Sekar Krisnauli boleh saja usianya masih muda, namun jabatannya tak main-main: Ketua DPD Partai Golkar Kota Solo! Putri bungsu politisi senior Akbar Tandjung yang juga lulusan jurusan Jurnalisme di Boston University itu kini maju sebagai bakal calon legislatif untuk DPRD Kota Solo.
***
Helikopternya sebentar lagi mendarat ketika ia menyadari ada banyak orang berpakaian kuning di bawah sana. Tak lama setelah menapak tanah, sorak sorai orang-orang berbusana kuning itu nyaring terdengar, bersautan dengan suara baling-baling si burung besi yang bising.
Sayang sekali, belum sempat matanya melihat sosok-sosok berpakaian kuning itu, orangtuanya menutup wajah mungilnya dengan kain. Wajar, angin dan debu lapangan terbang dan hinggap tak menentu.
Beberapa detik kemudian, regu pengaman langsung mengarahkannya ke suatu ruangan. Alhasil, orang-orang berbaju kuning itu hilang seketika dari pandangan tanpa dirinya tahu siapa mereka sesungguhnya.
Kejadian itu masih membekas di ingatan Sekar Krisnauli Tandjung (26). Mojok siang itu menemui di kediamannya di Kecamatan Laweyan, Kota Solo. Ia menyegarkan kembali ingatannya atas peristiwa itu
Golkar sejak dini
Memang, putri bungsu mantan Ketua DPR RI Akbar Tandjung ini tak ingat betul detail kejadian saat dirinya masih TK itu: di mana ia mendarat, seremoni apa yang ia hadiri, atau kapan itu terjadi. Tapi yang pasti, tatkala dirinya remaja, Sekar mulai menyadari bahwa figur berpakaian kuning yang menyambutnya itu adalah orang-orang Partai Golkar.
“Saya pun sadar, ternyata pertemuan saya dengan Golkar sudah sedini itu,” kata Sekar, Kamis (22/6/2023), dengan tawa kecil dan pakaian batik kuning yang Golkar banget itu.
Malahan, kalau mau mundur lagi, Ketua DPD Partai Golkar Solo ini mengaku sejak umur tiga tahun dirinya sudah jadi “orang Golkar”. Ya, di usia sedini ini Sekar sudah hadir dalam Deklarasi partai berlambang pohon beringin itu di Stadion Utama Senayan, tahun 1999 lalu.
“Karena masih kecil, saya enggak terlalu ingat soal peristiwa ini. Tapi aku ada fotonya,” ujarnya dengan ramah.
Sosok Sekar memang sedang jadi sorotan akhir-akhir ini. Perempuan kelahiran 15 Juli 1996 yang khas dengan rambut pendek bob ini maju sebagai satu dari 50 bakal calon legislatif (bacaleg) DPRD Solo dari Partai Golkar. Ia akan bertarung di Dapil II Solo yang meliputi Kecamatan Laweyan. Majunya Sekar sekaligus jadi representasi anak muda pada Pemilu 2024.
Selain Sekar, dua kakaknya yang lain, Fitri Krisnawati dan Triana Krisandini sebenarnya juga turut meramaikan pemilu. Fitri maju sebagai caleg DPR RI untuk Dapil Sumatra Utara II, sementara Triana adalah caleg DPR RI Dapil Riau II. Sebagaimana Sekar, keduanya maju via Partai Golkar.
“Ini pertama kalinya anak Akbar Tandjung terjun ke politik, yang ketiga-tiganya sebagai pelaku,” kata Sekar.
“Hal ini mengingat baru kali ini saya berperan sebagai pelaku. Sebelumnya, saya memang sudah di politik tapi lebih aktif di belakang layar, seperti tim peneliti dan lain sebagainya.”
Penginnya, sih, jadi jurnalis perang!
Ibarat jalan hidup menjauhi takdir, pilihan yang Sekar Krisnauli ambil sebenarnya berbanding terbalik dari apa yang ia inginkan sebelumnya. Fyi, Sekar menamatkan program studi S-1 Jurnalisme di Boston University, AS.
Sebagaimana kebanyakan mahasiswa lain yang mengambil program studi tersebut, Sekar juga mengaku punya cita-cita jadi jurnalis. Lebih spesifik jadi jurnalis New York Times; dan spesifiknya lagi menjadi seorang jurnalis perang. Ya, jurnalis perang!
“Saya ‘tuh pengin ngerasain, misalnya, dikirim selama dua bulan ke Baghdad untuk meliput perang di sana, seperti yang dilakuin oleh Cristiane Amanpour. That’s a dream!” ujarnya bersemangat.
