Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal

Pengalaman Melakoni Tradisi Mbrandu di Gunungkidul, Daging Murah dari Ternak Sekarat

Hammam Izzuddin oleh Hammam Izzuddin
13 Juli 2023
A A
Beranda Liputan
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kasus antraks di Gunungkidul memakan korban jiwa. Tradisi mbrandu disebut sebagai salah satu penyebab penularan antraks dari hewan ternak ke manusia. Mojok berbincang dengan warga Gunungkidul yang pernah melakoni tradisi tersebut.

***

Sebanyak 12 hewan ternak yang terdiri enam ekor sapi dan enam ekor kambing mati karena bakteri bacillus anthracis di Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Gunungkidul. Matinya hewan tersebut kemudian diduga yang menyebakan sebanyak 87 warga positif antraks. 

Dinas Kesehatan Provinsi DIY kemudian menyatakan tiga orang meninggal dunia setelah terlibat dalam tradisi mbrandu. Satu orang di antaranya ikut prosesi penyembelihan sapi yang sudah mati di Semanu, Gunungkidul. Dua lainnya diketahui hanya sekadar mengonsumsi dagingnya.

“Dua orang di antaranya meninggal bukan karena antraks, meski gejalanya sama dengan antraks seperti panas, demam dan pusing tapi bukan antraks,” kata Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembayun Setyaningastutie di kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DPKP) DIY, Kamis (06/07/2023).

Saat menyembelih, warga belum mengetahui bahwa sapi yang mati sakit tersebut terjangkit antraks. Warga baru mengetahui kondisi ternak tersebut sakit setelah ada pemeriksaan sampel tanah bekas tempat penyembelihan dan penguburan.

Baca Juga:

Pembukaan Pameran Gelar Olah Rupa dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO

“Kulonuwun Gunungkidul” Jadi Upaya Merawat Hubungan Sosial Lewat Olah Rupa, Bertamu Tak Sekadar Bertemu

11 Oktober 2025
Adoh Ratu Cedhak Watu jadi tema Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO

Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025: Menyerap Etosa Budaya Gunungkidul dalam Adoh Ratu Cedhak Watu

4 Oktober 2025

Mbrandu, tradisi untuk meringankan beban pemilik ternak

Tradisi mbrandu sudah jadi kebiasaan lama bagi warga Gunungkidul, bukan hanya di Semanu. Tradisi ini merupakan upaya meringankan pemilik ternak dengan membeli hewan sakit yang berpotensi mati atau dalam kondisi sekarat. Dalam kasus yang lain, seperti yang terjadi Mei 2023, warga melakukan mbrandu ketika ternak sudah mati terkubur baru kemudian warga menyembelih dan mengonsumsinya.

Purwanti (53) warga Tawarsari, Wonosari bercerita sudah lazim dengan tradisi mbrandu. Terutama sebelum tahun 2010-an. Saat itu, rumahnya yang terbilang dekat dengan pusat kabupaten Gunungkidul masih relatif banyak orang yang memelihara ternak.

“Tempat saya lumayan dekat kota. Dulu masih ada beberapa yang pelihara ternak, terutama orang-orang tua,” tuturnya.

Warga umumnya melakukan tradisi itu saat ada tetangga yang memiliki ternak sakit, mendam akibat keracunan pakan. Berpotensi mati tak termanfaatkan jika tidak segera disembelih.

Untuk hewannya, Purwanti mengaku lebih sering mbrandu kambing. Alasannya karena harga kambing memang relatif lebih murah. Sapi, meski kondisinya sudah sekarat biasanya harganya masih di atas Rp1 juta.

Ia ingat, setidaknya sudah tiga kali ikut mbrandu kambing di lingkungannya. Terakhir pada pada medio 2010 lalu, saat itu ia hanya ikut urun Rp40 ribu dan sudah bisa mendapatkan beberapa kilogram daging kambing.

“Ya setiap mbrandu itu saya makan sama keluarga, anak saya juga makan,” katanya.

Suasana salah satu pasar hewan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Dok Mojok.co/Sidratul Muntaha)
Suasana salah satu pasar hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta. (Dok Mojok.co/Sidratul Muntaha)

Untuk mekanisme harga, biasanya tergantung berapa orang yang ikut mbrandu. Umumnya harga seekor kambing dengan kondisi sakit jelang mati tidak sampai Rp300 ribu.

Iklan

“Misal harga Rp200 ribu, ada 10 yang minat ya bayar masing-masing Rp10 ribu. Dulu saya harga segitu untuk lima orang,” kenangnya.

