Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

Ilustrasi - Pemerintah yang Merusak Alam, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Di negeri yang saban tahun dilanda banjir, pemerintah tiba-tiba merasa masalah utamanya adalah kurangnya pelajaran tentang menjaga lingkungan diajarkan di sekolah. Seakan-akan, air bah yang menyapu rumah, melumpuhkan jalan, dan memakan korban jiwa itu muncul bukan akibat pembabatan hutan dan rakusnya bisnis ekstraktif, tapi karena warga buang sampah sembarangan.

Saat memperingati Hari Guru Nasional 2025, Prabowo Subianto mengusulkan agar “pendidikan lingkungan” dijadikan bagian resmi dari kurikulum sekolah di seluruh Indonesia.

Ia mengatakan bahwa perubahan iklim dan kerusakan alam adalah tantangan besar bangsa, dan anak sekolah perlu dibekali kesadaran menjaga hutan, sungai, dan lingkungan sekitar.

“Saya kira mungkin para guru-guru di seluruh Indonesia yang sudah bisa mulai, saya yakin sudah mulai, tapi mungkin perlu kita tambah dalam silabus dalam mata pelajaran juga kesadaran akan sangat pentingnya kita menjaga lingkungan alam kita, menjaga hutan-hutan kita,” ujarnya, Jumat (28/11/2025) lalu.

Pernyataan itu muncul di tengah duka yang menyelimuti Pulau Sumatra. Dalam beberapa hari terakhir, badai tropis dan hujan ekstrem telah memicu banjir bandang dan longsor besar di wilayah Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat. 

Berdasarkan data dari badan penanggulangan bencana, korban meninggal telah mencapai ratusan, banyak yang masih hilang, dan ribuan lain terpaksa mengungsi. Ribuan rumah serta infrastruktur juga hancur. 

Di media sosial, pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu segera memicu perdebatan luas. Banyak warganet menilai, wacana pendidikan lingkungan terasa seperti omon-omon, terutama karena disampaikan ketika warga masih sibuk mencari keluarga yang hilang dan mengevakuasi jenazah dari puing-puing banjir bandang. 

banjir sumatra.MOJOK.CO
Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Alih-alih menunjukkan empati atau menjelaskan langkah konkret pemerintah dalam menangani akar masalah kerusakan lingkungan, pernyataan tersebut dianggap seperti melempar tanggung jawab kepada masyarakat.

Seolah-olah, bencana terjadi karena kurangnya kesadaran individu, bukan karena kegagalan regulasi dan lemahnya penegakan hukum terhadap perusakan hutan dan alih fungsi lahan. 

Menurut data yang dipaparkan WALHI Sumatera Utara, bencana banjir bandang dan longsor di kawasan Batang Toru tak bisa dilepaskan dari jejak kerusakan ekologis yang dihasilkan oleh tujuh perusahaan besar.

Dalam rilisnya, WALHI menyebut perusahaan–perusahaan seperti PT Agincourt Resources (tambang emas Martabe), PT North Sumatera Hydro Energy (proyek PLTA Batang Toru), PT Toba Pulp Lestari Tbk (unit PKR di Tapanuli Selatan), serta pelaku perkebunan dan energi lainnya.

Kata WALHI Sumatera Utara, mereka adalah aktor utama yang membuka tutupan hutan, merusak area hulu, dan menghancurkan fungsi benteng hidrologis alami. Kerusakan yang dituding meliputi deforestasi ratusan hektare, konversi lahan untuk tambang dan perkebunan, serta pembangunan infrastruktur energi.


Oleh karena itu, banyak kritik publik menyatakan bahwa beban menjaga lingkungan tidak pantas dilempar kepada siswa, guru, atau masyarakat, melainkan kepada korporasi perusak dan pemerintah yang memberi izin serta mengabaikan akuntabilitas. 

Singkat kata: jika akar permasalahan adalah eksploitasi masif terhadap alam, maka penanganannya harus struktural, bukan sekadar edukasi individu.

Banjir Sumatra, tentang lempar tanggung jawab dan depolitisasi

Namun, pernyataan Prabowo itu sebenarnya bukan hal asing. Terutama sekali ketika berbicara soal masalah yang dialami sebuah negara, seperti tragedi banjir bandang di Pulau Sumatra. Dalam kerangka politik, ini dinamakan responsibilization 

Istilah tersebut, sudah banyak dibahas oleh banyak pemikir, seperti Michael Foucault dan Nikolas Rose. Ia merujuk pada mekanisme di mana tanggung jawab atas masalah sosial, ekologis, atau kolektif, dipindahkan dari institusi negara atau korporasi ke individu maupun komunitas lokal.

Melalui responsibilization, Tania Murray Li dari University of Toronto menjelaskan, bahwa pemerintah biasanya menggunakan pendekatan “government through community”. Yakni, negara tidak memaksakan kontrol langsung, melainkan membentuk komunitas, lalu mendorong komunitas atau warga untuk “mengelola diri sendiri”, mengambil tanggung jawab terhadap kesejahteraan lingkungan, sosial, dan sumber daya alam. 

Banjir bandang yang terjadi di wilayah Padang, Sumatera Barat, menghanyutkan kayu gelondongan. Pemandangan ini menjadi sorotan publik mengingat jumlahnya yang begitu banyak. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, misalnya hutan atau daerah aliran sungai (DAS), responsibilization ini sering muncul ketika pemerintahan menyerahkan peran “konservasi” dan “pelestarian” kepada masyarakat atau komunitas lokal.

Namun, banyak penelitian memperlihatkan bahwa seringkali beban ini dilepaskan tanpa disertai dukungan struktural yang memadai, seperti kebijakan atau regulasi yang memihak.

