Ceramah yang Isinya Cuma Guyon bikin Umat Nggak Maju, Sertifikasi Penceramah Itu Perlu?

Ilustrasi - Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyebut dakwah atau ceramah yang isinya cuma guyon seperti Miftah Maulana (Gus Miftah) bikin umat tidak maju-maju. (Mojok.co)

Kasus Miftah Maulana alias Gus Miftah masih terus menuai respons publik, bahkan setelah beberapa hari berlalu. Lebih-lebih, video-video lama ceramahnya, yang juga dinilai menggunakan bahasa tidak patut, juga bertebaran. Tidak hanya masyarakat awam, tokoh publik pun akhirnya turut berkomentar. Salah satunya Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir.

Dakwah yang baik menurut Muhammadiyah

Haedar Nashir menerangkan, dalam sudut pandang Muhammadiyah, dakwah bukan hanya soal mengajak kepada kebaikan. Tapi juga harus dilakukan dengan cara yang menggembirakan, mencerahkan, dan memajukan.

Dalam perspektif Kepribadian Muhammadiyah, lanjut Haedar, dakwah juga disikapi sebagai usaha mencegah keburukan sekaligus mengajak kepada kebaikan. Maka, harus juga disertai dengan cara-cara yang baik melalui keteladanan yang baik. (akhlakul karimah).

Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyebut dakwah atau ceramah yang banyak isinya cuma guyon bikin umat tidak maju-maju MOJOK.CO
Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam sambutannya di pelantikan Rektor UM Surabaya. (Dok. Muhammdiyah)

Amar makruf nahi munkar tapi harus multi aspek, disertai keteladanan. Ngomong serba baik, (jangan) nuduh orang lain salah,” beber Haedar dalam sambutannya saat pelantikan Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Mundakir, pada Senin (9/12/2024).

“(Kalau) mengajak baik tapi perilakunya nggak baik, akhirnya apa? Jatuh diri di hadapan publik. Seperti yang terakhir terjadi.Mesti sudah tahu,” sambungnya menyinggung kasus yang terjadi pada Miftah Maulana a.k.a Gus Miftah.

Model dakwah penuh guyonan

Meski banyak yang—akhirnya—tidak sejalan dengan model ceramah Miftah Maulana, tapi tidak sedikit pula yang membela.

Bagi mereka—yang di pihak Gus Miftah—menyebut bahwa gaya ceramah Gus Miftah memang begitu adanya: guyonan dan cenderung blak-blakan. Ya karena segmentasi dakwahnya adalah kelompok orang-orang marjinal.

Sehingga, jika publik non-segmen ceramah Miftah Maulana, maka tentu akan tersinggung dengan gaya ceramahnya. Padahal guyonan begitu, lagi-lagi bagi “pembela” Miftah Maulana, dianggap biasa.

Ada banyak Gus atau Kiai, khususnya di Jawa, yang model ceramahnya memang penuh guyonan. Sasarannya memang untuk orang awam, agak menciptakan suasana majelis yang menyenangkan. Dengan begitu masyarakat tidak jenuh dan akan cenderung suka datang untuk mendengar ceramah.

Ceramah penuh guyon bikin umat nggak maju-maju

Namun, Haedar kurang sependapat dengan model ceramah begitu: penuh guyonan. Sayangnya, ceramah yang seperti itu, yang kalau kata Haedar adalah dakwah entertainment, justru paling banyak disukai di tengah masyarakat Indonesia.

“Muhammadiyah tidak melarang humor atau candaan, tapi jangan materi ceramah isinya hanya humor saja,” ujar guru besar Sosiologi tersebut.

“Sementara kalau ada mubalig yang muatan materinya daging semua, tidak terlalu banyak diikuti,” imbuhnya.

Fenomena itu, katanya, yang menjadi salah satu pemicu keterlambatan umat untuk bekembang dan maju. Sebab, materi-materi keagamaan yang didapatkannya hanya sebatas kulit, tidak sampai pada substansi.

Sertifikasi pendakwah

Imbas kasus Miftah Maulana (Gus Miftah), anggota Komisi VIII DPR, Maman Imanulhaq, mengusulkan kepada Kementerian Agama (Kemenag) perihal adanya sertifikasi terhdap seluruh juru dakwah di Indonesia.

Bagi Maman, kasus Miftah Maulana harus menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak untuk menjaga perkataan di hadapan publik. Pendakwah seharusnya merupakan orang yang paling menguasai sumber-sumber nilai keagamaan, baik itu dari Al-Qur’an, Hadis, maupun sumber-sumber klasik lain.

Oleh karena itu, dia menekankan, seharusnya tidak ada bahasa kotor maupun candaan yang mengolok-olok pihak lain saat berceramah.

“Pendakwah harus membuat tema keagamaan dama setiap ceramahnya. Tema yang dibawakan harus merujuk sumber agama. Misalnya, soal kesederhanaan atau lainnya, itu semua harus bersumber atas referensi keagamaan (Al-Qur’an, Hadis, dan sumber-sumber klasik lain),” papar Maman dalam keterangannya kepada awak media pada Rabu (4/12/2024) sebelumnya.

Itulah kenapa para pendakwah perlu disertifikasi untuk mengukur kapasitasnya dalam menguasai sumber-sumber agama.

Usulan tersebut pun kini sedang ditimbang oleh Presiden RI, Prabowo Subianto. Dia masih meminta dan menimbang masukan-masukan dari Kemenag, Majelis Ulama Indonesia (MU), hingga kalangan ormas-ormas Islam di Indonesia.

Sikap Muhammadiyah tentang sertifikasi pendakwah

Hanya saja, kata Haedar, rasa-rasanya tidak perlu ada sertifikasi terhadap seluruh juru dakwah jika hanya mengacu pada satu atau dua kasus saja.

Menurut Haedar, yang paling penting untuk disertifikasi adalah kepala elite agama atau elite bangsa. Sebab, mereka lah yang akan menjadi teladan.

“Maka karena itu, kami berharap bahwa agama itu bisa menjadi suluh kehidupan, bukan menjadi entertainment dalam kehidupan kita,” tegas Ketum PP Muhammadiyah itu usai pelantikan Rektor UM Surabaya berakhir.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: “Gus”: Dulu Panggilan Orang yang Belum Layak Jadi Panutan, Kini Malah Jadi Status Gagah-gagahan

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

 

 

 

 

Exit mobile version