Bekerja bahkan menetap di Jogja masih menjadi pilihan bagi warga Surabaya, meski upah yang diberikan jauh lebih murah. Di sisi lain, Jogja menawarkan suasana tenang dan lingkungan yang mendukung untuk berkembang.
Job seeker setelah terkena PHK
Tahun baru berganti, tapi ada saja masalah yang harus dihadapi oleh Dea* (23). Segala rencananya harus berubah karena kabar tak mengenakkan yang ia terima. Februari 2025, Dea terkena layoff padahal ia baru saja mendaftar kuliah.
Sebetulnya, ia sudah punya perencanaan selama setahun ini jika tidak terkena layoff. Dea bisa membiayai kuliahnya sembari bekerja. Bahkan di akhir tahun kemarin, projek kecil-kecilannya berjalan lancar, sehingga ingin ia teruskan.
Namun, hidup memang kadang-kiding, sebab apa yang direncanakannya jadi berantakan. Belum selesai soal putus kerja, ia juga putus cinta. Pengalamannya menggambarkan jelas paribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.
“Saya nggak tahu bisa lanjut kuliah apa nggak, project saya bisa jalan apa nggak, semuanya semburat,” kata perempuan asli Surabaya itu, Senin (17/2/2025).
“Lak jare konco-koncoku, yoman. Yo opo maneh (kalau kata teman-temanku, yoman. Ya sudah, mau bagaimana lagi),” lanjutnya.

Alih-alih berdiam diri, Dea memilih lebih rajin mengirim lamaran kerja. Semua peluang ia coba, salah satunya di Jogja. Secara bersamaan, ia juga mendapat panggilan wawancara di Surabaya. Setelah ia coba keduanya, Dea mengalami kebimbangan.
“Kalau gaji proper buat hidup ya ayo aja, tapi kalau lihat dari UMR Jogja sepertinya harus mikir dua kali ya hahaha,” ucapnya.
Jogja menawarkan sesuatu yang tak ada di Surabaya
Terlepas dari UMR Jogja, Dea tak memungkiri jika Jogja adalah tempat yang bagus untuk membangun relasi. Sebagai pekerja di bidang industri kreatif, Dea bisa mendalami berbagai budaya maupun kesenian, sebab yang dia tahu, banyak agensi kreatif maupun galeri di sana.
“Dari segi ‘nyeni’ sejujurnya Jogja keren banget. Banyak orang-orang yang menekuni seni, tempat-tempat bersejarah yang masih terjaga dan bisa dikunjungi, begitu juga dengan alamnya,” ujar Dea.
“Tapi kalau mau realistis, sesungguhnya untuk level staf buat kerja di Jogja itu cukup ketar-ketir. Apalagi, untuk merantau dan dapat gaji UMP,” lanjutnya.
Barangkali, kata Dea, untuk sebagian orang persoalan gaji tak jadi soal. Hanya saja, setiap orang pasti memiliki alasan yang berbeda. Misalnya dari segi kapasitas dan kebutuhan orang tersebut. Oleh karena itu, Dea merasa butuh waktu lama untuk mempertimbangkan.
Hati kecilnya pun bilang ingin melanjutkan mimpi. Dea ingin berkembang dan banyak belajar soal industri kreatif di Jogja. Meskipun dalam perjalanannya serba tak pasti, tapi ia merasa lega sebab setidaknya sudah pernah mencoba.
“Saya nggak tau bakal kerja lama di Jogja apa secukupnya saja. Mari dilakoni wae, semua ini terjadi karena wes kadung, ya toh?” ucap Dea.
“Ya saya minta doanya saja, semoga keberangkatan saya ke Jogja ini nggak cuman memberi saya pengalaman tapi juga cuan, amiin,” lanjutnya.
Alasan pindah dari Surabaya ke Jogja
Pindah dari Surabaya ke Jogja
Nyatanya, keputusan tinggal di Jogja disesali Salsa (23). Perempuan asal Surabaya ini sudah 6 tahun tinggal di Kota Jogja. Ia bersama keluarganya memutuskan untuk menetap di sana. Mulanya, mereka berpikir jika kehidupan di Jogja akan lebih tentram dibandingkan Surabaya. Nyatanya tidak demikian.
Salsa pindah dari Surabaya ke Jogja pada tahun 2019. Saat itu ia diterima menjadi mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mulai kost di sekitar kampusnya. Setelah lulus, ia memilih tidak langsung balik, tapi bekerja di Jogja.
Untuk memenuhi biaya hidup, Salsa bekerja sebagai barista di salah satu kedai kopi. Dari sana, ia mendapat gaji sebesar Rp1,5 juta. Setelah posisinya naik sebagai kepala barista, ia bisa mendapat gaji sebesar Rp2,1 juta. Salsa bilang gaji barista di industri food and beverage (F&B) bisa lebih kecil lagi.
Menurut Salsa gaji tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia baru bisa menabung jika uangnya masih ada sisa. Itupun hanya sebesar Rp100 ribu hingga Rp200 per bulan. Karena pekerjaan barista kurang menjanjikan, ia pun memutuskan ganti pekerjaan di bidang lain.
“Walaupun pada akhirnya tetap sama saja, ‘apapun pekerjaanmu, selagi kamu kerja di Jogja ya nggak usah berekspektasi gajimu besar’,” ucapnya.
Slow living tak berlaku di kota
Jujur saja, Salsa merasa sedikit kecewa karena pindah dari Surabaya ke Jogja. Pada mulanya ia berpikir kalau kehidupan Jogja tidak terlalu sibuk seperti di Surabaya, tapi ternyata tidak jauh berbeda. Baik Jogja maupun Surabaya sama-sama macet. Sama-sama konsumtifnya.
“Slow living di Jogja tuh hanya berlaku di daerah pedesaan saja,” kata dia.
Pada akhirnya, besar kecilnya gaji tak hanya bisa diukur dari angka, tapi juga harus dilihat dari kebutuhan orang tersebut. Misalnya, kata Salsa, jika dia punya gaji Rp3 juta per bulan tapi masih punya tanggungan kepada keluarga, ya sama saja.
Termasuk dilihat dari cara orang tersebut mengatur keuangannya. Salsa sendiri biasanya akan mengukur kebutuhannya dari skala prioritas. Misalnya, 60 persen untuk kehidupan sehari-hari, 20 persen untuk bayar tagihan bulanan, dan 20 persennya lagi untuk dana darurat.
“Tapi sejujurnya cara ini masih belum bisa sepenuhnya aku terapin, karena yang awalnya aku terbiasa dapat gaji bulanan, eh setelah career switch gajiku dibayarkan mingguan,” ujar Salsa.
Pada akhirnya, Salsa bekerja menjadi tentor bimbingan belajar sehingga gajinya dibayar mingguan. Lagi-lagi nominalnya hanya cukup untuk uang makan dan membeli bensin. Oleh karena itu, Salsa punya rencana untuk bekerja di bidang media dan jurnalistik.
“Yang paling dekat dengan aku ya nulis, nulis, dan nulis jadi aku ingin jadi writer,” kata dia.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kerja di DIY dengan Gaji Rp3 Juta adalah Keistimewaan, Sulit Ditemui di Jogja yang Konon Istimewa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.