Harga nuthuk memang menjadi persoalan di sejumlah titik wisata di Jogja yang kerap dikeluhkan wisatawan atau pendatang. Wali Kota Jogja, Hasto Wardoyo, pada Maret 2025 lalu sampai mengontrol pedagang-pedagang di Malioboro agar memasang papan harga.
Dengan papan harga tersebut, harapannya terjadi transparansi antara pedagang dan konsumen. Sehingga tidak ada praktik nuthuk harga (memasang harga lebih tinggi dari harga asli) yang bisa menguras isi dompet.
Harga nuthuk memberi kesan buruk bagi dua narasumber Mojok kala pertama kali ke Jogja. Keselnya bahkan masih terasa hingga sekarang.
Ke Malioboro Jogja hanya untuk pamer di story
Cerita pertama dituturkan oleh Jazeela (26), perempuan asal Tuban, Jawa Timur.
Ketika masih di Tuban, Jazeela belum pernah sama sekali ke Jogja. Hingga akhirnya dia kuliah di Semarang pada 2017.
Saat itu, Jogja menjadi salah satu resolusi yang benar-benar ingin dia wujudkan. Terutama berfoto di Malioboro untuk kemudian diunggah di media sosial.
Jazeela sudah lama memendam iri. Sebab, banyak teman-teman SMA-nya yang sudah lebih dulu menginjakkan kaki di Jogja dan memajang foto berlatar papar nama “Jalan Malioboro”.
Kuliah di Semarang membuat jaraknya dengan Jogja menjadi lebih dekat. Berwaktu tempuh tiga jam dengan motor. Maka…
“Menjelang libur semester (di tahun pertama kuliah), aku dan beberapa temen kelasku yang cewek langsung bikin agenda liburan ke Jogja, sebelum nanti liburan di kampung halaman masing-masing,” ucap Jazeela, Rabu (16/4/2025).
Agenda tersebut pada akhirnya terealisasi. Tugu Jogja yang selama ini hanya bisa Jazeela lihat di media sosial, akhirnya bisa dia lihat dan potret secara langsung.
Beberapa tempat mainstream pun dia kunjungi. Dari Taman Sari, Keraton, Benteng Vredeburg, lalu ditutup di Jalan Malioboro pada malam harinya.
Warung makan tak pasang daftar harga
Setelah capek jalan-jalan dan berfoto di kawasan Malioboro, Jogja, rasa lapar dan haus pun menyerang Jazeela dan teman-temannya. Mereka lalu menyisir satu demi satu warung lesehan.
Kebanyakan jualan gudeg. Jazeela belum pernah mencoba gudeg. Tapi karena takut tak cocok, dia berhenti di sebuah warung lesehan yang menjual aneka varian nasi goreng. Dari nasi goreng biasa, telur, hingga seafood terpampang di daftar menu dalam bentu banner besar.
Hanya saja, tidak tercantum berapa harga per porsinya. Tapi karena sudah kelewat lapar, Jazeela dan teman-temannya tidak mau berspekulasi macam-macam.
“Waktu itu kami berasumsi, kalau toh mahal, paling berapa sih? Rp15 ribu sampai Rp20 ribu lah. Itu lumrah,” ungkap Jazeela.
Baca halaman selanjutnya…
Enaknya nggak seberapa, mahalnya nggak kira-kira
Harga asi goreng di Malioboro Jogja bikin tercengang
Sebagai antisipasi harga mahal khas kawasan wisata, Jazeela memesan nasi goreng biasa. Sementara teman-temannya lebih variatif: ada yang nasi goreng telur, ada yang seafood.
“Waktu bayar, tercenganglah aku. Nasi goreng biasaku harganya Rp30 ribu. Sama es teh Rp5 ribu. Padahal rasanya jauh lebih enak nasgor Rp10 ribuan di Semarang. Yang temen-temenku jelas lebih mahal. Tapi aku lupa harga persisnya,” sambungnya.
Tak pelak, keluar dari warung lesehan di Malioboro, Jogja itu, hanya kekesalan dan penyesalan yang keluar dari mulut masing-masing.
Peristiwa itu membuat Jazeela tak pernah mau lagi ke Malioboro. Kalau sedang ke Jogja, dia akan menyisir wisata-wsiata lain. Tapi tetap, urusan makan, dia tak mau makan di kawasan wisata. Lebih memilih makan-makan di pinggir jalan umum.
