Belakangan ini kasus perselingkuhan ramai di media sosial. Ada kabar seorang pilot yang melakukan hubungan terlarang dengan pramugari. Kabar pertama belum surut, santer lagi kabar dokter yang selingkuh dengan mahasiswa co-ass.
Di setiap kasus semacam itu, terutama yang melibatkan pelaku atau korban dari kalangan publik figur, warganet langsung berbondong-bondong berkomentar. Salah satu jenis komentar yang muncul adalah pertanyaan tentang mengapa selingkuhan secara fisik tidak lebih baik dari pasangan aslinya.
Pendapat semacam itu lantas mendapat banyak validasi. Di aplikasi X, saat ada dugaan pilot berselingkuh dengan seorang pramugari, saya menjumpai cuitan semacam “Memang sudah kodratnya di mana-mana yang jadi selingkuhan pasti lebih jelek” dan variasi cuitan lain yang membenarkan pendapat itu.
Memangnya benar, ada kecenderungan orang memilih selingkuh dengan yang tidak lebih aktraktif dari pasangan asli seperti isu pilot yang viral itu? Saya belum menemukan riset pastinya. Namun ada survei dari Victoria Milan, sebuah aplikasi kencan, tentang pola pencarian teman kencan bagi mereka yang sebenarnya sudah punya pasangan.
Ternyata, survei tersebut menunjukkan bahwa 4000 pengguna aplikasi kencan itu menyatakan pasangan selingkuhnya tidak lebih menarik secara fisik daripada pasangan aslinya. Sebagai infomasi, Victoria Milan memang aplikasi kencan bagi orang yang sudah menikah untuk mencari orang ketiga.
Lalu, mengapa sebenarnya orang mencari orang ketiga yang sebenarnya tidak lebih atraktif dari pasangan aslinya? Saya berbincang dengan Dessy Pranungsari M.Psi, seorang psikolog untuk menemukan jawabannya.
Mengapa seseorang mencoba untuk berselingkuh?
Perselingkuhan sudah jadi hal yang hadir sejak manusia menemukan konsep komitmen berpasangan. Dessy berpendapat bahwa dalam konteks perkawinan pun seseorang berpotensi besar melakukannya ketika tidak memantaskan dirinya untuk puas.
“Meski secara norma klir bahwa itu keliru. Tapi tidak dimungkiri setiap manusia memiliki nafsu untuk mencari kepuasan dalam bentuk materi, afeksi, hingga seksualitas,” paparnya kepada Mojok, Sabtu (7/1/2024).
Ia menambahkan bahwa seseorang perlu memiliki komitmen yang teguh setelah menjalin hubungan. Namun, komitmen itu bisa pudar karena berbagai hal seperti lingkungan hingga rasa ketidakpuasan terhadap hubungan.
Pola kemunculan perselingkuhan, menurutnya, kerap berawal dari perasaan ketidakpuasan. Selain itu, karakter orang yang impulsif juga mendorong untuk melakukan praktik mengkhianati komitmen dengan pasangan.
“Kemudian ada juga kaitannya dengan karakter seseorang yang suka diperhatikan,disayang,mendapat kepedulian, dalam taraf berlebih. Ini disebut orang narsis, dia ingin selalu dapat cinta kasih yang biasanya pada usia pernikahan terentu mulai memudar,” jelasnya.
Selain itu, pelaku juga cenderung merasakan adrenalin saat melakukan hubungan dengan orang ketika. Pasalnya, ia merasa tertantang untuk bisa menggaet seseorang yang baru, sesuatu yang telah lama terpendam sejak menikahi pasangannya.
“Hal itu erat kaitannya dengan gender, di masyarakat kita stereotipe-nya laki-laki harus mengejar perempuan. Setelah menikah, terkadang keinginan untuk merasakan sensasi mengejar ini muncul kembali. Adrenalin pada taraf tertentu bisa memicu kecanduan karena mencari sensasi,” tegasnya.
Mengapa mencari pasangan baru yang secara fisik tidak lebih menarik?
Selanjutnya, terkait Dessy memiliki pemaparan soal alasan selingkuhan cenderungan tidak lebih atraktif dari pasangan aslinya. Untuk bicara hal ini, perlu kembali ke dua persoalan awal yang mendorong seseorang mengambil tindakan tersebut yakni kebosanan dan sifat impulsif.
“Rasa bosan dan impulsivitas mendorong seseorang untuk mencari variasi. Ketika bicara variasi, maka utamanya adalah cari yang berbeda,” ujarnya.
Variasi juga tidak melulu kaitannya dengan fisik. Bisa juga kaitannya dengan kasih sayang. Hal-hal ini dicari yang berbeda dengan apa yang ada di pasangan aslinya.
Dessy menerangkan, anggapan bahwa selingkuhan lebih tidak lebih menarik dari pasangan asli juga terpengaruh oleh normal yang berlaku di masyarakat. Tindakan selingkuh merupakan hal yang tidak benar.
“Sehingga secara tidak langsung otak kita sudah terpengaruh oleh norma yang menyalahkan pelakornya. Sehingga yang berjalan di otak adalah mengamati sesuatu yang tidak baik dahulu, termasuk kaitannya fisik,” tuturnya terkait kasus pilot yang viral kemarin.
Lebih lanjut, menurutnya, selingkuh merupakan hal yang bisa bersifat repetitif apabila memang sudah jadi karakter pelakunya. Hal ini berkaitan dengan gangguan kejiwaan yang ia alami terutama kaitannya dengan dorongan seksualitas.
Namun, apabila bentuknya kekhilafan sementara, pelaku cenderung bisa berubah untuk tidak melakukan tindakan itu kembali. Sehingga, tidak semua kasus perselingkuhan dalam pernikahan berakhir pada perceraian.
“Jadi, kalau pelaku ini punya permasalahan kejiwaan memang tidak sekadar komitmen ulang tapi perlu terapi ke psikolog. Namun, jika memang menimbulkan luka batin yang membuat hubungan tidak harmonis dalam jangka panjang, perceraian memang sering jadi jalan yang dipilih,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pengalaman Nekat Mengundurkan Diri dari CPNS karena Gajinya Nggak Cukup Membayar Cicilan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News