Tiga tahun usai menjalani kuliah di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), Amarain (24) langsung mendapat kerja di Bandung. Dari dulu, ia memang ingin merantau dan pilihannya jatuh di Kota Kembang tersebut. Kehidupan di sana membuat Rain jatuh cinta, tapi ada saja culture shock yang membuatnya resah.
Lulus dari PENS, Surabaya langsung kerja di Bandung
Tak perlu waktu lama untuk Rain, sapaan akrabnya, mendapat kerja. Jelang wisuda tahun 2019, ia sudah menyebar lamaran ke beberapa perusahaan yang ada di luar kota termasuk Bandung. Sekali tembak, salah satu perusahaan di Bandung langsung menghubunginya.
“Seminggu setelah wisuda di PENS, aku langsung dipanggil untuk interview user,” tutur Rain, Jumat (9/5/2025).
Sebelumnya, ia tak terlau soal jika ditempatkan di mana saja karena dari dulu ia memang ingin merantau. Namun, bukan berarti Rain memilih perusahaan asal. Ia tetap mengecek perusahaan yang ingin ia masuki, mulai dari offering kerja, posisi yang dibutuhkan, bidang yang linear dengan jurusan, gaji, fasilitas, dan sebagainya.
Karena oke dengan itu semua, Rain tak pikir panjang. Ia langsung menerimanya. Jika ditotal, Rain sudah 5 tahun lebih merantau di Bandung.
“Posisiku sebagai insinyur, jadi ke lapangan. Aku paling suka aktivitas itu. Secara gaji juga oke untuk kebutuhan sehari-hari,” kata dia.
Namun, Rain lebih memilih memasak sendiri supaya hemat. Perempuan asal Surabaya itu mengaku makanan di Bandung lebih mahal. Di Kota Pahlawan, Rain masih menjumpai ayam penyet seharga Rp10 ribu dengan porsi yang mengenyangkan.
Tapi di Bandung, ia masih belum menemukan ayam penyet dengan harga segitu. Minimal, harganya di atas Rp15 ribu. Belum lagi perbedaan definisi “pecel ayam”, dan tidak ada rasa soto madura yang asin.
“Sampai sekarang aku belum nemu rasa soto yang sesuai dengan lidah ku. Di sini semuanya manis, huhuhu,” ujar Rain, “Nggak ada juga pecel yang seenak di Surabaya,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Rain hobi memasak. Apalagi, kata dia, pasar di Bandung tergolong besar dan dekat dengan supermarket sehingga nyaman untuk berbelanja.
Bandung adalah Jakarta versi low
Selain makanan, Rain juga sempat syok karena lingkungan pertemanan di Bandung. Merantau seolah membuatnya memaksa membuka tabir yang selama ini tertutup. Semasa kuliah di PENS, Rain hanya menjumpai beberapa temannya yang mengonsumsi minuman keras alias beralkohol dan hobi ke klub malam.
Baca Halaman Selanjutnya
Perilaku remaja tak sesuai norma
Ia mengaku selama tinggal di Surabaya jadi anak yang kuper atau kurang bergaul. Lebih banyak di rumah dan berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang terdekat. Barulah saat merantau di Bandung, Rain jadi tahu ada bentuk kenakalan remaja yang tak sesuai dengan normanya.
“Banyak mahasiswa yang tinggal bareng pacarnya dan itu lumrah saja di sana. Aku jadi merasa, Bandung tuh mirip Jakarta cuma versi low aja,” kata Rain.
Kebijakan itu membuat hati Rain miris. Apalagi, Bandung terkenal sebagai Kota Pelajar. Ia menempati posisi ke tiga sebagai kota pelajar terbaik di Indonesia versi QS Best Student Cities 2024.
Tak hanya itu, saat pertama kali tinggal dengan sahabatnya di Bandung, Rain juga sudah diingatkan agar tidak pulang larut malam karena rawan begal. Sebetulnya, di Surabaya pun begitu tapi kalau plat nomornya kentara (bukan asli warga Bandung), maka lebih rawan menjadi target.
Di sisi lain, secara waktu dan tempat nongkrong, Bandung tak terlalu beda dengan Surabaya. Banyak tempat kafe estetik dan beragam.
Bahkan kalau mau ke wisata alam, Rain bisa pergi ke luar Bandung yang jaraknya terlalu jauh seperti Ciwidey atau Pangalengan. Mirip seperti warga Surabaya yang ingin pergi wisata alam ke Malang atau Batu.
Cuaca panas vs cuaca dingin
Meski begitu, Rain tak terlalu banyak mengalami gempa bumi saat di Surabaya. Sebaliknya, ia sering mengalami gempa dengan kekuatan kecil dan sebentar di Bandung.
Selain itu, bukan rahasia lagi kalau cuaca Bandung terutama di daerah Jatinangor cenderung dingin. Berbanding terbalik dengan Surabaya yang panas. Oleh karenanya, Rain jadi agak sulit beradaptasi.
“Kadang aku mandi cuman satu kali sehari bahkan pernah nggak sama sekali. Toh nggak keringatan juga tapi ini kebiasaan buruk sih karena nggak lama setelah itu aku mengalami jerawat punggung,” ujar Rain.
“Mangkanya setelah itu, aku berusaha tetap mandi walaupun dingin banget,” lanjutnya.
Sebagai warga asli Surabaya, Rain merasa jalanan di Bandung jauh lebih macet. Apalagi jalanan di sana lebih meliuk-liuk dan tidak terlalu lebar.
“Kalau udah macet, parah banget. Lampu merahnya pada lama juga. Pengendara motor di sini tuh lebih ngeri menurutku. Mereka kalau geser nggak mau lihat spion, jadi aku harus lebih waswas,” ujar Rain.
Namun, secara keseluruhan Rain masih cocok dengan lingkungan di Bandung. Paling tidak, ia punya teman-teman kantor yang suporitf. Apalagi, sebagai orang Surabaya yang pertama kali merantau ke Bandung, dukungan tersebut amat ia butuhkan.
“Overall aku sudah cocok di sini, apalagi teman-teman kantorku kebanyakan usianya seumuran denganku. Jadi seru banget!” kata alumnus PENS tersebut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kekesalan Orang Surabaya karena Tingkah Warga Jogja yang Terkesan Merendahkan, Mending Chill Ketimbang Adu Argumen atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
