Captain Jack lebih dari sebuah band. Lagu-lagunya merupakan anthem masa muda: tentang pencarian jati diri, pemberontakan, dan perlawanan atas ketidakadilan.
***
Asap rokok menggantung di udara Lapangan Kenari, Jogja. Lampu sorot menembus kepulan debu, menciptakan bayangan yang seolah menari bersama dentuman bass dan drum.
Penonton sudah berdesakan. Sebagian memegang bendera hitam lusuh bertuliskan nama band favorit, dan sebagian lagi menyiapkan tubuh untuk melompat ke lautan manusia.
Lalu, riuh itu pecah. Teriakan ribuan orang menyambut kembalinya sebuah nama yang lama hilang dari panggung: Captain Jack.
Bagi banyak orang, malam itu hanyalah konser. Tapi bagi saya, itu adalah perjumpaan dengan masa lalu, sekaligus pengingat bahwa musik bisa menjadi rumah tempat kita pulang.
Reuni jiwa dan pesan buat yang sudah berpulang
CherryPop 2025, yang digelar awal Agustus lalu, menjadi panggung spesial. Setelah lama vakum, Captain Jack baru dua kali tampil: di Prambanan dan Madiun. Dua event internasional itu kebetulan saya hadiri.

Namun, entah mengapa, penampilan di Lapangan Kenari malam itu terasa berbeda. Ada nuansa emosional yang sulit dijelaskan—mungkin karena mereka tampil di tanah kelahiran sendiri. Rasanya seperti menyaksikan U2 di Dublin, Irlandia, rumah bagi sang legenda musik rock itu.
“Orang Jogja mulih. Ini bukan cuma konser, tapi reuni jiwa,” kata Ilham, seorang penonton asal Kotagede yang saya temui di kerumunan. Ia adalah fans Captain Jack, atau biasa disebut monster jackers.
Di balik sorak-sorai Ilham dan ribuan penonton lain, ingatan saya melayang ke masa SMP-SMA. Captain Jack adalah salah satu band yang menemani perjalanan remaja, masa ketika mimpi dan idealisme sedang dibentuk.
Poster mereka dulu menempel di dinding kamar saya, bersanding dengan Megadeth dan Slayer—paduan aneh, tapi begitulah semangat remaja.
Bagi saya, lagu-lagu Captain Jack bukan sekadar musik, melainkan anthem perlawanan. Di saat kita masih mencari jati diri, lirik mereka menawarkan keberanian untuk melawan ketidakadilan, sekaligus keyakinan bahwa suara kecil pun bisa berarti.
Saat hidup terasa berat, lagu-lagu itu hadir bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai penguat.
Ada pula kenangan jenaka. Saya pernah berdebat panjang dengan seorang kawan: apakah “Kupu-Kupu Baja” ditulis untuk perempuan?
“Kupu-Kupu Baja” adalah lagu terbaik Captain Jack, versi kami berdua.
Sayangnya, perdebatan itu tak pernah selesai. Sampai akhirnya, di Cherrypop 2025, saya berhasil mewawancarai mereka langsung. Jawaban mereka tegas: “ya, lagu itu memang didedikasikan untuk perempuan”.
Maka, untuk sahabat saya yang kini sudah berpulang, izinkan saya menyampaikan dengan senyum getir: aku memenangkan debat kusir itu, Kawan.
Captain Jack, band yang berani melawan kemapanan
Bagi saya, Captain Jack bukanlah nama besar di televisi atau chart musik nasional. Popularitas mereka jauh kalau dibandingkan dengan, misalnya, .Feast, FSTVLST, atau Morfem–band kesayangan “anak-anak skena”. Namun, justru karena itu, mereka istimewa.
Sejak berdiri awal 2000-an, mereka memilih jalur independen. Sempat menandatangani kontrak dengan label besar, lalu keluar lagi karena merasa terjebak dalam komersialisasi.
“Waktu itu kami merasa musik kami kehilangan ruh. Akhirnya kami memilih kembali ke jalur indie,” ungkap Novan, sang vokalis, dalam wawancara lama yang dikutip Liputan6, 2011 lalu.
Keputusan itu bukan tanpa risiko. Namun, keberanian mereka menjadikan Captain Jack legenda kecil di kalangan pendengar setia. Mereka bahkan pernah merilis album dalam format USB, jauh sebelum tren digital melanda. Bagi mereka, musik bukan sekadar produk, melainkan pernyataan sikap.
Maka dari itulah, Captain Jack, meskipun sempat vakum, jiwanya tak pernah kemana-kemana. Sebab, mereka adalah satu dari sedikit band yang berani melawan kemapanan.
