Tradisi mbrandu itu lazim dan tidak selalu buruk
Warga Gunungkidul lain, Tri Marsudi (43) mengungkapkan bahwa mrandu sudah jadi tradisi biasa. Bahkan tidak hanya berkaitan dengan hewan yang sedang sakit atau sudah mati.
“Tidak harus hewan kena penyakit. Saat warga kumpul pengin makan daging, ya langsung mbrandu istilahnya,” paparnya saat Mojok hubungi, Rabu (12/7).
Para warga tinggal menghubungi pemilik ternak di lingkungannya, menentukan harga, lalu menyembelih dan mengolah bersama-sama. Meski tidak memungkiri, mbrandu lazimnya saat ada hewan ternak tetangga yang sakit.
“Kondisi sebelum mati lho ya,” tegas Kepala Dukuh Kedungpoh Lor, Kedung Poh, Nglipar, Gunungkidul ini.
Seperti pemaparan Purwanti, lazimnya hewan sakit karena keracunan pakan. Ketika sakitnya bukan karena hal itu warga biasanya enggan untuk urun dana untuk membeli dagingnya.
Terlebih, beberapa tahun terakhir saat beragam penyakit menjangkiti ternak, warga semakin hati-hati. Tradisi mbrandu pun jarang mereka lakukan lagi.
Warga pemilik sudah mulai biasa mengundang dokter hewan saat ada ternaknya yang sakit. Umumnya mereka punya konsensus bersama kalau hewan yang sudah pernah dokter suntik, tidak boleh dibrandu. Meski terkadang ada warga yang nekat untuk tetap mengonsumsi hewan yang pernah mendapat suntikan obat penyakit dari dokter.
Jagal sapi nakal hingga warga pedot gali kubur
Di kampungnya, Tri belum pernah menemui warga yang mbrandu hewan ternak yang sudah mati. Namun, ia mengaku beberapa kali menemukan di tempat lain beberapa kasus jagal sapi nakal yang membeli sapi yang sudah mati.
“Kalau sapi memang biasanya kelasnya langsung ke jagal, ke bakul (penjual). Kalau tempat saya sejauh ini, mati ya sudah dikubur atau untuk pakan lele,” tuturnya.
Biasanya jagal yang mengetahui baru ada sapi mati langsung menghubungi pemiliknya. Harga murah dari sapi yang sakit atau mati berpotensi membawa banyak untuk bagi penjual nakal.
Selain itu, praktik-praktik menggali kuburan hewan yang baru mati memang pernah terjadi di sekitarnya. Tapi Tri menggarisbawahi, biasanya yang melakukan adalah orang-orang pedot. Istilah yang ia gunakan untuk orang yang mabuk atau dalam pengaruh obat-obatan.
“Dulu kaya gitu paling cah-cah pedot. Tahu ada hewan baru dikubur terus mereka gali. Entah akhirnya mereka konsumsi atau gimana,” terangnya.
Tradisi yang telah berkembang di masyarakat ini memang jadi salah satu penyebab maraknya kasus antraks di Gunungkidul. Hal ini telah menjadi perhatian Kabid Kesehatan Hewan Ternak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul, Retno Widyastuti menegaskan tradisi dengan niat baik ini sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa.
“Itu adalah salah satu hal membikin kita tidak berhenti-berhenti ada antraks itu mergane (karena) kalau dipotong itu kan bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun,” kata Retno Rabu (5/7), melansir CNN Indonesia.
Selain upaya edukasi, Dinas Peternakan Gunungkidul juga mengklaim sedang membahas aturan kompensasi hewan ternak yang mati. Hal ini setidaknya, supaya warga tidak terus menerus melakukan tradisi berbahaya ini.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Dilema Mahasiswa yang Nggak Lulus-lulus Kuliah karena Asyik Bekerja hingga Bantu Proyek Dosen
Cek berita dan artikel lainnya di Google News