Mie Kopyok Pak Dhuwur sudah jadi destinasi kuliner populer di Kota Semarang. Jauh sebelum terkenal seperti sekarang, puluhan tahun yang lalu, dua kakak beradik berkeliling kota sambil menjajakan dagangannya dengan pikulan di bahu. Ayahnya telah tiada, mereka jadi harapan keluarga demi adik- adiknya bisa terus sekolah.
***
Senin (17/01) menjelang siang, cuaca Kota Semarang terasa begitu panas. Mobil dan motor lalu-lalang. Saya berjalan kaki di atas trotoar diantara gerobak pedagang. Beberapa kali mengintip jam sambil mempercepat langkah. Tujuan saya kali ini adalah Mie Kopyok Pak Dhuwur.
Pukul 10 saya sampai di tujuan. Sebuah warung sederhana yang terletak di Jl. Tanjung No. 18 A. Lebih gampangnya seberang kantor PLN Kota Semarang. Spanduk kuning dengan gambar seorang pria paruh baya seolah menjadi ucapan selamat datang. Warung Mie Kopyok Pak Dhuwur buka pukul 08.00- 16.00 WIB. Saya sengaja datang sebelum jam makan siang, khawatir pengunjung membludak dan tak sempat berbincang dengan si empunya.
Perjuangan panjang
Pria itu mengelap keringatnya yang mulai bercucuran dari dahi, menahan teriknya matahari di kota pesisir utara Jawa. Langkah demi langkah telah dilalui. Belasan kilometer ditempuhnya dari pagi hingga sore hari, bahkan ia rela tetap berkeliling sampai menjelang maghrib jika dagangannya belum habis.
Harso Dinomo namanya. Setelah lulus SMP, sekitar tahun 1960, ia memutuskan untuk ikut menyekolahkan keempat adiknya dan membantu kebutuhan sehari-hari keluarga. Sebagai anak pertama, ia tak tega jika hanya ibunya seorang yang banting tulang menghidupi keluarga setelah sang ayah berpulang.
“Akhirnya kakak milih buat dagang mie kopyok, karena waktu itu lagi banyak pedagang keliling mie kopyok,” ujar Sumadi (70), generasi kedua Warung Mie Kopyok Pak Dhuwur, saat menceritakan tentang kakaknya.
Saya bertemu dengan Sumadi ketika warung belum terlalu ramai. Sejak beberapa tahun belakangan, sang kakak selaku pendiri warung, Harso, memutuskan untuk istirahat di rumah karena usianya yang makin sepuh. Kini seluruh pengelolaan warung diserahkan kepada Sumadi, sedangkan anak Harso khusus memegang bagian keuangan.
Saya dan Sumadi duduk di meja dekat dengan gerobak dorong tempat pengolahan mie kopyok. Aroma bawang yang digunakan sebagai campuran kuah seringkali memaksa masuk ke rongga hidung. Seakan mengajak nostalgia dengan makanan yang dulu sering saya beli di depan rumah. Jika tak salah ingat, mungkin terakhir menyicip hidangan ini sekitar lima belas tahun yang lalu. Sekarang, para penjual keliling mie kopyok sudah sangat sulit dijumpai.
“Waktu awal (jualan) pake semacam tandu yang dipikul, bukan gerobak,” ucap Sumadi.
Dua tahun lamanya sang kakak berjualan dengan pikulan di bahunya. Setelah itu, ia mengumpulkan sebagian uang hasil jualan untuk membeli gerobak. Selang beberapa lama, Sumadi mengikuti jejak kakaknya menjadi penjual keliling mie kopyok. Tujuannya sama, membantu ibu untuk menyekolahkan saudara-saudaranya.
Hampir setiap hari, kakak beradik ini memiliki kegiatan yang sama. Menyiapkan bahan-bahan mie kopyok masing-masing untuk didagangkan. Pukul 7 pagi mereka berdua sama-sama berangkat dari rumah menuju rute yang berbeda. Lama-lama, penjualan mereka lancar dan hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan. Walaupun tak jarang dagangannya juga sepi, hanya laku beberapa porsi saja.
“Kakak saya jadi punya langganan dan sering ngetem di satu tempat,” ujar Sumadi, pandangannya lurus, mengingat perjuangan Harso waktu itu.
Namun, nasib malang menimpa Harso, saat ia sudah memiliki banyak langganan orang-orang kantor di tempat mangkalnya dulu. Ia malah terkena penggusuran PKL oleh petugas pemerintah.
Harso pulang, sambil berpikir. Beberapa pelanggan sempat memintanya mendirikan warung sederhana saja di seberang kantor tempatnya biasa mangkal. Sumadi yang saat itu baru saja pulang dari jualan, merasa setuju-setuju saja. Akhirnya mereka berdua mulai mendirikan warung bersama dengan modal hasil jualan. Mereka berdua meninggalkan rutinitas kelilingnya dan mulai merintis warung sederhana yang menetap sejak tahun 2013.
“Saya jadi saksi gimana warung ini berdiri. Toh, saya ada di sana sejak masih nol,” ungkap Sumadi.
Asal usul nama Dhuwur
Ditanya tentang asal usul nama Pak Dhuwur, Sumadi tertawa renyah. Katanya, nama Pak Dhuwur itu diberikan oleh pelanggan mereka saat masih berjualan keliling.
“Itu bahasa Jawa yang artinya tinggi, karena postur tubuh kami tinggi. Keturunan keluarga,” ungkapnya.
