Rasanya Kerja di Kemensos: Gaji Besar, Tapi Nggak Kuat Lihat Kelakuan Teman yang Korup

Gaji Besar di Kemensos Tapi Nggak Kuat Lihat Kelakuan Teman yang Korup. MOJOK.CO

ilustrasi lingkungan kerja di Kemensos yang Korup. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Sera* merupakan pegawai di Kementerian Sosial (Kemensos). Meskipun gajinya di atas UMR, dia tetap hemat untuk bertahan hidup di Jakarta. Selain belajar mengelola uang, Sera harus tahan dengan lingkungan kerjanya yang korup dan suka berfoya-foya. 

Hoki kerja di Kemensos

Sera tak perlu menunggu waktu lama untuk mendapat pekerjaan setelah lulus dari kuliah. Dia merasa beruntung karena temannya butuh tenaga cepat saat itu. 

Teman Sera sudah bekerja lebih dulu di Kemensos. Dia lalu mencari pekerja yang ahli di bidang Teknologi Informasi. Kebetulan dia jago di bidang itu. Akhirnya dia mendaftar sebagai pegawai kontrak.

“Temanku ini lagi butuh orang, aku menawarkan diri. Setelahnya aku dites dan alhamdulillah masuk,” ucap Sera saat dihubungi Mojok pada Minggu (27/10/2024).

Dia tidak pikir panjang untuk merantau ke Jakarta. Apalagi, gajinya terbilang cukup sebagai karyawan kontrak.

“Kalau dirata-rata sebulan bisa Rp8 juta, belum dengan bonusnya. Tidak selalu aku dapat segitu. Aku pernah dapat Rp10 juta,” kata dia. 

Biaya hidup di Jakarta mahal

Sera mengaku mengalami culture shock saat tiba di Jakarta. Dia takjub melihat gedung-gedung tinggi dengan tatanan jalan di Jakarta Pusat. Berbagai transportasi umum seperti commuter line, transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), dan feeder juga baru dia temui di sana.

“Semua itu saling terintegrasi, kalau dulu di domisiliku, aku pernah pakai bus itu nunggu juga lama,” ucap pegawai Kemensos itu.

Menurut Sera, biaya hidup di Jakarta cukup mahal walaupun gajinya di atas UMR. Misalnya saja harga makanan. Dia belum pernah menjumpai makanan berat dengan harga murah. 

Di Jakarta dia bisa menghabiskan Rp40 ribu sampai Rp80 ribu dalam sehari untuk makan. Jika memesan online, biayanya akan jauh lebih mahal karena ongkos kirim.

“Kalau di tempatku dulu, uang Rp20 ribu itu masih cukup untuk aku makan 3 kali dalam sehari, tapi di Jakarta jangan harap,” kata dia.

Rekan kerja di Kemensos suka foya-foya

Sera juga jarang jajan karena berhemat. Namun, teman-teman kantornya sering mengajak dia makan di luar atau ngopi di kafe. Sera biasanya menolak meskipun ada embel-embel promo. Menurut dia, harga itu masih terbilang mahal.

“Aku kalau jajan itu enggak terlalu mewah seperti teman-temanku, yang sekali beli jajan bisa menghabiskan Rp500 ribu sampai Rp700 ribu. Bahkan ada yang sebulan bisa keluar duit Rp3 juta,” kata dia.

Namun, tidak semua pegawai seperti itu. Sera bilang pegawai PNS lebih banyak berhemat karena gajinya tidak banyak dibanding kementerian lain. Dia memang mengenal beberapa teman yang hedon saat sehabis dinas. Karena setelah itu, mereka akan mendapatkan bonus yang lumayan.

Sera juga merasa tak ada masalah dengan sikapnya yang sering menolak, karena teman-temannya tetap mau mengajak dia untuk ngobrol atau bermain. Toh, kata dia, hidup di Jakarta tak perlu mudah berempati jika tidak ingin ditipu. 

“Orang-orang di sini lebih individualis. Mungkin hanya aku ya yang merasakan, karena lebih sering kerja dengan teknologi, jarang berinteraksi,” ucapnya.

