Rendahnya UMR Jogja jadi keluh kesah tak berkesudahan bagi para buruh. Nilainya jauh dari angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Jangankan mimpi beli rumah, bayar kos sendiri saja nyaris nggak sanggup.
***
Saya berjumpa dengan Veronika* (23) di sebuah kafe bilangan Jalan Ahmad Dahlan, Kota Yogyakarta. Meski sehari-hari bekerja di kafe juga, mengeluarkan uang untuk membeli segelas kopi bukan perkara mudah. Sebab, gaji perempuan ini di bawah UMR Jogja.
“Seminggu sekali bisa ngopi begini ya udah syukur banget,” katanya saat saya temui Selasa (10/10/2023) malam.
Pada 2023, UMR Provinsi DIY duduk di peringkat bontot dari seluruh provinsi di Indonesia. Posisinya kedua dari bawah setelah Jawa Tengah. Kota Yogyakarta punya UMK sebesar Rp2,3 juta, Sleman 2,2 juta, Kulon Progo dan Bantul Rp2,1 juta, dan Gunungkidul Rp2 juta.
Sementar gaji Veronika, hanya Rp1,9 juta per bulan. Padahal ia bekerja enam hari dalam sepekan. Per harinya bekerja dengan durasi sembilan jam.
Beruntung, ada bonus servis sebesar Rp300 ribu buatnya yang bekerja sebagai kasir sebuah kedai kopi. Namun, jika ditotal angkanya masih di bawah UMR Kota Yogyakarta.
Menurutnya, gajinya saat ini jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perempuan asal Tangerang ini bahkan mengaku belum sanggup membayar kos sendiri dengan gajinya. Saat ini ia tinggal menyewa sebuah kamar di Caturtunggal, Sleman.
“Kosku Rp600 ribu per bulan sudah termasuk listrik dan WiFi,” katanya.
Sehingga, perempuan yang baru lulus kuliah pada 2023 ini mengaku belum bisa sepenuhnya lepas bantuan finansial dari orang tua. Ia masih mengandalkan uang kiriman untuk membayar kos. Sisanya, kebutuhan hidup ia penuhi dengan gaji bulanannya.
Gaji kecil dengan tuntutan gaya hidup besar
Ia mengaku tidak punya banyak pilihan lowongan kerja yang sesuai dengan kemampuannya. Sehingga, pekerjaan ini pun ia ambil sementara waktu untuk mengisi kekosongan harinya.
Bekerja di kedai kopi bukan tanpa tantangan. Ia dituntut untuk berpenampilan menarik. Sesuatu yang seringkali membuatnya merogoh kocek lebih dalam.
“Kadang dibilangin suruh pakai lipstick. Kalau nggak pakai keliatan pucat banget,” keluhnya.
Hal semacam itu membuatnya mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli produk kecantikan. Belum lagi, pakaian juga dituntut untuk padu padan.
Veronika sadar bahwa bekerja di Jogja, terlebih di sektor informal seperti yang ia lakoni sekarang tidak bisa jadi pegangan jangka panjang. Bahkan, orang tuanya sudah sering mengingatkannya untuk segera cabut dari Jogja.
“Kamu itu di Jogja mau jadi apa. Pulang aja,” kata Veronika menirukan ucapan orang tuanya.
Sudah enam bulan ia menjalani pekerjaan ini. Ia mengaku sedang memantapkan diri untuk cabut dari Jogja mencari pekerjaan yang lebih layak untuk jangka panjang.
“Kayanya nggak deh untuk jangka panjang. Ini aku jalani ya memang karena baru lulus kuliah dan ngisi waktu luang juga,” katanya.
Veronika hanya cuplikan kecil dari ribuan buruh yang harus bertahan hidup dengan gaji UMR Jogja. Hal yang tentu tidak mudah. Apalagi, jika perlu mengeluarkan ongkos untuk menyewa tempat tinggal.
Siang sebelumnya, saya mendengar kisah para buruh Jogja yang terekam dalam forum Seminar Hasil Survei KHL dan Diskusi Publik bertajuk “Jogja Itu Terbuat dari Nasi Kucing, Upah Murah, dan Ketimpangan” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (10/10/2023).
Acara ini membahas hasil riset Sekolah Buruh Yogyakarta mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja di Jogja. KHL merupakan standar kelayakan seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik selama satu bulan.
Jogja tempat pertunjukkan orang susah
Pada awal pemaparan, Kepala Program Sekolah Buruh Yogyakarta, Yusril Mulyadi menayangkan cuplikan keluh kesah para buruh Jogja dengan gaji di bawah UMR. Pekerja dari sektor informal dari Kota Yogyakarta hingga Gunungkidul menceritakan sulitnya memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga dengan gaji UMR Jogja.
“Faktanya angka upah buruh jauh sekali dari standar kelayakan,” ungkap Yusril.
Ia memaparkan bahwa periset dari SBY melakukan survei langsung ke sejumlah pasar tradisional di semua kabupaten/kota di DIY untuk menentukan KHL. Riset menggunakan Permenaker No 18 Tahun 2020 dan Permenaker No 13 Tahun 2012.
Hasil riset menunjukkan, berdasarkan Permenaker No 18 Tahun 2020 angka KHL di DIY sebagai berikut: Kota Yogyakarta Rp2.725.329, Kabupaten Sleman Rp2.683.414, Kabupaten Bantul 2.514.002, Kabupaten Kulon Progo Rp2.477.681, Kabupaten Gunungkidul Rp2.340.845.
Sementara berdasarkan Permenaker Nomor 13 Tahun 2013, nominalnya lebih besar yakni: Kota Yogyakarta Rp4.131.970, Kabupaten Sleman Rp4.099.637, Kabupaten Bantul Rp3.708.600, Kabupaten Kulon Progo Rp3.590.617, Kabupaten Gunungkidul Rp3.169.966.
“Gap antara KHL dengan UMR yang ada sekarang inilah yang menimbulkan masalah. Jadi memang hak buruh ini kita yang perlu perjuangkan. Mereka (buruh) sudah sulit memikirkan haknya, kerja berangkat pagi dan pulang sore,” tegasnya.
Normalisasi UMR di Jogja
Selanjutnya, dosen Ilmu Pemerintahan UMY, David Effendy juga turut berpendapat bahwa kondisi upah murah di DIY ini sudah dinormalisasi. Padahal, ini situasi yang menurutnya jauh dari kata normal.
“Di Jogja ini masalah perburuhan tertutup oleh fenomena kebudayaan dan wisata. Bahkan sampai ada istilah nggak papa miskin tapi bahagia. Inilah yang namanya provinsi teatrikal. Masalah dipahami dan ditertawakan saja, tapi tidak ada upaya untuk mengubahnya,” papar David.
Ia beranggapan bahwa perlu ada desakan dari berbagai kalangan agar lebih ada dinamika yang mendorong perbaikan upah buruh. Selain masalah upah rendah, ia juga mengingatkan bahwa Jogja merupakan provinsi dengan angka Rasio Gini tertinggi di Indonesia. Artinya, ketimpangan ekonomi di Jogja begitu tinggi.
Defisit ekonomi membuat banyak pekerja gaji UMR Jogja yang terjerat pinjol
Sementara itu, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) DIY, Patra Jatmika menyoroti imbas dari defisit ekonomi akibat kesenjangan antara UMR Jogja dengan KHL. Menurutnya, kondisi itu membuat banyak pekerja yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan hidup.
“Buruh DIY ini kerja, kerja, dan kerja. Mereka kerja sambil nyari sampingan sebagai driver ojol. Bahkan banyak yang terjerat pinjaman online (pinjol),” paparnya.
Mekanisme penetapan UMK pada 2023 menggunakan model penghitungan berdasarkan aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturannya mengikat dari pusat ke daerah.
“Tapi daerah tetap bisa menunjukkan political will untuk memperbaiki situasi ini,” harapnya.
Kabid Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja, Disnakertrans DIY, Darmawan, menanggapi bahwa persoalan upah saat ini memang sulit diubah. Ia menegaskan bahwa Gubernur DIY tidak bisa mengubah apa pun terkait upah di Jogja.
“Kita kan negara hukum, harusnya yg diprotes pembuat UU. Kami di daerah hanya pelaksana. Yang panjenengan perjuangkan itu kan harus mengubah aturannya. Kalau gubernur harus mengubah aturan ya nggak bisa,” paparnya dalam sesi tanggapan.
Ia mencontohkan, tingginya UMK di Karawang, terjadi karena perubahan signifikan sebelum adanya perubahan regulasi terkait penetapan upah minimum pekerja. Sehingga, menurut Darmawan saat ini tidak banyak yang bisa berubah dari UMR Jogja.
“Agar berubah ya gugat, formil sudah gagal, maka sekarang perlu gugat materiil. Kalau start awal sudah tinggi, ya naik terus, seperti Karawang,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Buruh Jogja Minta UMK Naik Jadi Rp4 Juta, Pemda Minta Bersabar
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News