Dari lagu ke perlawanan sosial
Tak cuma itu, ada satu hal yang bikin saya kepincut dengan band ini. Mereka bukan hardcore, bukan juga band punk. Tapi lirik-lirik dalam lagu Captain Jack konsisten mengangkat isu sosial.
Misalnya, dalam EP The Fall of Concept (2008), mereka menyuarakan keresahan terhadap kemunafikan dan kekuasaan. Lagu-lagu di minialbum jadi semacam manifesto—mengingatkan kita bahwa musik bisa berfungsi sebagai media kritik.
Tidak heran bila banyak anak muda di era 2000-an menjadikan lagu mereka sebagai latar perjuangan sehari-hari.
“Aku dulu dengar Captain Jack pas kuliah. Liriknya kayak tamparan buat sistem, bikin kita semangat demo,” kata Bima, penonton asal Solo yang juga hadir di Cherrypop 2025.
Mungkin inilah kekuatan utama Captain Jack: mereka mampu menghadirkan bahasa sederhana, tapi sarat makna. Bukan teori panjang, bukan jargon politik. Hanya lagu, tapi cukup untuk membakar semangat.
Aneh, menyaksikan Captain Jack kok malah mau nangis?
Kembali ke panggung Cherrypop 2025. Malam itu, begitu intro lagu pertama dimainkan, penonton langsung riuh. Arena berubah jadi lautan manusia. Mereka hanyut dalam moshing dan crowd-surf, meliar hingga debu mengepul tinggi.
Suara sound system memang jauh dari sempurna, bahkan kadang pecah. Mereka juga sempat menghentikan show karena masalah teknis. Tapi siapa peduli? Energi yang dipancarkan band itu jauh lebih besar daripada sekadar kualitas teknis.
Anehnya, saya hanya berdiri terpaku, menatap panggung, menikmati setlist dari awal hingga akhir. Di saat banyak orang melompat-lompat penuh tenaga, saya justru hampir menitikkan air mata. Ada sesuatu yang lebih besar daripada musik yang sedang dimainkan—perasaan pulang ke rumah setelah bertahun-tahun terpisah.
Atmosfer malam itu mengingatkan saya bahwa musik bukan hanya milik band, tetapi juga milik penontonnya. Setiap orang datang dengan kisah masing-masing. Ada yang sekadar ingin nostalgia, ada pula yang datang bersama anak mereka, memperkenalkan musik masa muda kepada generasi baru.
“Saya dulu dengerin Captain Jack waktu masih pacaran. Sekarang bawa anak ke sini. Rasanya kayak ngenalin sejarah keluarga,” ujar Wening, salah satu penonton dari Bantul, yang malam itu datang bersama suami dan anaknya.
Inilah bukti bahwa Captain Jack telah melewati lintas generasi. Dari kamar remaja penuh poster hingga lapangan terbuka penuh debu, mereka tetap punya tempat di hati penggemar.
25 tahun yang tetap relevan bagi generasi sekarang
Kini, tanpa menghitung masa vakum mereka, Captain Jack telah berusia 25 tahun. Namun, meskipun terpisah gap generasi, lagu-lagu mereka malah kian terdengar relatable.
Di era musik digital, di mana sebuah lagu bisa viral semalam lewat algoritma, kisah Captain Jack justru terasa menyejukkan. Mereka bukan band yang lahir dari TikTok atau Spotify. Mereka adalah band yang bertahan dengan jujur, meski tanpa panggung besar, tanpa sponsor berlimpah.
Keberanian mereka tetap relevan. Di tengah industri yang sering menggilas idealisme, Captain Jack mengingatkan kita bahwa musik bisa tetap menjadi wadah perlawanan, sekaligus ruang intim bagi personal dan kolektif.
Bagi saya pribadi, malam itu meneguhkan satu hal: musik adalah arsip hidup. Ia menyimpan jejak masa muda, pergulatan batin, dan bahkan debat konyol dengan kawan lama. Ketika Captain Jack memainkan lagunya, saya bukan hanya mendengar musik. Saya mendengar gema masa lalu, harapan masa kini, dan mungkin optimisme masa depan.
Saat konser usai, ribuan orang masih bertahan, enggan bubar. Sorakan “Captain Jack! Captain Jack!” menggema di Lapangan Kenari, seperti doa yang enggan berakhir.
Saya berjalan pulang dengan sepatu berdebu, dada penuh rasa haru. Malam itu, saya kembali menjadi remaja yang dulu menempelkan poster band di dinding kamar. Malam itu, saya kembali diingatkan bahwa musik tidak pernah benar-benar hilang—ia hanya menunggu saat yang tepat untuk hidup lagi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Saya Percaya, Album “Kalatidha” Down for Life adalah Soundtrack Terbaik untuk Kehidupan yang Buruk atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.