alamat dengan Akademi Bahagia), dia lah pemuda yang akan Anda temui. Pemuda ramah, lucu, dan teman ngobrol yang asyik. Meski cara bicaranya agak terbata-bata.
*) Diolah dari wawancara antara reporter Mojok, Aly Reza, dengan Laksono pada Senin (20/1/2025) pagi WIB.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kebaikan Warga Lokal di Pantai Parangkusumo Jogja, Berjaga saat Wisatawan Bersenang-senang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan