Ngopi di Bus Sampai Jualan Sei Sapi, Usaha Jasa Pariwisata Bertahan di Tengah Pandemi

Coffe On The Bus upaya Rejeki Transport bertahan di masa pandemi

Saya bertemu dengannya terakhir bulan Juni 2020 silam. Saat itu ia mengundang saya untuk menikmati inovasi yang ia lakukan sebagai pengusaha bus pariwisata di tengah pandemi. ‘Coffe On The Bus’ merupakan idenya untuk mencari jalan keluar agar tetap bisa menghidupi pekerja dan keluarganya.

Wiwit ‘Bedjo’ Kurniawan lemas, setelah pemerintah secara resmi mengumumkan kebijakan Penanganan dan Pencegahan Penularan COVID-19, 16 Maret 2020, praktis usahanya berhenti. Sebanyak 8 armada bus pariwisatanya tak bisa lagi beroperasi.

Pemilik Rejeki Transport ini berpikir bagaimana nasib 25 karyawan yang menggantungkan hidup dari usahanya. “Padahal saat itu sedang ramai, bookingan untuk bulan-bulan setelahnya juga sudah penuh. Nggak disangka, 16 Maret 2020, berhenti. Total berhenti,” kata Wiwit.

Wiwit mengaku memikul beban moral yang cukup besar terhadap karyawan-karyawannya. Bagaimanapun mereka pasti punya tanggungan terhadap keluarganya. “Saat itu kepikiran untuk bekreasi, tapi apa. Sampai kemudian kepikiran Coffe on the Bus,” kata Wiwit kepada Mojok, Minggu (3/4/2021).

Ide itu ia wujudkan di bulan Juni 2020 saat ada kelonggaran kebijakan dari pemerintah. Sebagian bus yang ia miliki, dimodifikasi dengan menambah meja yang digunakan untuk makanan kecil serta kopi yang diseduh.

Inovasinya mendapat respon yang besar karena saat itu orang-orang mulai jenuh berada di rumah. Setelah berkonsultasi dengan pihak-pihak pengambil kebijakan, ia kemudian meluncurkan program Coffe On The Bus. Tentunya, dengan standar protokol kesehatan. Peserta diajak untuk mengelilingi jalanan di Kota Yogya. Sepanjang jalan, peserta menikmati kopi, makanan kecil dan suasana Kota Yogya.

Saat peluncuran program itu, ia mengundang teman-temannya yang juga bergerak di usaha jasa pariwisata. Setidaknya di masa pandemi yang belum tahu kapan selesainya, ia isa memberikan semangat pada teman-temannya, bahwa inovasi harus dilakukan agar tetap bertahan.

“Sekarang tidak seramai dulu, karena memang aturan pemerintah serta kondisi ekonomi,” kata Wiwit. Program itu berkembang, bukan hanya menikmati suasana Kota Yogya, tapi dalam beberapa kesempatan, Coffe On The Bus juga pergi ke beberapa destinasi yang sudah dibuka.

Wiwit realistis, sampai saat ini belum tahu kapan pandemi berakhir. Sehingga ia harus berkreasi agar bisa bertahan. Ia tahu, beberapa rekannya sesama bus pariwisata terpaksa menutup usahanya. Ia mengetahui informasi itu dari perusahaan pembiayaan.

“Bus itu mahal Mas, yang ukuran sedangl itu harganya sekitar Rp 1 milyar, untuk yang besar bisa lebih dari Rp 1,5 milyar,” kata Wiwit. Ia pun akhirnya melepas 3 busnya untuk mengurangi beban operasional.

Program Coffe on The Bus juga membuka kesempatan bagi Wiwit untuk membuka usaha kopi. Ia mengumpulkan kopi Nusantara mulai dari Aceh hingga Papua. Selain menyajikannya untuk peserta Coffe On The Bus ia juga menjual ke umum. Ia memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Saat ini ia berencana membuka warung kopi, yang melibatkan karyawan-karyawannya.