Akibatnya, masyarakat mendapatkan “tugas moral” menjaga lingkungan, meskipun mereka bukan pelaku utama perusakan. Dan, seringkali mereka tidak diberi wewenang signifikan untuk mengontrol perusahaan atau kebijakan.

Dengan demikian, responsibilization bukan sekadar ajakan partisipasi. Ia adalah sebuah “siasat pemerintahan” dengan memindahkan tanggung jawab dari aktor besar ke individu, sambil mempertahankan status quo kekuasaan. 

Padahal, sebuah riset di Forest Policy and Economics (2020) menunjukkan bahwa kerangka responsibilization sangat berbahaya. Dalam tata kelola sumber daya alam, ia sering menciptakan apa yang disebut symbolic violence atau “kekerasan yang bentuknya halus” terhadap komunitas lokal. 

“Karena masyarakat dibebani peran menjaga lingkungan, mereka merasa ditempeli tanggung jawab besar,” kata Irmeli Mustalahti, dalam laporan tersebut.

“Ketika terjadi kerusakan, mereka menghadapi beban moral dan ekologis, sementara aktor utama perusakan tetap lepas dari pertanggung jawaban.”

Dalam responsibilization, biasanya juga muncul depoliticization, yakni mengaburkan masalah yang sejatinya politis–menyangkut kekuasaan, kebijakan, regulasi, distribusi sumber daya–dan dinarasikan sebagai persoalan teknis, moral, atau individual. 

Apakah kamu familiar dengan kata-kata seperti, “Jangan buang sampah sembarangan, nanti banjir!”, atau “Bencana ini adalah azab!”, atau “Di setiap bencana pasti ada hikmahnya”? Ya, itu adalah contoh dari depoliticization.

Kalau kata Maiara Garcia Orlandini dalam Politicization and Depoliticization (2025), cara ini kerap dipakai negara atau korporasi ketika berusaha menghindar dari kritik atau tuntutan pertanggungjawaban.

Pencarian banjir bandang Sumatra korban dilanjutkan dengan melibatkan BPBD Agam, Basarnas Padang, TNI, Lantamal II Padang, Polri, Damkar Agam, Pol PP Agam, Dinas Sosial Agam, Palang Merah Indonesian (PMI) Agam, Kelompok Siaga Bencana (KSB), pemerintah kecamatan, pemerintah nagari, dan lainnya. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Biasanya, mereka mengalihkan narasi dengan menyebut bahwa persoalan seperti lingkungan, kesehatan, kemiskinan, dan bencana adalah akibat perilaku individu, bukan akibat kebijakan, regulasi lemah, atau eksploitasi korporasi. 

“Wacana menjadi terfokus pada ‘apa yang bisa dilakukan warga’, seperti kurangi konsumsi, hemat penggunaan, daur ulang, dan sebagainya. Sementara struktur penyebab kerusakan, seperti eksploitasi lahan, izin tambang, deforestasi, perampasan alam, menguap dari perhatian politik.” kata Orlandini.

Belajar dari tragedi di Minamata, Jepang

Kalau membicarakan kerusakan alam dengan depoliticization dan politicization, saya jadi teringat dengan bencana pencemaran merkuri parah yang terjadi di Minamata, Jepang.

Kala itu, sekitar 1956-an, banyak warga di Teluk Minamata, Prefektur Kumamoto, mengalami gejala aneh, seperti tremor, mati rasa di anggota tubuh, gangguan penglihatan dan pendengaran, kesulitan berjalan, hingga kematian mendadak.

Tragedi ini disebut Minamata Disease.

Melalui sebuah investigasi dari kementerian lingkungan Jepang, ditemukan bahwa penyebab Minamata Disease adalah limbah beracun dari pabrik kimia Chisso Corporation. Sejak 1932, perusahaan ini membuang limbah mengandung merkuri ke laut di Teluk Minamata. 

Merkuri tersebut, melalui proses alami di laut, berubah menjadi metil-merkuri, yakni senyawa sangat beracun–yang terakumulasi di tubuh ikan dan kerang. 

Warga yang mengandalkan tangkapan ikan sebagai makanan pokok terpapar racun ini secara terus-menerus. Akibatnya, ribuan orang mengalami gejala-gejala ganjil dan mematikan tadi.

Sialnya, di awal tragedi, apa yang dilakukan pemerintah Jepang sama seperti Prabowo: melimpahkan masalah ini ke urusan individu. Narasi-narasi seperti “kurangnya kesadaran warga akan kebersihan sekitar” jadi makanan sehari-hari, sehingga cukup untuk menutupi betapa lemahnya akuntabilitas perusahaan pencemar serta negara yang memberi izin usaha.

Barulah setelah ada tekanan publik, advokasi korban, dan bukti ilmiah yang jelas, pemerintah Jepang dan Chisso mau bertanggung jawab. Sialnya, nasi sudah menjadi bubur. Kerusakan sudah terjadi, dan dampaknya diwariskan lintas generasi.

Dari tragedi di Minamata delapan dekade lalu, hingga bencana di Pulau Sumatra yang masih menyisakan duka, kita belajar. Ketika negara mengalihkan tanggung jawab krisis ekologis kepada masyarakat, kita bukan hanya sedang menyaksikan kesalahan arah kebijakan, tapi juga sedang menyaksikan “pengaburan” akar masalah. 

Alam rusak bukan karena murid SD tak tahu cara membuang sampah, tetapi karena pembiaran terhadap korporasi yang mengeruk hutan, mencemari sungai, dan menambang perut bumi tanpa henti.

Selama struktur ekonomi politik yang memberi karpet merah kepada perusak lingkungan, pelajaran lingkungan di kelas, kalau kata Tania Murray, “cuma jadi kosmetik moral”, sementara banjir bandang, longsor, dan krisis iklim terus menelan korban.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: ‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version