Tradisi mbrandu hanya untuk hewan mendam

Sepengalaman Purwanti ikut mbrandu, tidak pernah sekalipun ia menyaksikan ada yang menyembelih sapi atau kambing mati. Hanya hewan yang sakit, terkhusus lagi sakit karena keracunan pakan atau mendam.

Masyarakat biasanya memberi makan hewan ternaknya dengan  pakan tebon atau jengki, sebutan untuk kulit ketela sisa panen. Jengki yang belum benar-benar kering biasanya berpotensi membuat kambing mabuk atau mendam, terkadang sampai sekarat.

Warga juga umumnya pilih-pilih, terbatas hanya untuk hewan yang kondisinya benar-benar mendam. Bukan yang punya kondisi sakit lain bahkan menular, apalagi sudah mati sebelum penyembelihan.

“Kalau kambing bukan yang mau mati karena penyakit. Kalau sakit nggak mau. Jadi maunya yang kayak karena keracunan pakan,” tegasnya. 

Purwanti mengatakan, mengonsumsi olahan daging kambing yang keracunan pakan kemudian segera disembelih sebelum mati tidak ada bedanya saat mengonsumi daging kambing yang sehat. Namun, berbeda kalau mengonsumi daging dari kambing yang sudah mati baru disembelih.

“Ayam mati saja rasanya sudah beda. Apalagi kambing,” imbuh Purwanti.

Kalau mbrandu sapi, umumnya warga enggan mbrandu karena harganya masih relatif mahal. Biasanya pemilik sapi sakit akan menawarkan ke pedagang daging.

“Sapi itu kondisi sakit masih laku Rp2 juta. Pedagang daging jual lagi, mesti untung banyak itu,” katanya.

Dulu masih jarang ada penyakit hewan

Ia menuturkan beberapa tahun terakhir tak pernah ikut mbrandu lagi. Jumlah orang yang memelihara ternak di kampungnya semakin berkurang. Jika ada pun, tidak ngarit atau mencari rumput sendiri di ladang untuk kebutuhan pakan sehingga jarang keracunan.

Menurutnya, dulu masih jarang ada penyakit hewan ternak yang beraneka ragam seperti sekarang. Sehingga warga cukup tenang untuk melakoni tradisi ini.

Meski relatif selektif dalam memilih hewan yang hendak untuk mbrandu, Purwanti mengaku ada beberapa kejadian yang cukup membuatnya miris terkait konsumsi daging. Pernah suatu ketika, anjing peliharaan keluarganya mati.

“Kayanya sih itu keracunan,” terangnya.

Namun, saat hendak menguburkannya, ada warga yang nembung untuk memanfaatkan dagingnya. “Tak gorenge wae,” ujar Purwanti menirukan ucapan warga yang meminta daging tersebut.

Melansir Sorot.co, daging anjing memang masih memiliki peminat di Gunungkidul. Seorang penjual olahan anjing sengsu (tongseng asu), pada 2018 lalu bisa menjual lebih dari 25 porsi sehari yang setara dengan seekor anjing usia delapan bulan.

Baca halaman selanjutnya

Tradisi mbrandu itu lazim dan tidak selalu buruk

Halaman 1 dari 2
12Next
Tags: daging kambingdaging sapigunungkidulmbrandu
Hammam Izzuddin

Hammam Izzuddin

Reporter Mojok.co.

Artikel Terkait

Pembukaan Pameran Gelar Olah Rupa dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO
Kilas

“Kulonuwun Gunungkidul” Jadi Upaya Merawat Hubungan Sosial Lewat Olah Rupa, Bertamu Tak Sekadar Bertemu

11 Oktober 2025
Adoh Ratu Cedhak Watu jadi tema Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Gunungkidul MOJOK.CO
Kilas

Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025: Menyerap Etosa Budaya Gunungkidul dalam Adoh Ratu Cedhak Watu

4 Oktober 2025
Pantai Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja. MOJOK.CO
Catatan

Jalan-jalan ke Pantai Watu Kodok Jogja Jadi Tak Menyenangkan karena “Orang yang Mencurigakan”

17 September 2025
5 Tips Aman Makan Sate Kambing yang Katanya Berbahaya
Pojokan

5 Tips Aman Makan Sate Kambing yang Katanya Berbahaya

11 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
sekolah muhammadiyah tak pakai islam terpadu mojok.co

Alasan Sekolah-sekolah Muhammadiyah Enggan Pakai Istilah 'Islam Terpadu'

Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.