Maraknya musik bernada “mellow” membuat beberapa Gen Z muak. Mereka tidak terlalu suka dengan kehadiran musik yang dapat mengubah suasana hatinya jadi sedih. Namun, mereka beruntung karena bisa memilih referensi musiknya sendiri. Sebab dulu, pemerintah pernah menghentikan lagu-lagu “cengeng”.
Musik mellow jadi lagu hits
Eca tidak suka mendengar lagu mellow, apalagi yang bikin suasana hatinya jadi cengeng. Saat teman-temannya menyanyikan lagu Idgitaf berjudul takut misalnya, ia langsung menghindar.
Lagu yang diupload di Youtube tahun 2021 tersebut sempat viral dan diputar sebanyak 92 juta kali. Sementara di Spotify, lagu ini masuk Top 20 Spotify Indonesia yang populer edisi harian.
Di liriknya, Gita selaku penyanyi menuangkan pengalaman pribadinya yang “takut tambah dewasa, takut kecewa, dan takut tak seindah yang dia kira”. Namun, Eca tidak suka dengan liriknya yang kata dia terlalu menye-menye.
“Aku tuh nggak suka lagu ini, terlalu mendramatisir. Akhirnya bikin orang nggak semangat,” kata Eca saat dihubungi Mojok, Jumat (17/10/2025).
Sampai-sampai, Eca sempat menyodorkan ide soal interpretasi lirik lagu “Takut” terhadap Gen Z untuk bahan skripsinya. Berdasarkan hipotesanya, keminatan atas lagu tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Mereka yang merasa makin galau saat mendengar lagu tersebut atau mereka yang justru termotivasi.
Dalam beberapa kali wawancaranya di media, Gita menyatakan pernah minder atau khawatir di usia menuju dewasa. Oleh karena itu, lagu “Takut” sebetulnya ingin memberikan tujuan agar orang yang mendengarnya tidak merasa sendirian saat mengalami hal serupa.
Di sisi lain, ada juga orang-orang seperti Eca yang pada dasarnya tidak suka mendengar musik mellow. Salah satunya, Sabrina. Remaja yang aktif mengikuti paduan suara di sekolahnya tersebut mengaku tidak suka mendengarkan lagu Feby Putri berjudul “Runtuh”.
Lagu tersebut menceritakan tentang perasaan seseorang yang mengalami kehancuran dan kesedihan mendalam, tetapi mereka berusaha menyembunyikan dengan pura-pura baik-baik saja.
“Aku bisa sesenggukan kalau dengar lagu itu, bikin suasana hatiku nggak mood.” Ucap Sabrina.
Musik mellow bikin mood berantakan
Alasan Eca dan Sabrina bisa dibilang valid. Menurut Jurnal Ilmiah Zona Psikologi berjudul “Pengaruh Musik Terhadap Emosi”, musik bisa mengomunikasikan perasaan atau suasana hati. Beberapa orang juga menganggap musik menjadi sarana pengekspresian diri.
“Musik diakui mempunyai kekuatan untuk mengantar dan menggugah emosi, baik dituangkan melalui penjiwaan terhadap alur cerita, musik, dan watak tokoh yang diperankan maupun sebagai sarana untuk mengekspresikan diri,” tulis Cevy Amelia dan Yenni Aryaneta selaku peneliti dikutip Jumat (17/10/2025).
Dalam penelitian berbeda di The Journal of Positive Psychology, peserta penelitian diminta mendengarkan beberapa musik untuk memperbaiki mood mereka. Ada yang mendengarkan musik dengan beat cepat dari Copeland dan musik mellow dari Stravinsky. Hasilnya, orang yang mendengarkan Copeland lebih sukses meningkatkan mood mereka dibanding musik mellow.
Selain itu, penelitian dari McGill University di Montreal, Amerika Serikat menyatakan bahwa musik memberikan dopamin ke tubuh, baik rasa senang, sedih, marah, kecewa, dan lain-lain. Oleh karena itu, Eca dan Sabrina kerap menghindari musik bernuansa mellow agar tidak merusak suasana hati mereka.
Pemerintah pernah larang lagu cengeng
Kini, Eca dan Sabrina bisa memilih lagu dan konser yang mereka sukai. Di zaman orde baru bahkan, lagu-lagu mellow bernuansa pilu dan sendu pernah dilarang oleh negara.
Menteri Penerangan Harmoko sempat mengabarkan pelarangan tersebut saat Hari Ulang Tahun (HUT) TVRI yang ke-26 pada tanggal 24 Agustus 1988. Ia mengimbau agar masyarakat menghentikan penayangan musik mellow.
“Kalau dalam bahasanya Harmoko, itu lagu cengeng berselera rendah. Jangan kasih tempat lagu kayak gitu-gituan. ‘Go to hell lagu cengeng’ kata dia,” kata host podcast Jas Merah, Muhidin M Dahlan dikutip dari Youtube mojokdotco dikutip pada Jumat (17/10/2025).
Pelarangan itu tak terlepas dari pergolakan ideologi Pancasila di masa itu. Di mana, semua organisasi masyarakat dipaksa untuk mengubah anggaran dasar dan meletakkan Pancasila sebagai asas organisasi mereka, termasuk dengan cara menghentikan lagu-lagu yang dianggap cengeng.
Harmoko menganggap lagu-lagu cengeng bertentangan dengan program disiplin nasional. Sementara, saat itu TVRI banyak menayangkan lagu-lagu berisi ratapan, patah semangat, hingga keretakan rumah tangga.
“Memang Menteri Harmoko tidak menunjuk nama saat berpidato di TVRI, tapi penonton sudah menduga-duga dengan kriteria yang disampaikan Harmoko yakni lagu berjudul Hati Yang Luka yang dinyanyikan oleh Betharia Sonatha,” kata Muhidin M Dahlan atau yang akrab dipanggil Gus Muh.
Perkembangan musik
Bagi pemerintah, kata Gus Muh, lagu yang memiliki sepenggal lirik “pulangkan saja aku pada ibumu atau ayahmu” itu melemahkan perjuangan dharma wanita, tapi ada juga yang menganggap lagu itu berisi soal ketahanan keluarga.
Atau lagu milik Tommy J Pisa yang berjudul “Di Batas Kota Ini” dan “Suratan” di mana liriknya menggunakan kalimat-kalimat nestapa. Namun, ada pula yang suka karena lagunya dapat mengekspresikan hati seseorang.
Fenomena itu sama dengan yang terjadi sekarang, di mana Gen Z terbagi menjadi dua kubu. Mereka yang lebih bersemangat atau justru mellow saat mendengar lagu-lagu yang beat-nya lambat.
Oleh karena itu, ekosistem musik mulai berkembang di mana masyarakat bisa menikmati lagu dengan teknologi CD pada saat itu. Salah satu CD yang hits ialah lagu berjudul “Di Radio Ada Anak Singkong” dari Gombloh dan Arie Wibowo.
Meski liriknya berisi kerinduan atau menye-menye, nyatanya musik mellow bisa membuat orang yang mendengarnya ikut begoyang dan menghibur. Di zaman sekarang misalnya, Eca lebih suka lagu-lagu seperti Hindia.
“Misalnya, lagu Hindia berjudul ‘Lagipula Hidup Akan Berakhir’. Jadi walaupun liriknya berisi realitas sedih tapi musiknya tetap bikin semangat,” kata Eca.
Sementara itu, Sabrina lebih suka lagu-lagu dari barat seperti Avril Lavigne.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Mendengarkan Kembali Album PAS 2.0 setelah Dua Dekade: Lagunya Buat Milenial, tapi Kini Makin Relevan bagi Gen Z atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