“Kita tidak tahu kapan pandemi berakhir. Sekarang simpel saja, kalau kita nggak inovasi, kita mati dan punah dengan sendirinya,” katanya.

Tak mau PHK karyawan

Saya menghubungi Andri Sasminta, Manajer Java Traveller yang merupakan agen pariwisata spesialis inbond atau mendatangkan wisatawan asing dan outbond, mengantar Indonesia ingin berwisata di luar negeri. Praktis usahanya langsung berhenti total karena pandemi Covid-19.

“Sudah setahun tidak ada tamu, terakhir awal Maret 2020. Itu tamu dari Jerman, setelahnya lockdown,” kata Andri Sasmita yang juga Wakil Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (ASITA) DIY. Sebelum covid, Java Traveller rata-rata dalam satu tahun menerima 500 kedatangan turis yang setiap kedatangan rata-rata 2-4 orang. Sedangkan ke luar ngeri, dalam satu bulan rata-rata memberangkatkan 4-5 grup dengan berbagai tujuan, baik Asia maupun Eropa.

Saya mengenalnya sebagai orang yang suka bercanda. Namun, kondisi saat ini membuatnya harus berpikir serius. “Saat itu kita sudah ada bookingan untuk 6 bulan ke depan. Bahkan ada yang satu tahun. Bule-bule kan biasanya jauh-jauh hari pesannya,” kata Andri.

Saat itu, juga sudah mulai ramai turis asing terutama dari Eropa. Puncaknya kedatangangan turis Eropa itu biasanya di bulan Mei – Agustus. Begitu juga dengan outbond atau orang-orang Indonesia yang akan berlibur ke luar negeri. “Sebagian dibatalkan sebagian postpone (menunda), rencananya di reschedule 2021. Tapi melihat kondisi saat ini belum tahu,” kata Andri.

Seperti Wiwit, Andri juga berupaya berinovasi agar tidak sampai melakukan pemutusan hubungan kerja karyawan-karyawannya. “Ada 15 karyawan, terdiri driver dan staf. Sampai saat ini kami belum melakukan PHK,” kata Andri.

Karena praktis tidak ada tamu, ia kemudian menggagas membuat semacam resto yang ia namakan Sep Sapi Termanu Kupang. Kebetulan salah satu karyawannya berasal dari NTT. “Teman-teman jasa pariwisata rata-rata larinya ke usaha kuliner. Yang penting bisa bertahan,” kata Andri yang seperti Wiwit, terpaksa melepas beberapa armada transportasinya untuk mengurangi biaya operasional.

Andri mengatakan, wacana presiden dan Kemenparekraf yang akan membuka pariwisata Bali pada bulan Juni memberikan angin segar. Beberapa agen di luar negeri sudah ada yang mengontaknya. “Meski kami tidak memiliki tamu, kami terus mengabari kondisi di sini. Tujuannya agar mereka tidak lupa dengan Indonesia dan Jogja pada khususnya,” katanya

Informasinya akan dibukanya Bali untuk wisatawa asing langsung direspon oleh beberapa agen di luar negeri. “Ini lucu, saya bahkan dapat rooming list atau daftar tamu-tamu dari Spanyol yang akan datang 21 Oktober 2021. Ini menunjukan mereka sudah sangat ingin ke Indonesia,” katanya.

Andri mengatakan, anggota ASITA Jogja saat ini sekitar 158 anggota yang terdiri dari berbagai segmen bisnis mulai dari katering, travel agen, transportasi wisata dan lainnya. Semua terkena dampak. Sebagian kemudian banting stir membuka usaha kuliner. Sebagian lagi menutup usahanya.

“Kalau jasa pariwisata itu kan semua terkait, misal di Java Traveller itu juga terkait dengan guide, transporasi, restoran, hotel. Semua terkena dampak,” kata Andri yang secara pribadi juga membuka usaha jualan pot dan tanaman hias untuk nafkah keluarganya.

BACA JUGA Kisah Sopir Jogja-Kaliurang yang Tak Lagi Punya Penumpang dan artikel SUSUL lainnya.

Exit mobile version