Dulu, dari sekian banyak penjual mie kopyok keliling, sangat mudah menemukan mie kopyok Pak Dhuwur ini. Kata orang-orang, “pokoke golek sing awake dhuwur!” ucap Sumadi menirukan pelanggan mereka dulu.
Ya sudah, karena kata dhuwur sudah melekat dan menjadi ciri khas, maka ketika membuka warung, nama itu yang kami pakai. Toh, mereka juga ingin mengabadikan para pelanggan lamanya yang secara tidak langsung sangat berjasa dalam berdirinya warung ini.
“Bagi kami, pelanggan itu raja dan sangat membantu. Apalagi dalam menjaga cita rasa,” kata pria asal Sukoharjo itu.
Waktu awal berdirinya warung, Sumadi dan Harso beberapa kali mendapat komplain dari pelanggan. Apalagi, ketika mereka memutuskan mendirikan beberapa cabang di Kota Semarang. Beberapa pelanggan sering protes terkait rasa yang kadang tidak seperti zaman dulu. Bahkan, kakak beradik itu sempat kehilangan pelanggan lamanya.
Sempat putus asa, namun lama kelamaan malah menjadi motivasi tersendiri. Justru, komplain tersebut menjadi sarana evaluasi bagi mereka untuk selalu menjaga cita rasa otentik yang disukai pelanggan.
“Apalagi waktu buka cabang, sering banget orang-orang bandingin cabang ini, itu dan warung utama rasanya beda,” kata Sumadi.
“Padahal yang masak dan bikin bumbu sama. Cuma beda orang yang ngeracik di piring,” imbuhnya.
Untungnya, saat ini mereka mampu mengatasi masalah itu. Sudah tak banyak lagi komplain yang datang dari pelanggan terkait perubahan rasa. Semuanya oke, dan warung semakin ramai tiap harinya.
“Bahkan kami sempat mikir buat buka cabang di kota lain, Solo,” ungkap Sumadi
“Tapi sayangnya, prediksi kami bakal nggak laku. Sulit memulai bisnis makanan khas di kota lain,” ia melanjutkan.
Bagi Sumadi, sebagian orang di Kota Semarang pun belum cukup familiar dengan mie kopyok sebagai makanan khas. Apalagi, generasi sekarang saat pedagang keliling mie kopyok sudah jarang ditemui.
Saya mengangguk setuju, dulu awal mula mengenal mie kopyok memang dari gerobak keliling yang sering lewat di depan rumah. Mungkin saat saya masih menduduki bangku sekolah dasar.
“Jadi kami untuk saat ini, memutuskan tetap bertahan di Semarang. Berjuang mempertahankan mie kopyok di kota ini,” ujar Sumadi.
Beda mie kopyok dan mie kocok
Mie kopyok yang jadi makanan khas Kota Semarang memang tak terkenal seperti lumpia, bandeng, dan wingko babat. Namun, justru makanan inilah yang jarang atau bahkan tak pernah dijumpai di kota lainnya.
Orang-orang sering menyamakan makanan ini dengan mie kocok bandung. Padahal bagi Sumadi, keduanya adalah makanan yang jelas-jelas berbeda.
Biasanya, mie kocok menggunakan kuah kaldu sapi dan kikil sebagai pelengkap hidangan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan mie kopyok yang hanya menggunakan olahan bawang sebagai kuah dan tahu sebagai lauk. Tanpa daging sapi ataupun daging lainnya. Beberapa orang menyebutnya cocok sebagai makanan para vegetarian.
“Keduanya memang pake toge dan mie. Tapi soal rasa jelas beda,” ucap Sumadi.
Tak berselang lama, pesanan saya pun datang. Semangkuk mie kopyok yang mengunggah selera. Saya mengaduk-aduk satu porsi mie kopyok yang membuat piring terasa penuh.
Potongan lontong ditaruh pada bagian paling bawah, kemudian mie dan toge menyusul diatasnya. Kuahnya masih panas dengan taburan kerupuk gendar remuk.
Jika tak langsung dimakan, biasanya remukan kerupuk ini akan cepat lembek. Tak lupa, Mie Kopyok Pak Dhuwur ini selalu menambahkan kecap di atas kerupuk gendarnya. Menciptakan rasa gurih dan manis dalam suapan pertama.
“Saya sempat jualan dengan harga Rp1.000-Rp1.500 per porsinya dulu,” Sumadi tertawa sambil geleng-geleng, betapa murahnya harga pada zamannya saat masih remaja.
Kalau sekarang, seporsi mie kopyok ini dibanderol dengan harga Rp13 ribu. Sangat murah untuk standar makan siang di kota industri sekaligus pusat pemerintahan Jawa Tengah ini.
Hari mulai siang, beberapa orang mulai tampak berlalu-lalang. Tidak ramai, namun juga tidak sepi. Saya melihat jam yang melekat di tangan, masih satu jam menjelang waktu makan.
“Ini masih sepi. Kalau udah makan siang, rame. Hari minggu kemarin saya sampe seharian nggak duduk,” kata Sumadi.
Seiring dengan berjalannya waktu, pelanggan Mie Kopyok Pak Dhuwur tak hanya para pekerja kantoran yang ingin makan siang. Warung ini kini menjadi salah satu tujuan kuliner para wisatawan yang berkunjung di Kota Semarang.
Reporter : Rahma Ayu Nabila
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Suara Warga Malioboro di Hari Relokasi PKL dan liputan menarik lainnya di Susul.