Mengidap penyakit Hepatitis B

Alasan Sera berhemat meski bergaji di atas UMR, karena dia harus menyisihkan gajinya untuk berobat. Dia didiagnosis hepatitis B pada tahun 2022. Sekali berobat, pegawai Kemensos itu harus menghabiskan Rp500 ribu tiap 6 bulan sekali.

Sebagai informasi, hepatitis B adalah penyakit menular yang timbul karena peradangan pada organ hati. Merujuk pada laman resmi RSUD dr. Loekmono Hadi menjelaskan gejalanya sangat bervariasi dari tanpa gejala dan keluhan, sampai gejala berat karena komplikasi.

“Lebih dari 90 persen kasusnya akan menjadi kronis dan berkembang menjadi penyakit lanjut hati, sirosis hati, dan kanker hati,” ucap Bambang Adi Setyoko dikutip dari laman resmi RSUD dr. Loekmono Hadi pada Selasa (5/11/2024).

Sera sendiri tidak pernah merasakan gejala sebelumnya. Mulanya, dia hanya ingin ikut program donor darah saat kuliah. Dia justru mendapatkan surat dari Palang Merah Indonesia, yang diantar langsung ke rumahnya.

Setelah mendapatkan rujukan di rumah sakit dan menjalani beberapa tes, Sera akhirnya mendapat diagnosis tersebut. Dokter hanya menyarankan Sera untuk menjaga pola hidup sehat.

Banyak pegawai Kemensos korup

Sebagai pekerja di pemerintahan, Sera sempat kaget melihat fenomena yang terjadi di tempat kerjanya. Saat bertugas mencocokkan data penerima bansos, dia tahu ada yang tidak beres di sana. 

“Mungkin ini bisa disebut korupsi. Banyak pegawai dan masyarakat yang kongkalikong,” kata dia.

Sera menjelaskan Kemensos memiliki kuota dari jumlah data di BPS, sesuai tingkat kemiskinan. Namun, kuota itu disalahgunakan oleh pegawai di daerah. Masyarakat yang mestinya tidak memenuhi syarat dapat memohon ke pegawai daerah agar namanya terdaftar sebagai penerima bansos. 

Sera pernah mengecek salah satu data, rupanya kuota itu diberikan ke pemilik rumah tingkat dua yang menikah dengan tiga orang istri. Seluruh anggota di rumah itu juga terdaftar sebagai penerima bansos.

“Pegawai ini juga bisa dapat ancaman dari masyarakat, karena orang yang masuk data penerima itu punya kuasa di daerah tersebut, dan tidak mau dikeluarkan,” ucapnya.

Oleh karena itu, dia hanya bisa patuh. Masyarakat sebetulnya juga bisa lapor ketidaklayakan data penerima bansos lewat aplikasi cek bansos. Jika belum ada tindak lanjut dari pemerintah selama kurun waktu tertentu, maka data layak dapat terhapus otomatis.

Sesuai Undang-Undang, pemerintah pusat tidak bisa berkutik untuk menghapus data penerima bansos, karena kewenangan penuh ada di pemerintah daerah. Pemerintah hanya bisa mengelola data yang sudah didapat, tidak bisa memasukkan maupun mengeluarkan data.

Bobroknya Kemensos pelihara koruptor

Apa yang dirasakan Sera sebenarnya hanyalah fenomena gunung es, sebab korupsi bansos di Kemensos memang marak terjadi. 

Pada Juni 2021, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutuskan bersalah enam orang terdakwa kasus korupsi penyaluran bansos beras dalam program Keluarga Harapan (PHK).

Pada Agustus 2021, Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dihukum 12 tahun penjara dan harus membayar denda Rp500 juta karena terbukti bersalah dalam korupsi bansos Covid-19. Dia disinyalir menerima Rp32,2 miliar dari 109 perusahaan yang ditunjuk menjadi penyedia proyek.

“Aku menyadari sistem pemerintah kita sudah rusak menyeluruh, mulai dari daerah sampai pusat,” kata Sera.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Pak Juliari dari Kami Korban Penerima Bansos yang Dikorupsi

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version