Self harm atau self injury menjadi salah satu jenis gangguan mental yang rentan dialami oleh kelompok remaja. Lebih-lebih kelompok usia yang memasuki fase-fase quarter life crisis.
Kasusnya memang cukup mengerikan. Karena dalam situasi tertentu, seorang penyintas memiliki obsesi untuk melukai diri sendiri, mulai dari menyayat tangan dengan benda tajam, membenturkan kepala ke tembok atau benda-benda keras, atau apapun yang bisa memicu luka dan rasa sakit pada diri sendiri.
Kepada Mojok.co, dua orang penyintas bersedia memberikan pengakuannya perihal penyebab mereka memiliki kecenderungan tersebut hingga upaya yang mereka lakukan untuk sembuh.
Trauma masa lalu dan lingkungan yang toxic
Rabu, (7/7/2021) sekitar pukul 22.00 WIB, saya sedang asik-asiknya menonton We, film pendek garapan Arco Tenriyagelli berkolaborasi dengan Juang Manyala, Cholil Mahmud, dan Gardika Gigih. Baru menyimak sampai menit ke lima, sebuah panggilan tiba-tiba masuk di smartphone saya. Melihat nama si penelepon yang terpampang di layar, saya langsung bergegas menyalakan lampu, mengambil headset, dan beberapa saat harus bingung mencari sebungkus rokok karena lupa menaruhnya di mana.
Malam itu saya memang ada janji dengan *Gadis (22) untuk ngobrol-ngobrol mengenai kecenderungan self harm yang dia alami selama ini. Sebenarnya kami sempat sepakat untuk bertemu di Semarang, seturun saya dari Gunung Prau. Tapi karena tiba-tiba pemerintah menetapkan PPKM Darurat, alhasil saya gagal mendaki dan otomatis kami pun batal bertemu.
“Lewat telepon aja nggak apa-apa, sih,” ucap Gadis saat saya menanyakan apakah dia bersedia jika saya wawancarai lewat sambungan telepon. Lalu kami sepakat untuk ngobrol-ngobrol pada Rabu malam.
“Maaf, ya, baru bisa nelpon jam segini. Tadi ngelarin revisian dulu, nanggung tinggal dikit,” ucapnya dengan terbatuk-batuk. Pukul 20.00 WIB sebelumnya saya mengirim pesan singkat kepada Gadis, kira-kira pada pukul berapa dia bisa dihubungi. Namun hingga 15 menit berlalu Gadis masih belum merespons. Saya pun mengirim pesan susulan agar Gadis langsung menelepon saya sebagai sinyal kalau dia sudah senggang. (Antisipasi kalau saya ketiduran).
Kami kemudian sepakat untuk beralih ke panggilan video. Lalu Gadis mulai bercerita kepada saya perihal trauma masa lalu yang membuatnya menjadi seorang penyintas self harm.
“Aku mulai kenal self harm itu udah sejak SMA. Tapi dulu itu masih belum yang pakai pisau gitu-gitu. Masih apa ya, paling-paling jedotin kepala ke tembok,” Cerita Gadis terjeda sejenak lantaran terbatuk-batuk. “Maaf banget ya, kak, aduh lagi batuk pilek emang belakangan ini.”
Melihat wajah Gadis yang memang tampak pucat dan batuk-batuk yang sesekali menyerangnya, saya bermaksud untuk mengakhiri obrolan malam itu; menyarankan Gadis untuk lekas istirahat. Namun berkali-kali Gadis meyakinkan kalau dirinya baik-baik saja. Saya jelas hendak membantah, tapi saya urungkan ketika Gadis bilang kalau malam itu mumpung mood berceritanya sedang cukup baik.. “Kalau udah mood malam ini, ya nggak tahu juga besok-besok masih apa nggak,” katanya. Maka obrolan pun kami lanjutkan.
“Dulu pas SMP sering banget dapat kekerasan fisik dari Bapak. Bapak itu kan maunya aku harus nurut. Pokoknya harus jadi seperti apa yang dia mau. Kalau nggak nurut gitu mesti kena pukul, kak. Apa aja bisa dipukulin ke aku. Pernah juga kepalaku dipukul pakai benda apa ya aku lupa, cuma ada besi-besinya gitu lah. Badan juga sering kena. Gagang sapu mah udah makanan sehari-hari, ya. Belum dikata-katain kasar. Berasa jadi anak tiri,” ujarnya dengan mata yang tidak fokus, lebih sering menatap nanar langit-langit kamarnya.
Kesehatan Mental dan Mitos tentang Psikologi
“Kadang malah bukannya aku yang cari gara-gara. Bapak sendiri yang punya masalah, cuma pelampiasannya di aku. Nah, yang aku benci banget dari ibu, dia cuma diem, nggak belain anaknya.”
“Kalau ibu diem bisa jadi karena ngerasa nggak berdaya di hadapan suami. Pengin belain tapi takut. Eh gitu nggak, sih?” potong saya.
Mendengar ucapan saya, Gadis tersenyum sinis. Usai membetulkan letak kerudungnya, ia menjelaskan, alih-alih membela, ibunya bahkan turut mengata-ngatainya dengan ungkapan kasar kalau dia kedapatan berbuat salah, sekecil apapun kesalahan yang dia lakukan.
Sejak masa-masa SMP tersebut, Gadis mengaku sudah merasa sangat depresif. Dia bahkan sempat kabur dari rumah selama tiga tahun, melanjutkan SMA dengan tinggal bersama sepupunya. Tapi tinggal bersama keluarga sepupunya ternyata justru membuatnya semakin tertekan dan pelan-pelan mulai mengenal self harm.
“Toxic semua lah. Di keluarga sepupu aku juga dapat tekanan terus. Dibilang anak nggak tahu diuntung lah, jadi beban lah. Terus dikekang banget. Mau ikut kegiatan-kegiatan ekstra nggak boleh, main sama temen izinnya sulit banget. Curigaan mulu bawaannya. Nganggepnya aku ini lemah dan nggak bisa jaga diri. Benci banget kalau ketahuan habis main sama temen-temen, pasti dituduh yang nggak-nggak. Sempet pulang lagi ke rumah waktu itu, pas kelas dua SMA, tapi sama orang rumah malah diginiin, ‘Ngapain pulang?’ Ya akhirnya balik tinggal ke rumah sepupu sampai lulus. Aku nggak punya pilihan,” ucapnya dengan mata yang tampak sedikit memerah.
Kondisi tersebut diperparah dengan pacar Gadis yang toxic. Overprotective, suka ngata-ngatain kasar kalau lagi marah-marah. Gadis, bolak-balik kena tampar pacarnya. Sampai kemudian ada satu titik yang membuatnya marah banget sama orang-orang, sedih yang itu sampai nyesek banget.
“Tapi entah kenapa nggak bisa aku lepasin. Akhirnya ku jedotin kepala ke tembok. Awal-awal emang sakit, pusing. Tapi lama-lama malah jadi kayak, nggak tahu ya, enak aja gitu. Setiap jedotin kepala ke tembok, aku kayak lupa sama pikiran-pikiran itu, jadi nggak marah dan sedih lagi. Eh akhirnya malah keterusan. Sekarang pelampiasannya malah sama gunting, cutter, silet, gitu-gitu lah, hehe,” tuturnya persis saat saya menghabiskan batang rokok kedua saya. Obrolan masih akan sangat panjang.
Tidak jauh berbeda dengan Gadis, narasumber kedua saya, *Akbar (24) juga menuturkan hal yang nyaris serupa. Saya bertemu dengannya sehari setelah menghubungi Gadis. Saya menemui Akbar di kosnya di sekitaran Rembang Kota, sekitar pukul 17.00 WIB. Dia mengaku baru mengenal self harm sejak masa-masa kuliah, akibat tekanan dari lingkungan sosialnya.
“Orang tua nggak pernah nuntut apa-apa. Tapi akunya aja yang ngerasa nggak berguna, akhirnya benci sama diri sendiri. Terus pelampiasannya ya gitu, nyakitin diri sendiri aja,” ungkapnya sambil menyesap Sampoerna Mild yang memang saya bawakan khusus untuknya.
“Sebenarnya dulu sejak SD sampai SMA aku itu jadi korban bullying. Karena ya selain aku ini culun, aku emang siswa goblok. Jadinya kan malah kayak idiot gitu ya. Makanya sering dibully. Sama temen sendiri, tapi paling parah sih kalau aku rasa-rasain malah dari para guru. Karena aku sering dibanding-bandingin sama temen-temen yang lebih pinter. Tetangga pun sekarang juga sering banding-bandingin sama temen-temen yang udah sukses,” sambungnya.
“Terus waktu kuliah aku mulai tambah overthinking. Kalau nggak salah pas semester tiga, aku udah mulai kayak mukulin kepala sendiri, gamparin muka sendiri kalau udah lewat tengah malem, sambil nangis-nangis sendiri di kosan. Takut bayangin masa depan. Eh ternyata beneran, masa depanku bener-bener suram. Jadi sarjana gagal yang hidupnya terlunta-lunta gini,” ujarnya.
Emosi Akbar agak kurang stabil ketika menceritakan bagian ini. Saya lalu mencoba menenangkannya dan memberitahunya bahwa tidak semua yang ia alami harus ia ceritakan kepada saya kalau itu terlalu menyakitkan untuk diingat. Tapi seperti Gadis, Akbar mengaku memang sedang ingin mengungkapkan isi hatinya. Maka dengan senang hati saya bersedia mendengarnya sampai tuntas.
“Aku depresi, bingung, takut, terus marah. Marah sama Tuhan yang nyiptain aku kayak gini, marah sama diri aku sendiri yang nggak guna blas ini. Mula-mula cuma gamparin wajah atau mukulin kepala sendiri. Tapi lama-lama kok kurang gitu rasanya. Akhirnya sekarang seringnya goresin silet ke tangan, kadang juga di area selangkangan, kadang juga di ketiak. Rasanya puas dan lega aja gitu,” akunya dengan tatapan mata kosong dan senyum getir yang menyiratkan keputusasaan.
Semakin sakit, semakin puas dan lega
Jarum jam menunjukkan pukul 22.45 WIB ketika Gadis bercerita tentang apa yang ia peroleh dari aktivitas melukai diri sendiri yang sudah bertahun-tahun dia lakukan. Dengan agak canggung Gadis menunjukkan bekas luka di lengan kanannya. Dia mengarahkan kamera smartphone ke luka-luka sayatan agar saya bisa melihatnya dengan jelas. Luka-luka yang masih baru. Ada tiga deret sayatan tipis, ditambah dua lagi dengan luka yang agak dalam.
“Ini baru aja beberapa hari yang lau,” ungkapnya saat menunjukkan bekas luka di lengan kanannya tersebut. Saya yang saat itu menenggak Kratingdaeng Redbull seketika tersedak. Dari layar terdengar Gadis tertawa pendek sebelum akhirnya berkata agar saya tidak terlalu kaget. Baginya itu adalah hal biasa.
“Kemarin ada masalah sedikit sama orang rumah. Akhirnya yaudah langsung cari-cari gunting,” tuturnya dengan mata yang tidak fokus.
Gadis kemudian menunjukkan bekas-bekas luka lama yang sudah memudar. Katanya, dia sebenarnya sudah tidak melakukan self harm selama lima bulan terakhir. Namun, karena belakangan ada beberapa hal yang membuatnya cukup ketrigger, alhasil dia kembali melakukan aktivitas mengerikan tersebut.
Salah satunya, dia merasa tertekan dengan sikap seorang cowok yang naksir dengannya dan berkali-kali mengajaknya menikah. Sementara Gadis merasa belum siap terikat dalam sebuah status yang serius. Dia masih ingin mengejar banyak mimpinya yang belum tercapai.
Lebih dari itu, dia tidak menyukai cowok tersebut. Namun, si cowok nekat menemui orang tua Gadis yang sialnya justru disambut sangat positif. Dan seperti yang sudah-sudah, Gadis selalu tidak berdaya di hadapan orang tuanya selain harus menurut.
Gadis mengaku, tiap kali merasa tertekan, marah, atau takut, ia secara naluriah pasti akan mencari-cari benda tajam di sekitarnya untuk melukai lengannya atau bagian tubuh yang lain.
“Luka sedalam dan sebanyak itu apa nggak sakit?” tanya saya setelah Gadis menyembunyikan lengannya.
“Sakit lah, kak, gilak! Perih. Tapi nggak tahu, pas baru disayat-sayat gitu sakit ya emang sakit. Tapi anehnya, justru semakin sakit, semakin dalam lukanya, aku ngerasa tenang dan lega banget gitu, kak. Mungkin karena ini sih, kan aku selama ini cuma bisa mendem. Kalau marah sama orang dipendem sendiri, takut atau lagi bingung juga dipendem sendiri nggak cerita ke orang lain. Karena nggak bisa marah ke orang lain, pelampiasannya ke diri sendiri pakai cara itu. Jujur, plong banget sumpah. Walaupun ya habis itu tetep aja kerasa sakit,” terangnya.
“Siapa aja yang tahu kamu suka begini?” tanya saya memastikan.
“Kamu sama ibukku sih, Kak,” jawab Gadis sambil merebahkan badannya.
“Respons ibu kamu gimana?”
“Biasa aja, sih. Malah pernah nih ya, aku ketahuan kayak gitu. Sama ibuk malah diginiin, ‘Yaudah kalau mau mati, mati aja sekalian, jangan nanggung!’ Parah sih,” tutur Gadis sambil menirukan cara bicara ibunya.
Dari pengakuan Gadis tentang ibunya itu, saya lantas menanyakan kepadanya, apakah dia sempat berpikir untuk bunuh diri? Gadis mangku tidak pernah terbesit di kepalanya untuk coba-coba bunuh diri.
“Takut sih kalau langsung menjurus ke bunuh diri. Kan ngelukain diri sendiri itu niatnya juga nyari ketenangan. Dan aku percaya kalau aku masih bisa sembuh, nggak gini-gini lagi seterusnya. Buktinya lima bulan terakhir ini masih bisa nahan,” ungkapnya yang saya respons dengan anggukan kecil.
Sementara dalam waktu yang berbeda, Akbar mengungkapkan bahwa aktivitas self harm membuatnya merasa amat sangat puas. Dia menunjukkan kepada saya beberapa benjolan di kepalanya. Seturut pengakuannya, benjolan-benjolan tersebut diperoleh seminggu lalu, setelah ia membentur-benturkan kepalanya sendiri ke dinding kos dan memukulinya dengan tangannya sendiri.
“Pusing ya pusing, sakit ya sakit, Ly. Kadang sampai berhari-hari pusingnya. Malah sering gitu tiba-tiba kepala nyut-nyutan. Padahal sebelumnya nggak diapa-apain. Lebih kayak efek jangka panjangnya ya mungkin. Sering dibentur-benturin jadinya udah jadi catu (luka) di dalem,” ucap Akbar dengan asap rokok mengepul dari mulutnya.
Akbar mengatakan, yang ia rasakan selama ini sih, puas dan lega. Soalnya ia merasa benci sama diri sendiri. Jadi kalau misalnya sedang overthinking, ia merasa dirinya sampah, nggak guna blas, atau misalnya gagal dalam suatu hal, akhirnya ya langsung nyakitin diri sendiri. Kalau nemu silet ya pakai silet, kalau nggak ada ya tinggal dipukulin aja nih kepala.
“Rasanya puas, puas banget. Gampangnya gini, kamu benci sama orang terus kamu pukulin sampai babak belur, mesti puas banget, to? Nah bedanya ini benci sama sendiri diri, sasarannya jadi ya diri sendiri,” imbuhnya.
“Overthinkingku udah di tahap, nggak berani suka sama orang. Aku kalau suka sama cewek mesti langsung mundur banter. Insecure, boy. Aku, dengan kondisiku yang kayak gini, nggak yakin bisa bahagiain doi. Jadi ya kalau suka cewek mesti ujung-ujungnya kupupus aja tengah jalan. Lagian, misalnya aku punya cewek, salah-salah malah dia yang jadi bahan pelampiasan. Kan malah ngeri,” tambahnya dengan setengah canggung.
Kalau soal bunuh diri, Akbar mengaku berkali-kali pernah berniat bunuh diri. Dia pernah mau lompat ke laut, menenggak racun, dan sekian model bunuh diri pernah terbesit di kepalanya. Namun, dia sendiri tidak tahu, entah kenapa sampai saat ini masih saja bertahan untuk terus hidup.
“Aku masih punya semangat hidup mungkin karena quotes-quotes di tembok-tembok itu sih. Tetaplah hidup walaupun nggak berguna, hahaha,” ujarnya sambil menyundut punting rokok di asbak. Obrolan kami terhenti sejenak lantaran azan magrib sudah terdengar bersahut-sahutan.
Berupaya sembuh tanpa bantuan psikolog atau psikiater
Beberapa kali terbatuk, Gadis melanjutkan pengakuannya sebagai seorang penyintas self harm. Sudah hampir tengah malam, saya sendiri sudah menghabiskan sekitar tiga batang rokok dan separuh Kratingdaeng Redbull sebagai upaya agar tidak terserang kantuk. Melihat kondisi Gadis yang sepertinya memang benar-benar tidak fit, saya mencoba memastikan bahwa ini adalah menit-menit terakhir obrolan kami.
Meski Gadis toh kembali menekankan kepada saya bahwa dirinya baik-baik saja dan masih bisa terjaga hingga subuh. “Aku juga sering insomnia, jadi sekeras apapun usahaku buat tidur, tetep aja baru bisa tidur nanti kalau subuh,” demikian pengakuannya.
Gadis mengaku, saat-saat ini dia memang berupaya untuk keluar dari kecenderungan buruknya tersebut. Meskipun dia menemukan ketenangan dan rasa lega dari melukai diri sendiri, namun lambat-laun dia mulai menyadari bahwa hal itu salah.
“Sekarang nyoba lebih aware sama diri sendiri aja sih, kak, self love. Gimanapun, diri aku, dengan segala hal buruk yang dialaminya selama ini nyatanya masih bisa bertahan dan berjalan sejauh ini,” akunya.
Saat ini Gadis, berupaya lebih memperbanyak syukur juga. Sering kalau lagi depresi banget ia langsung kayak ngomong sama diri sendiri, ‘ayolah kamu bisa kok, kamu kuat kok, kamu masih punya Tuhan kok’. Gadis nggak bisa egois, dirinya juga berhak sembuh, nggak bisa terus-terusan disakitin. Sekarang ia mau mencoba berani terbuka aja. Cerita ke temen yang emang bener-bener bisa dipercaya.
Kalau sedang marah ia mencoba melepaskannya. “Karena aku juga mulai sadar, kalau terus-terusan aku pendem sendiri, lama-lama tetep bakal jadi bom waktu nggak, sih? Aku nggak berani bayangin efeknya nanti. Sekarang aja aku udah kayak gini. Sama ini, mulai menyibukkan diri dengan aktivitas-aktivitas yang menurutku menyenangkan aja, sih. Kalau stress ya main, ketemu temen, cerita-cerita. Kalau dulu kan sulit banget buat membuka diri, karena takut mereka responsnya malah kayak ibuku, tak acuh, nggak peduli, apalagi sampai ngejudge,” sambungnya dengan pandangan menunduk.
Gadis mengungkapkan, dalam berupaya untuk sembuh itu, dia tidak berniat untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater. Dia malu seandainya ketahuan orang-orang terdekatnya. Maka sampai saat ini, dia hanya berkeyakinan kalau tekad kuat lah yang bisa membuatnya sembuh dengan upayanya sendiri.
“Aku juga masih nggak nyaman aja kalau nyeritain semua privasiku ke psikolog. Soalnya di hadapan psikolog kita pasti dikorek sedalam-dalamnya kan. Aku belum berani aja. Toh misalnya konsultasi, paling-paling solusinya balik lagi ke diri sendiri, gimana caranya mencintai dan menghargai diri sendiri, harus punya kemauan untuk sembuh. Jadi yaudahlah, aku yakin aku bisa kok sembuh tanpa harus ke psikolog,” ucapnya sambil mengulum senyum.
“Kalau soal insomniamu?” tanya saya setelah obrolan kami terjeda beberapa jenak.
“Oh itu, sudah lama, sih. Kalau itu aku biasanya pakai obat tidur. Misalnya udah capek banget ya beberapa malam nggak pernah bisa tidur, solusinya ya minum obat. Aku sadar juga kalau itu nggak baik, perlu diperiksain. Tapi emang dasar akunya yang bandel banget kalau harus urusan sama dokter hehehe. Emmm sekarang kan aku mulai punya kesibukan baru, ngajar, sambil pelan-pelan ngelarin skripsi. Semoga aja dengan kegiatan yang padet, capek, terus jadi gampang ngantuk, terus tidurnya bisa normal,” jawabnya dengan suara agak serak.
Saya pun mengakhiri obrolan sesaat setelah saya rekomendasikan kepada Gadis beberapa playlist lagu yang cocok untuk relaksasi, sambil mengatur jadwal ulang untuk bertemu, sekadar refreshing bersama.
Adapun untuk kasus Akbar mungkin sedikit berbeda. Alasannya tidak mau ke psikiater atau psikolog adalah karena mempertimbangkan biaya konsultasi yang menurutnya cukup mahal. Tapi tidak jauh berbeda dengan Gadis, Akbar beranggapan kalau berkonsultasi ke psikiater atau psikolog tidak menjamin dirinya bakal sembuh. Sebab, menurutnya, sembuh atau tidak pada akhirnya kembali ke diri masing-masing.
“Ke psikiater itu kan nggak cukup sekali aja, Ly. Katakanlah paling murah satu kali ketemu Rp 350 ribu. Lah kalau dijadwalkan satu bulan empat kali, Rp 350 dikali empat, Rp 1,4 juta. Gajiku aja cuma Rp 1,5 juta,” ujarnya usai menyesap batang rokok keduanya.
“Ya namanya juga kesehatan, apalagi ini urusannya jiwa, kan wajar kalau mahal. Dicoba aja dulu. Atau kenapa nggak coba bilang ke orang tua dulu? Barangkali disupport buat berobat,” ucap saya menyarankan.
“Ya iya sih, tapi kalau ke psikiater, ah kayaknya nggak dulu, deh. Kalau nggak ada hasilnya nanti kan sama aja. Kayak di film Joker, itu si Arthur Fleck ke psikiater juga cuma ditanya pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya cuma formalitas, nggak membantu sama sekali. Dan misalnya bilang ke orang tua, mesti nanti tanggapannya kayak aku ini ada-ada aja gitu, loh, pakai acara ke psikiater segala,” jawab Akbar sembari menghembuskan nafas berat.
Akbar sendiri mengatakan kalau dirinya juga benar-benar ingin sembuh. Tapi dia sendiri masih belum tahu harus apa dan bagaimana. Dia masih mencoba berdamai dengan takdir hidup yang harus dia jalani.
Konsultasi ke profesional disarankan jika lingkungan terdekat atau keluarga justru menjadi pemicu seseorang melakukan self harm
***
Seorang kawan membantu saya terhubung dengan Yulisza Syahtiani, S.Psi, M.Si, pengajar dari Universitas Az-Zahra, Jatinegara, Jakarta Timur. Menurutnya, faktor paling prinsip agar seorang penyintas self harm bisa sembuh adalah adanya social support dari keluarga atau orang terdekat. Namun jika lingkungan keluarga terlalu toxic dan justru menjadi pemicu seseorang melakukan self harm, maka ke psikolog atau psikiater jauh lebih direkomendasikan.
“Kita perlu tahu dulu gejalanya apa, agar bisa diputuskan terapi seperti apa yang bisa diberikan kepada klien atau penyintas. Karena beda gejala, beda juga pendekatan terapisnya. Kalau konsultasi, klien akan diberi beberapa jenis terapi untuk melatihnya dalam hal coping stress. Membantu klien untuk gimana caranya bisa sembuh dari gangguan mental yang dia alami. Kalau ke psikiater bisa diambil semacam tindakan medis juga. Itulah kenapa konsultasi ke psikolog atau psikiater sangat penting. Agar ada penanganan yang tepat,” ujarnya saat dimintai keterangan melalui sambungan WhatsApp.
Sementara itu, Dina Wahyunita, M. Psi, psikolog sekaligus founder DIKHANA Psychological Service Center Rembang menekankan bahwa seseorang jangan sampai takut untuk konsultasi ke psikolog atau psikiater. Bahkan sekalipun tidak memiliki gangguan mental. Sebab sakit jiwa, sebagaimana sakit fisik, kalau tidak ditangani dengan tepat maka risikonya bisa sangat fatal.
“Curhat ke psikolog atau ke psikiater itu beda dengan curhat ke temen. Kalau ke temen mungkin sekadar didengarkan, dimotivasi secara subjektif, salah-salah malah bisa dihakimi. Kalau ke psikolog atau psikiater responsnya lebih profesional. Ada solusi yang itu berbasis pada penelitian atas kasus-kasus sebelumnya, disesuaikan dengan kondisi klien. Jadi tidak asal ngasih solusi,” jelasnya.
“Ada banyak pendekatan. Satu misalnya, ada namanya Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau terapi kognitif. Yaitu pelan-pelan menjauhkan klien dari kebiasaan lamanya yang buruk dengan mengalihkannya untuk melakukan aktivitas positif sampai akhirnya pelan-pelan menjadi kebiasaan baru. Selain itu penting juga mengafirmasi positif diri sendiri. Berterimakasih, mengapresiasi diri sendiri, dan memaafkan diri sendiri atas apa yang sudah dilewati. Dalam kasus self harm yang melibatkan orang lain (dipicu oleh kemarahan kepada orang lain), ya bisa dimulai dengan memaafkan orang lain tersebut,” tegasnya.
***
Pukul 19.30 WIB, saya berpamitan dari kos Akbar setelah menjabat tangannya cukup erat. Dia mengatakan akan mempertimbangkan ajakan saya ke gunung lepas PPKM Darurat nanti. Dalam perjalanan pulang, saya sesekali menatap langit, membayangkan seandainya saya berada di posisi Gadis atau Akbar. Betapa berat, betapa tidak mudah. Dan saya seharusnya jauh lebih bersyukur karena tumbuh di tengah keluarga yang supportif dan lingkungan sosial yang sehat. Situasi yang memungkinkan saya tumbuh dengan keadaan mental yang baik-baik saja. Sambil melangitkan berdoa, semoga dua kawan baik saya itu bisa survive untuk sembuh.
*
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
BACA JUGA Seorang Pasien yang 12 Jam Tidur di Samping Jenazah dan liputan menarik lainnya di Mojok.