Pada tahun 2017, sempat viral juga di media sosial keluhan-keluhan warganet. Ada yang mengaku harus membayar Rp88 ribu untuk tiga nasi goreng dan tiga minuman. Ada juga yang mengaku membayar Rp40 ribu untuk seporsi nasi goreng.
Bahkan ada juga yang membayar Rp120 ribu untuk untuk empat porsi ayam goreng. Itu belum termasuk nasi. Nasinya sendiri dibanderol dengan harga Rp8 ribu.
Itupun masih berlanjut di tahun-tahun setelahnya. Misalnya 2021 lalu. Ada warganet mengaku kesal karena makan pecel lele dengan harga Rp37 ribu per porsi.
Tragedi di warung mie ayam sepi
Cerita kedua dituturkan oleh Zikrul (24), asal Rembang, Jawa Tengah.
Setelah menjalani masa perkuliahan daring akibat pandemi Covid-19, pada 2022 Zikrul akhirnya bisa merasakan perkuliahan secara tatap muka di Jogja. Meski sifatnya masih hybrid.
Pada awal kedatangannya ke Jogja, Zikrul mengajak teman sekampungnya untuk ikut: sekadar jalan-jalan. Mengingat, Zikrul masih belum akrab dengan teman sekelasnya, kendati sudah lebih dulu berinteraksi melalui grup WhatsApp atau Zoom.
Pada malam pertama di Jogja, Zikrul mengajak temannya muter-muter di daerah Depok, Sleman.
“Aku nawari temenku mau makan apa, bilangnya manut aku aja. Karena aku lagi pengin mie ayam dan kebetulan aku lihat ada warung mie ayam sepi, ya udah aku mampir,” beber Zikrul.
“Kasihan juga warungnya sepi. Jadi niatnya sambil dilarisi,” imbuhnya.
Dia lantas memesan dua porsi mie ayam ceker dan dua gelas Nutrisasi. Zikrul merasa cocok dengan cita rasa dari mie ayam di warung tersebut. Dia makan begitu lahap hingga lekas tandas.
“Habis makan, nyebat sebatang sambil ngobrol-ngobrol. Ya rasan-rasan juga kalau mie ayamnya oke. Nah, setelah bayar, baru kami berdua kayak orang linglung,” jelas Zikrul.
Ada harga ada rupa, tapi ya nggak segitunya
Belakangan, sempat viral prank orang makan di warung mie ayam dengan lahap. Warungnya tampak sederhana.
Lalu ada orang iseng-iseng tanya, “Seporsinya berapa, Bang?”. “Oh, Rp75 ribu aja, Bang,” jawab si penjual mie ayam. Sontak, beberapa pembeli yang tengah melahap mie ayamnya langsung terbelalak. Merasa terjebak.
Begitulah kira-kira gambaran situasi saat Zikrul dan temannya membayar mie ayam di sebuah warung di Depok itu.
“Aku bayar Rp120 ribu. Serius. Aku kan akhirnya bertanya-tanya, Mie ayamnya Rp50 ribu seporsi sama Nutrisarinya Rp10 ribu atau gimana rinciannya?” Tutur Zikrul.
Sepulang dari warung mie ayam itu, keduanya hanya misuh-misuh di sepanjang jalan. Nyesel dan kesel bukan main.
“Enak sih memang enak rasanya. Tapi masa semahal itu. Apa kami jadi korban nuthuk harga karena kami kelihatan betul kalau pendatang, aku juga nggak paham,” imbuhnya.
Setiba di kos, keduanya hanya terdiam lemas. Tak ikhlas uang Rp120 ribu habis cuma buat dua porsi mie ayam dan dua gelas minuman kemasan. Sampai sekarang, kalau ingat itu, keduanya masih begitu kesal.
Korban nuthuk harga harus lapor ke mana?
Dalam konteks Kota Jogja, Pemkot Jogja menyediakan nomor aduan bagi wisatawan atau pendatang yang jadi korban nuthuk harga di Kota Jogja.
Para korban nuthuk harga Bisa mengirim aduan melalui SMS ke nomor 08122780001 Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Bisa juga dengan menandai atau mengirim pesan di Instagram resmi Pemkot Jogja.
Sementara untuk konteks daerah lain di Jogja, bisa melapor ke Dinas Pariwisata atau Pemkab terkait.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pahitnya Jadi Cowok Penyuka Seblak: Dipandang Aneh dan Dipertanyakan Kejantanannya, Bingung Salahnya di Mana? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
