Bus Eka Surabaya Jogja Lahir untuk “Menebus Dosa” Tragedi Maut 1981, 30 Tahun Lebih Mengaspal Tak Berkhianat Soal Waktu

Ilustrasi bus PATAS (CEPAT) Eka Surabaya-Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bus PATAS Eka jurusan Surabaya-Jogja memberi kesan nagih dalam perjalanan menyisir Jalur Selatan. Perjalanan dari Jogja ke Surabaya juga sebaliknya terlalui dengan ringkas dan menyenangkan.

***

Pengalaman naik bus PATAS atau CEPAT di Jalur Pantura membuat saya agak sangsi untuk naik bus kelas eksekutif. Sebab ternyata sama saja. Tak ada bedanya dengan bus kelas ekonomi.

Dalam benak saya, naik bus PATAS bisa meringkas waktu di perjalanan, alias bisa tiba di tujuan lebih cepat. Oleh karena itu, tak jadi soal jika akhirnya harus membayar mahal.

Namun, apa yang pernah saya alami di Jalur Pantura (Surabaya-Semarang) bertahun-tahun lalu tidak demikian. Naik PATAS, bayar mahal, tapi ternyata waktu tibanya tidak lebih cepat dari bus kelas ekonomi.

Begitu juga saat tujuh bulan ini tinggal di Jogja. Dari arah Jogja ke Semarang saya selalu naik bus PATAS. Tapi hasilnya juga sama saja, tak ada cepat-cepatnya. Alhasil saya mulai ragu untuk naik bus PATAS untuk rute mana saja karena buang-buang duit.

Bersabar dalam perjalanan panjang Surabaya-Jogja

Keraguan itu akhirnya terbawa juga untuk bus-bus rute Surabaya-Jogja. Selama enam bulan terakhir, saya kerap naik bus ekonomi Sumber Selamat dengan ongkos Rp99 ribu. Jika berangkat dari Jogja jam 1 siang, biasanya saya akan tiba di Surabaya sekitar jam 10 malam. Perjalanan yang panjang dan menguras energi memang.

Pacar saya berkali-kali menyarankan agar saya mencoba naik PATAS. Entah Sugeng Rahayu atau Eka. Tapi saya sudah kelewat ragu.

Sebab, saya sempat membaca ulasan seorang penumpang yang mengeluhkan perjalanan dengan bus PATAS Sugeng Rahayu. Sudah bayar mahal, lewat tol, tapi kok waktu tibanya sama saja dengan saat naik Sumber Selamat ekonomi.

Meski kasusnya terjadi pada Sugeng Rahayu, tapi kesangsian saya sudah terlanjur menyamaratakan dengan bus Eka. Alhasil, selama enam bulan terakhir riwa-riwi Surabaya-Jogja, saya lebih memilih bersabar naik bus ekonomi: menempuh perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan.

Bus Eka tak berkhianat soal waktu

Saya akhirnya memutuskan naik bus PATAS Eka pada Jumat (12/7/2024) dalam perjalanan Jogja-Surabaya, dengan harapan saya bisa lekas tiba di Terminal Bungurasih agar waktu saya tidak habis di jalan.

Pada keberangkatan kali itu saya membayar Rp145 ribu. Bonus sebotol air mineral dan kupon makan di RM Duta Ngawi, Jawa Timur.

Bus Eka yang saya tumpangi itu jlong-jlong dalam naik tol. Ia baru naik tol selepas Solo. Lalu turun di Ngawi untuk istirahat. Kemudian baru naik tol lagi selepas Madiun dan sisanya bablas sampai Terminal Bungurasih.

Ternyata bus Eka tidak berkhianat soal waktu. Sebelum lepas landas dari Terminal Giwangan Jogja jam 1 siang, saya sempat bertanya pada kondektur bus, kira-kira jam berapa saya akan tiba di Surabaya? Ia menjawab perkiraan jam setengah 9 malam. Benar saja, saya tiba di Surabaya jam 9 malam. Tak selarut saat naik ekonomi.

Oleh karena itu, saat balik dari Surabaya ke Jogja, saya pun memutuskan naik bus Eka lagi.

Bus PATAS Eka Surabaya-Jogja Tak Berkhianat Soal Waktu MOJOK.CO
Bus Eka Surabaya-Jogja tak berkhianat soal waktu. (Aly Reza/Mojok.co)

“Mau full tol atau nggak, Mas?” tanya seorang agen di Terminal Bungurasih saat saya memasuki lorong keberangkatan bus.

“Full tol, Pak,” jawab saya spontan.

“Langsung naik yang depan sana,” jawabnya sembari mengarahkan saya ke bus Eka yang parkir di lorong depan.

Perjalanan balik ke Jogja ternyata lebih ringkas lagi. Saya harus menyerahkan uang sebesar Rp155 ribu, bonus air mineral dan kupon makan. Tapi yang membedakan bus tersebut dengan bus saat saya berangkat ke Kota Pahlawan, ia benar-benar full tol dari Surabaya hingga Solo. Bus istirahat sekitar 20 menit di RM Duta di Tol Ngawi, lalu tancap lagi tanpa jeda hingga di Terminal Tirtonadi Solo. Bus Eka itu membawa saya tiba di Jogja jam 7 malam (berangkat dari Surabaya jam 1 siang).

Baca halaman selanjutnya…

Menebus dosa tragedi maut 1981

Keramahan di Bus Eka

“Kalau Eka memang cepet. Bener-bener mangkas waktu karena memaksimalkan tol. Karena ada juga kan bus PATAS yang nggak full tol. Jadi hasilnya sama aja kayak ekonomi,” ujar Puspita (26), salah seorang penumpang saat saya ajak berbincang di RM Duta Tol Ngawi dalam perjalanan Surabaya-Jogja.

Puspita sudah bertahun-tahun naik bus Eka. Sejak S1 di Solo hingga kini lanjut S2 di Solo lagi. Ia selalu naik bus Eka karena waktu perjalanannya bisa lebih ringkas, sehingga tak terlalu melelahkan.

“Selain itu aku menemukan ada keramahan aja. Bukan hanya dari segi penumpang ya, tapi di sisi kru bus. Sopirnya juga meskipun kenceng tapi nggak yang ugal-ugalan, jadi merasa nyaman aja naiknya,” sambung perempuan Mojokerto tersebut. Obrolan kami lalu beralih pada urusan dan kesibukan masing-masing di perantauan.

Sementara saat berangkat dari Surabaya ke Jogja sebelumnya, separuh perjalanan saya ditemani oleh Munawar, lelaki menjelang 40-an asal Ngawi yang baru saja mengajak liburan keluarga kecilnya ke Jogja.

“Sebenernya ke acara wisuda keponakan. Sekalian jalan-jalan,” ujarnya dengan senyum lebar.

“Kok nggak sewa mobil aja, Pak?” tanya saya.

“Lebih terbiasa ngebus, Mas. Istri dan anak saya juga lebih suka ngebus,” jawabnya.

Bus Eka saat berhenti di RM Duta Ngawi, Jawa Timur. (Aly Reza/Mojok.co)

Awalnya Munawar duduk di kursi sebelah sang istri dan anak, persis di belakang kursi saya. Lalu entah kenapa ia tiba-tiba pindah ke bangku depan, menjejeri saya. Alhasil, obrolan pun tak terelakkan.

Munawar bercerita banyak soal kehidupannya. Masa mudanya ia mulai dengan merantau ke Kalimantan. Lalu ia sempat merantau lama di Lampung. Di Lampung itulah ia kemudian mengenal sang istri dan menikahinya sampai punya dua anak.

Ndilalah kok mau diajak ke Ngawi. Sekarang istri bikin usaha kecil-kecilan di rumah (Ngawi). Kalau saya jadi kuli panggul di sebuah gudang beras,” bebernya.

Cerita terus berlanjut. Hingga tanpa terasa bus berhenti di RM Duta Ngawi. Di rumah makan tersebut, Munawar bahkan mengajak saya makan semeja dengan keluar kecilnya. Ia juga menemani saya merokok di pelataran RM Duta sambil menunggu bus berangkat lagi.

Lahir dari tragedi maut

Untuk diketahui, Eka bisa dibilang adalah bus yang lahir dari tragedi maut.

Sebelum menjadi PO Eka, bus tersebut bernama PO Flores yang diluncurkan di Gresik pada 1971. Saat itu PO Flores melayani trayek Surabaya-Solo.

Di masanya, PO Flores terkenal sebagai bus yang sangat kencang. Sampai akhirnya tragedi maut terjadi pada 1981.

Melansir dari pemberitaan-pemberitaan yang sudah beredar, pada 1981 PO Flores sedang membawa rombongan study tour sebuah SMP dari Jombang ke Solo. Namun karena kelalaian, bus tersebut tertabrak kereta api di perlintasan kereta api di Solo hingga menyebabkan banyak korban jiwa.

Pasca tragedi maut tersebut, PO Flores mendapat sanksi berupa pembatasan trayek. Dampaknya, penumpang pun makin hari makin berkurang.

Untuk mengatasi masalah tersebut sekaligus untuk memperbaiki reputasi, Fendi Haryanto selaku bos PO Flores meluncurkan PO Eka. Awalnya hanya melayani kelas ekonomi, lalu per 1993 mulai masuk ke kelas PATAS atau CEPAT yang terus mengaspal hingga saat ini.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Warga Desa Sebenarnya Muak dengan Mahasiswa KKN: Nggak Bantu Atasi Masalah Desa, Cuma Bisa bikin Les dan Acara 17 Agustusan

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version