Tak tanggung-tanggung, untuk mewujudkan mimpinya itu, Sekar sampai harus belajar bahasa Arab ke Maroko pada 2016 lalu. Tercatat selama empat bulan lamanya, ia tinggal di negeri berjuluk “tempat matahari terbenam” ini untuk mengikuti kursus Elementary Modern Arabic.
Meski kenyataannya belum pernah diterjunkan langsung ke dalam perang—karena dalam kelakarnya: “di Maroko tidak ada perang”, sebenarnya ia sempat bergelut di dunia kepenulisan berita. Bahkan tak sebentar.
Selama di Maroko, misalnya, Sekar bekerja di media nasional bernama Morocco World News. Total, ia telah menulis 14 artikel yang terkait budaya dan gaya hidup. Misalnya, ia sempat meliput “hidden gems” terkait Ramadan di Kota Rabat, hingga kunjungan Michelle Obama yang menyumbangkan 100 juta dolar AS untuk pendidikan perempuan di Maroko.
Di Amerika pun, selama hampir dua tahun ia aktif menulis berita di The Daily Free Press, khususnya yang terkait isu-isu kampus. Artinya, passion Sekar dalam jurnalisme sudah mendarah daging. Tak terpisahkan satu dengan yang lain.
Belajar politik
Sayangnya, setelah lulus pada 2018 lalu, Sekar mengaku alami fase “pergulatan batin dalam hidupnya”. Alih-alih mencari kerja di luar negeri, katanya, ia malah lebih memilih pulang ke tanah kelahiran.
Namun, fase inilah yang pada akhirnya jadi tonggak awal pertemuannya dengan perpolitikan Indonesia. Sebab, tak lama setelah pulang, Sekar memutuskan bekerja sebagai Humas media mancanegara bagi Tim Kampanye Prabowo-Sandi di Pemilu 2019 lalu.
“Meski saya ke politik, mimpi-mimpi itu [menjadi jurnalis] belum saya kubur. Tapi yang ada di sini [dunia politik] sejauh ini yang akan saya optimalkan.”
Memang benar, awal pertemuannya dengan politik Indonesia adalah tatkala dirinya menjadi bagian Tim Kampanye Prabowo-Sandi. Namun, karier politik Sekar tidak berangkat dari nol. Selama berkuliah di Amerika pun, ia sudah aktif di politik.
Misalnya, Sekar bercerita, pada 2017 lalu dirinya bergabung bersama Tim Kampanye politisi Partai Demokrat Martin J. Walsh. Bekerja untuk kampanye media sosial sang politisi. Sekar turut berkontribusi dalam kemenangan Walsh sebagai Walikota Boston.
Kendati punya pengalaman di belakang layar, keputusannya untuk menjadi pelaku politik tidak hadir dalam satu malam. Butuh diskusi panjang nan alot serta momentum yang pas untuk bikin dirinya mantap bilang, “Oke, politik adalah jalanku!”.
Pulang ke Solo
Ia mengaku, keputusannya menetap di Solo pada 2020 lalu sebenarnya untuk membantu ibunya, Krisnina Maharani, dalam mengelola bisnis keluarga. Di Solo sendiri, Keluarga Tandjung punya tiga bisnis properti, termasuk dua di antaranya berupa penginapan dan satu yang lain berupa community space.
Singkat cerita, setelah setahun berjalan, bisnis yang Sekar kelola alami progres. Pada fase ini pula, tanpa ia duga datang tawaran dari start-up terkemuka yakni Tokopedia. Menariknya, di saat bersamaan obrolan mengenai Pemilu 2024 sudah riuh di antara kerabat, keluarga, dan koleganya.
Angin sepoi-sepoi pun menuju ke arahnya. Bujukan-bujukan untuk terjun ke politik sudah terasa di tengkuknya. Tapi atas beberapa pertimbangan, Sekar akhirnya lebih menerima pinangan Tokopedia pada 2021.
“Karena pada akhirnya, saat saya memilih Tokopedia nantinya bisa membandingkan, bagaimana mengelola bisnis, korporasi, dan politik,” ujarnya.
Maka tak heran, selepas resign dari Tokopedia, Sekar makin merapatkan barisan ke Partai Golkar. Ini mulai dari namanya yang masuk sebagai peserta Golkar Institute, terpilihnya dia sebagai Wakil Sekjen Angkatan Muda Pembaharuan Indonensia (AMPI)—sayap muda Partai Golkar, hingga amanah menjadi Ketua Penyelenggara HUT Partai Golkar ke-58 di Solo tahun 2022 lalu.
Hilirnya adalah sekarang ini, di mana Sekar menjadi satu dari 50 bacaleg Partai Golkar yang akan mengikuti Pemilu 2024 nanti.
“Sederhananya karena saya tinggal di Solo, kemudian ada kesempatan buat ikut politik elektoral di sini, akhirnya saya ambil jalan ini,” kata Sekar.
Kota yang penuh tantangan
Sekar meminum air dari gelasnya. Obrolan sudah berjalan setengah jam dan semakin intens. Ia sesekali menarik nafas dan sedikit menggeser posisi duduknya. Sorot matanya menajam, kalimat tegas pun keluar dari mulutnya:
“Jujur, sebenarnya saya deg-degan,” kata dia, saat Mojok menanyakan motivasinya maju sebagai Bacaleg DPRD Kota Solo.
“Solo ini besar, begitu juga dengan tantangannya,” katanya, menyambung.
Sambil meletakkan gelasnya, dengan nada serius Sekar mengaku “jiwa jurnalisnya” muncul saat memutuskan nyaleg: penasaran, sekaligus tertantang.
Ia penasaran lantaran baginya, Solo ini kurang berwarna. Dalam artian, tiap pemilu hanya ada satu partai yang merebut mayoritas kursi di parlemen kota yakni PDIP. Pada 2019 lalu, misalnya, PDIP meraih 60 persen kursi parlemen, 30 dari 45 total kursi—dan selalu konsisten. Sementara Partai Golkar mentok di angka 3—malah turun dari dua pemilu sebelumnya.
“Jujur, i’m curious, apa yang bikin partai tersebut mendominasi di Solo,” ujarnya, membuat kami saling menatap.
Namun, pada akhirnya rasa penasaran itu juga yang bikin ia tertantang untuk “setidaknya mendobrak dominasi” partai tersebut. Hal ini mengingat dalam beberapa kali pertemuannya dengan warga, ia mengaku bahwa masyarakat Solo sebenarnya menginginkan warna baru dalam politik—jangan merah mulu.
Masyarakat telah lama mengganggap Partai Golkar lama tertidur pulas, dan gagal memoles warna kuningnya di perpolitikan Kota Solo.
“Harus kita akui, Solo ini sudah ibarat kandang banteng,” kata dia, dengan nada bercanda meski tetap mempertahankan sorot matanya yang tajam.
“Tapi Golkar ini ternyata juga ditungguin sama warga buat ngasih warna baru. Jadi, ini adalah tantangan bagi saya,” tegasnya.
Buat anak muda, politik memang seram, tapi tidak suram
Selain mewarnai peta politik Kota Solo, Sekar Krisnauli juga mengaku motivasinya naik ke gelanggang politik untuk membuktikan bahwa anak muda masih eksis. Sekaligus, ia ingin memberi pesan bahwa politik itu sebenarnya seru.
“Saya ingin menunjukkan ke anak muda bahwa politik itu seru, asyik, tak sebobrok yang kalian lihat di TV,” kata dia.
Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa persepsi anak muda yang cenderung antipati terhadap politik adalah imbas dari partai politik yang terlalu berjarak dengan warga. Dalam artian, selama ini parpol sama sekali tak punya irisan ataupun menjalin kedekatan dengan masyarakat, khususnya anak muda.
Alhasil, anak muda akhirnya banyak mengonsumsi berita politik di TV maupun medsos, yang kebanyakan isinya berita korupsi, debat kusir wakil rakyat, ataupun skandal-skandal politisi. Sehingga, sekalipun muncul berita posisif soal politik, anak muda langsung menganggapnya sebagai pencitraan.
Padahal, mau tidak mau nasib anak muda di masa depan tergantung pada politik. Berbicara mengenai regulasi progresif seperti UU TPKS, kata Sekar, ini adalah produk politik. Begitu juga dengan UU yang ramai akan penolakan, seperti UU Cipta Kerja Omnibus Law hingga Revisi UU KUHP.
“Semua itu produk politik. Dihasilkan oleh kinerja politisi,” ungkapnya.
Sejauh ini, kata Sekar, sangat jarang politisi senior yang mau menggagas regulasi yang berpihak pada keresahan anak muda. Seperti kesehatan mental (mental health), kesadaran diri (self-awarness), atau perubahan iklim (climate change).
Maka kehadiran anak muda ke politik, selain memberi nafas baru, kata Sekar, sekaligus pemberi harapan bagi masa depan kaum muda yang selama ini terabaikan.
“Lantas, siapa yang bisa mengubahnya kalau bukan anak muda?” kata Sekar, melempar pertanyaan retoris.
“Oke, politik itu memang seram. Tapi ia tidak suram, kok,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi