Perempuan Pekerja dan Cita-cita Mereka

Perempuan Pekerja dan Cita-cita Mereka

Banyak orang masih kekeh menganggap perempuan sebagai figur yang ending-nya ya di rumah aja. Mengurus suami, anak, dapur, dan ranjang. Bekerja bukan sebuah pilihan yang tepat. Buat apa? Toh, segala kebutuhan sudah ditanggung oleh suami. 

Namun, rasanya kurang bijak jika sampai sekarang, stigma itu terus ditempelkan bagi kaum perempuan. Banyak perempuan-perempuan di luar sana yang berjuang tuk menghidupi keluarga maupun tengah berupaya meraih cita-citanya. Di tengah pandemi yang terus berlangsung, semangat mereka tak surut sedikitpun. Mojok.co memiliki kesempatan untuk berbincang bersama beberapa perempuan kuat nan tangguh itu.

Tiga peran Iin: istri, ibu, dan ojol

Bekerja dari rumah, menjadi aturan yang cukup bijak untuk mengurangi tingkat mobilitas di kala penyebaran virus covid-19 makin meningkat. Namun hal itu tak berlaku bagi Iin (37) yang tetap harus bekerja di luar rumah. Demi perut keluarga yang harus diisi, berdiam diri di rumah terus- terusan sama saja mematikan isi dompet. 

Beberapa tahun yang lalu, perempuan kelahiran Medan ini memilih untuk mengadu nasib di Yogyakarta. Berbulan-bulan ia hidup sebagai seorang pegawai cuci di salah satu Laundry dengan gaji yang tak seberapa. “Sedih banget kisah saya waktu itu, Mbak,” ucapnya diselingi tawa getir. 

Tapi, bukan Iin namanya jika ia berpasrah begitu saja dengan keadaan. Pada suatu hari selepas pulang kerja, tiba- tiba seorang teman menghubunginya. “Iin, ada lowongan ojek online nih! Situ kan jago naik motor.” 

Iin sumringah mendengar kabar tersebut, tak perlu membuang waktu lama perempuan yang saat ini telah memiliki tiga anak itu langsung mendaftar. Selang beberapa minggu, akhirnya ia mendapat jaket hijau kebanggaannya hingga kini. 

Tak ada yang menyangka, keputusan menjadi ojol ternyata mendatangkan banyak hal tak terduga di kehidupan Iin. Pekerjaan lebih terjamin, memiliki banyak teman, hingga bertemu sang pujaan hati yang kini telah menjadi suaminya. Perempuan itu tertawa malu ketika menceritakan pertemuannya dengan si suami sekitar satu tahun yang lalu. “Kami itu taaruf, mbak. Sama-sama pernikahan kedua, dan udah gak mau guyonan lagi. Seminggu kenal langsung nikah,” ucapnya. 

“Dulu kami sempet viral di kalangan Ojol, karena cinlok di grup,” ia tertawa lagi. Pernikahan dan kehidupan barunya selalu ia syukuri tanpa kurang satu halpun. Suami dan ketiga anaknya menjadi sumber kebahagiaan baru bagi Iin. 

Walau bertambah peran mengurus rumah, sampai sekarang Iin tetap mempertahankan pekerjaan yang dicintainya, pekerjaan yang mengantarkan Iin pada kehidupan barunya. “Setiap pagi saya bangun jam 5, ngurus rumah dulu. Biasanya jam 10 baru bisa berangkat ojol. Pulang cukup sore ajalah, mbak. Ngurus rumah lagi,” ucap Iin. 

Dalam menjalani kesehariannya, perempuan berlogat Sumatra itu selalu berbagi waktu kerja dengan suami. Iin akan selalu berangkat mencari pelanggan setelah semua pekerjaan rumah selesai, sedangkan sang suami berangkat sedari pagi hingga malam hari. Tak dapat dihindari, terkadang rasa khawatir muncul ketika dirinya dan suami akan berangkat kerja di tengah situasi pandemi yang tak kunjung usai. 

Tuntutan pekerjaan yang harus selalu berada di luar, bertemu orang banyak pun tak bisa ia hindari. “Suami saya juga Ojol, saya juga Ojol. Ya, sama-sama beresiko, tapi gimana lagi, rejekinya dari sana,” ucapnya. 

Iin menghela napas panjang, “Cuma bisa saling jaga aja. Tiap malem saya bikinkan jamu dari empon- empon, kalau vitamin terlalu mahal,” 

Selain itu, untuk menyiasati risiko terpaparnya virus dari orang lain, Iin hanya mengaktifkan fitur pengantaran makanan. “Biar nggak kontak langsung sama penumpang, Mbak. Ngeri juga, kasian anak di rumah,” ujarnya.

Iin tak mau disebut sebagai pencari nafkah keluarga, melainkan sekadar membantu suami untuk mendapatkan uang tambahan, semampunya. “Saya bukan pencari nafkah, karena suami lah yang memberi kami nafkah,” tegas perempuan berjilbab itu, suaranya amat yakin.

Iin percaya, tak ada yang salah dengan apa yang sudah ia usahakan selama ini. Walau harus berbagi waktu dengan tiga peran sekaligus, ia tak pernah mengeluh. Mungkin, dirinya memang bukanlah seorang ibu yang bisa setiap saat mengawasi anaknya di rumah. Tapi ia percaya, tak ada seorang perempuan yang salah jika memilih untuk ikut bekerja. 

“Bagi saya, yang terpenting, urusan anak, rumah, dan suami tetap jadi prioritas. Saya begini juga supaya anak hidup enak, jangan sampai jadi ojol lah. Panas dan capek.” 

Pekerja kantoran yang ingin lebih sekadar UMR Jogja

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh databoks.katadata.co.id per 28 Mei 2021 tercatat bahwa proporsi perempuan yang menjalani perawatan covid-19 di Indonesia lebih banyak dibanding dengan laki-laki. Data yang disediakan menunjukan, hingga bulan Mei angka perempuan yang dirawat karena terinfeksi covid-19 mencapai 51,3%, sedangkan presentase laki- laki hanya sebesar 48,7%. Kondisi serupa juga terlihat pada presentase total kasus positif yang lebih didominasi oleh perempuan yaitu sebanyak 51,2%. 

Perempuan pekerja kantoran. Foto ilsutrasi oleh Arlington/Unsplash.com
Perempuan pekerja kantoran. Foto ilsutrasi oleh Arlington/Unsplash.com

Apalagi menurut penelitian yang dipublikasikan oleh theconversation.com, perempuan cenderung rentan mengalami kondisi Long Covid atau berbagai gejala yang masih dialami setelah orang berhasil sembuh dari infeksi Covid. 

Riskannya perempuan terhadap virus Covid ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para perempuan yang tetap harus berada di luar, khususnya pekerja kantoran. Sebut saja Vidia, ia merupakan salah satu pekerja kantoran di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bidang yang ia geluti memang tidak tergolong kedalam sektor prioritas untuk WFO, tapi apa boleh buat, seluruh pekerjaannya hanya bisa dilakukan di kantor. 

“Iya, kami semua masih ngantor kok seperti normal,” aku perempuan berusia 20-an tahun ini. Dirinya selalu masuk dari pagi hingga menjelang sore dalam enam hari kerja. Adapun hari kerja yang dilakukan secara sistem shift hanyalah hari Sabtu. “Karena jam kerjanya lebih pendek dan pekerjaannya sedikit,” ucapnya.

Jujur, Vidia selalu merasa ketar-ketir saat berada di tempat kerja. Protokol kesehatan ketat selalu jadi andalan, ia tak pernah mau mencopot masker saat di kantor, walau terkadang gerah. 

“Ngeri! Apalagi satu mejaku tu sekitar 4 orang, gamau ah copot masker. Paling kalo cuma kepepet mau makan atau minum,” katanya. Vidia melanjutkan, beberapa minggu kemarin teman sekantornya positif, sekitar tiga orang. 

Kondisi kantor langsung serba panik, selang satu hari akhirnya dilakukan tes swab massal. Beruntung, hasil Vidia negatif tapi tetap saja ia merasa cemas karena takut membawa virus bagi orang rumah. “Apalagi di rumah ada eyangku,” ujarnya sambil menghela napas. 

Tak hanya itu, pernah suatu ketika ia kontak langsung dengan teman kantornya yang ternyata positif. “Aku tugas buat ngasih dokumen ke dia kan, jadinya ketemu di ruangan. Eh besoknya, dia ngabari kalo positif.”

Vidia sadar kalau dirinya tergolong orang yang berisiko tinggi untuk terkena ataupun sekadar pembawa virus. Pokoknya beban rasanya! 

Pulang kerja, dia tidak cuci tangan, tapi langsung mandi. Keseharian Vidia sedikit berubah semenjak harus selalu pergi ke kantor di tengah pandemi yang tak kunjung usai. Jika biasanya barang yang wajib dibawa perempuan itu make up dan skin care, selama pandemi ini Vidia menjadikan hand sanitizer sebagai barang wajib selama ngantor. Kalau katanya, pokoknya semprot sana-sini, dan harus serba higienis! 

Selain menerapkan prokes ketat, Vidia tak lupa untuk menjaga mood nya agar tetap bahagia setiap hari. Salah satunya dengan menambah porsi makan, terkhusus makanan yang enak- enak. “Udah nggak peduli persoalan diet lagi, yang penting bahagia biar imunitas naik! Diet mah bisa dipikir belakangan,” ucapnya. 

Umur kami berdua memang tak terpaut jauh, tapi pengalaman yang dimiliki oleh Vidia sangat jauh di atas saya. Dulu, Vidia sempat merantau untuk melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Tak lama memang, hanya sekitar 3 tahun menjadi anak rantau sebelum memutuskan kembali ke Jogja untuk bekerja. “Setelah pandemi selesai, saya punya keinginan buat cari pekerjaan yang lebih baik, mungkin kembali lagi ke Jakarta yang UMR nya lebih tinggi,” ungkapnya. 

Keinginan itu bukan serta-merta ia tidak bersyukur dengan gaji yang diterimanya sekarang, tapi merasa miris dengan UMR Jogja yang cenderung rendah. “Ah, saya sebagai orang Jogja nggak ngerasa Jogja murah-murah amat, mungkin murah kalau makan tiap hari angkringan- telur-geprek,” terdengar suara Vidia dari ujung telepon sambil cekikan.

“Biar bisa bantu orang tua juga, gaji sekarang cuma cukup untuk tabungan dan kebutuhan diri sendiri.”

Mahasiswa yang bekerja untuk jadi pengusaha

Beberapa hari setelah berbincang dengan Vidia, saya iseng mengirim sebuah pesan kepada teman semasa SD. Basa-basi tentang kabar, perkuliahan, asmara, hingga pekerjaan. Sampai suatu waktu, obrolan kami beralih pada satu teman kuliahnya yang terkenal masih muda namun memiliki banyak pengalaman kerja. 

Kerja part time jadi pilihan mahasiswa untuk menimba ilmu di dunia kerja. Foto oleh Brooke Cagle/Unsplash.com

Saya kemudian menghubunginya. Namanya, Ananda Lutfia Ayu atau biasa dipanggil dengan Ayuk. Kata teman saya, Ayuk ini tipe perempuan mandiri sejak masih duduk di bangku sekolah. Pindah kerjaan dari kantor ke kantor pun ia lakoni untuk mencari pundi rupiah serta meningkatkan kapasitas diri. 

“Aku masih mahasiswa sih, tapi emang udah dari dulu pengen mandiri. Minimal, bisa bayar kebutuhan sendiri,” ucap Ayuk mengawali percakapan kami. Kebutuhan sendiri yang dimaksud juga mencakup biaya perkuliahannya selama ini.

Perjalanan kerja Ayuk dimulai dari dirinya membuka jasa sewa kamera yang dimiliki. Ayuk semasa SMA melihat peluang dari tren banyaknya orang yang tertarik dengan dunia fotografi. “Kebetulan dulu aku punya kamera DSLR, ya aku sewain aja,” ujarnya.  “Tapi ya namanya tren, nggak bertahan lama sih,” imbuhnya. 

Setelah tren kamera mulai redup, ia mulai beralih ke bisnis jual beli hijab secara online. Bisnis Ayuk di kala itu cukup ramai dan menguntungkan, sebab ia tergolong penjual yang cekatan melayani pembeli. Kuncinya satu, senang. 

Ketika melakukan sesuatu didasari rasa senang, pasti akan maksimal tanpa mengeluh kurang ini itu. Namun, sayangnya, bisnis kecil-kecilan tersebut harus vakum sementara, karena ia tergiur dengan berbagai lowongan pekerjaan. “Realistis aja, kalo kerja sama orang lebih terjamin mbak, gaji dan lain sebagainya,” ujarnya sambil tertawa.

Ayuk mengaku, selama ia bekerja sudah sekitar tiga kali pindah kantor. Tak ada alasan pasti, hanya ingin mencoba hal dan atmosfer baru. Walau, pekerjaan yang ia geluti tak jauh-jauh dari bidang admin dan kreatif. “Sengaja sih buat ambil itu, buat modal ilmu buka usaha lagi,” ujarnya.

Rupanya ada alasan tersendiri mengapa dia kekeh untuk mencari pekerjaan di tengah kesibukan kuliahnya dan pandemi ini. Sedari kecil, dirinya memiliki cita- cita untuk jadi pengusaha. Pengusaha apapun, yang penting bisa kerja tanpa harus merasa ketergantungan dengan orang lain. 

Selain sebagai biaya hidup dan kuliah, uang yang didapat dari hasil kerja ia sisihkan sebagai modal membangun usaha di masa depan. Pekerjaan yang diambil pun tak jauh-jauh dari sektor usaha, agar ia bisa mendapat ilmunya langsung dari lapangan.

Sebagai seorang perempuan, Ayuk menyadari betul satu kekhawatirannya di masa depan nanti, yaitu menikah. Ketika Ayuk menikah, mungkin kehidupannya tidak akan se-bebas sekarang, untuk bekerja di luar pun ia berpikir dua kali. 

“Cita-cita ku nanti, setelah menikah bisa bangun usaha sendiri. Biar aku tetep bisa kerja, tapi waktu ku buat rumah nggak banyak kesita. Makanya dari sekarang aku coba buat kerja dulu, cari uang dan ilmu untuk modalku nanti,” ucap perempuan asal Semarang itu.

Elsa, karyawan muda yang cita-citanya jadi tentara

Elsa adalah teman baru saya. Kesehariannya bekerja sebagai karyawan administrasi salah satu retail di Kota Semarang. Meski pandemi, mau tak mau dirinya tetap berangkat ke kantor setiap hari. Walau tak ada perubahan jam ataupun hari kerja, namun ia sangat bersyukur karena kantornya memiliki aturan yang sangat ketat perihal protokol kesehatan. “Di ruangan kadang aku bener- bener sendiri, soalnya yang lain nyebar,” ucapnya. 

  Elsa, menjadi kasir sambil mengejar meraih cita-citanya. Foto ilustrasi Fikri Aziz/Unsplash.com

Seketat apapun aturan prokes yang dimiliki, kantornya sempat kecolongan juga. “Tempat kerjaku ada 5 yang positif, salah satunya ketularan pegawai cabang sebelah. Cabang sebelah aja sebagian karyawannya kena semua,” Elsa menceritakan, gara- gara kejadian itu ia langsung karantina mandiri di rumah. Hasil tes nya memang negatif, tapi perempuan yang juga pernah menjadi ojol itu sempat mengalami anosmia selama sepuluh hari. 

“Takut banget aku, bukan takut ke akunya. Tapi, takut nularin keluarga,” ujar Elsa.

Akan tetapi, ia bersyukur karena pekerjaannya sekarang tidak terlalu riskan dibandingkan pekerjaan yang pernah ia ambil selama satu tahun lamanya, “Aku dulu di bagian kasir, takut banget. Ketemu banyak customer, beruntunglah udah pindah bagian.” 

Dibalik segala kerja kerasnya, ada satu cita-cita yang ingin ia capai, menjadi tentara.  Bahkan, ketika Elsa telah mendapat pekerjaan pun, ia tetap berusaha menggapai cita- citanya. “Saya lulusan SMK, tapi sekarang kuliah lagi. Kalau udah dapet gelar S-1, baru daftar tentara,” ucapnya penuh semangat. 

Cita- citanya terinspirasi dari ayahnya yang menjadi tentara. “Pokoknya pengen kayak papa,” katanya.

Dulu setelah lulus SMK, Elsa sebenarnya telah mendaftarkan diri dalam seleksi tentara. Latihan fisik bersama teman segeng nya pun telah ia lakoni supaya lolos. Tapi sayang, dari lima orang dari gengnya semasa SMK itu hanya dialah yang tidak lolos. “Dari temen gengku, cuma aku sendiri yang perempuan, tapi aku sendiri juga yang nggak lolos,” ucapnya sambil tertawa getir. Ketidaklolosan Elsa membuatnya merasa kecewa, semua tes telah berhasil ia lalui namun hanya satu yang gagal: berat badan.

“Aku gagal gara-gara aku kurus dan kecil, bisa dibayangin ga sih kesel nya kayak apa??” Elsa mendengus kesal. 

Kegagalan yang dialami membuat ia ketar ketir dengan berat badannya yang hingga sekarang tak kunjung naik. Makan banyak, susu, vitamin, hingga suplemen pun telah ia lakoni agar beratnya naik, tapi sama saja selalu mentok di angka 45 kg. 

Saya malah tertawa mendengar cerocosan teman saya itu. “Aku sekali minum obat cacing, beberapa bulan setelahnya langsung naik sepuluh kilo,” kata saya.

“Hah! Apalagi obat cacing, rutin 6 bulan aku,” balasnya lagi, saya makin tertawa terbahak- bahak. Hadeh, dipertemukan dengan Elsa membuat saya harus bersyukur karena punya body baru segede gentong. 

Selain berat badan, ada hal lain yang dikhawatirkan Elsa yaitu dukungan. Banyak teman Elsa yang mendukung, tapi tak sedikit pula yang mencemooh. “Emang bisa jadi tentara? Pasti gagal lah!” ujar Elsa meniru ucapan temannya semasa sekolah dulu. Tak hanya itu, keluarganya pun juga khawatir jika Elsa memilih untuk menjadi tentara seperti ayahnya. “Berat dan capek, nak,” ucap Ayahnya beberapa waktu lalu.

Tapi, Elsa tak pernah putus asa, segala ucapan yang ia dapat selalu dijadikan motivasi. Elsa sadar, sebagai seorang perempuan cita-cita yang dimiliki memang cukup berat. Apalagi sebenarnya ia berkeinginan menjadi tentara yang diterjunkan sebagai bala bantuan perang ataupun perbatasan. Namun, lagi- lagi Elsa cukup menyadari bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Ada rasa ragu di dalam benak Elsa tuk melanjutkan cita-cita yang pasti akan sedikit menganggu langkah selanjutnya kelak, ketika sudah menikah. 

Menurutnya, cita-cita yang dimilikinya sudah pasti membuatnya tidak maksimal berperan sebagai seorang istri ataupun ibu. “Ya, aku sadar cita-citaku membuatku lebih berat memposisikan diri sebagai seorang perempuan. Tapi prinsipku sekarang, tetap melakukan yang terbaik untuk meraih apa yang sudah di depan mata. Bukan malah berhenti karena ketakutan yang belum pasti terjadi,” ucapnya mengakhiri perbincangan kami.

Menjadi Kasir di Kala itu, Pekerjaan yang Riskan bagi Elsa. Sumber: Fikri Aziz/Unsplash.com

Exit mobile version