Menjelang Pilkada 2024, isu jual beli jabatan perangkat desa (Perades) di Blora kembali memanas. Mereka, yang merasa jadi korban kecurangan, makin gerah dan kembali bersuara. Sebab, sudah sejak 2022 silam, tapi masalah tersebut seolah tak diusut secara tuntas hingga sekarang.
***
Kabar tak menyenangkan harus Samidi terima saat ia baru saja pulang kerja dari Kecamatan Cepu, Blora. Setiba di rumahnya di Desa Pojokwatu, Kecamatan Sambong, istrinya mengabari kalau ia diberhentikan dari keanggotaan Posyandu.
Alasannya tak jelas. Tapi pria 40-an tahun itu menduga, hal tersebut harus sang istri terima imbas Samidi yang belakangan kembali gencar menyuarakan isu jual beli jabatan perangkat desa di Blora.
Hanya ingin birokrasi yang sehat dan bersih
Ia belakangan sering menemui teman-temannya yang tergabung dalam Calon Perangkat Desa Gagal (Capraga) Blora untuk mendesak lagi pengusutan.
Sikap kritis Samidi tersebut sudah membara sejak 2022 silam, saat ia sendiri menjadi korban kecurangan seleksi Perades Blora. Sikap yang kemudian membuat hubungannya dengan perangkat desa Pojokwatu tak begitu baik.
“Kami kan menuntut sudah 2022 lalu, zaman Bupati Arief. Sekarang Pak Arief mau maju Bupati lagi, jadi tuntutan kami, mohon Pemkab Blora usut tuntas dulu siapa dalangnya, biar kami (Capraga) lega,” ujar Samidi saat kami bertemu Minggu (15/9/2024) malam WIB.
Jika dalang sebenarnya terusut, maka di masa pemerintahan Bupati Blora periode selanjutnya—terlepas siapapun yang terpilih—maka sistem birokrasi di Blora bisa berjalan sehat dan bersih: praktik-praktik kotor tak bakal terulang.
Menuntut hingga ke KPK
Kata Samidi, para Capraga dari berbagai desa di Blora tergabung dalam grup WhatsApp. Bertahun-tahun masih saling berkomunikasi dan berkoordinasi. Mereka juga saling meresahkan, kenapa isu tersebut seolah menguap di 2022 saja? Sehingga membuat beberapa orang merasa putus asa dan tak yakin dalang sesungguhnya bakal terkuak.
“Kami bahkan pernah demo ke Gedung KPK di Jakarta. Saya bawa barongan waktu itu, ada pentas Barongan biar mendapat perhatian, biar suara kami didengar,” ujar Samidi.
Demo tersebut berlangsung pada Rabu (10/8/2022). Para Capraga didampingi oleh LSM Masyarakat Pengawas Keuangan Negara (MPKN) serta MPC Pemuda Pancasila Blora.
Demo tersebut adalah satu dari rangkaian demo yang pernah digelar sebelum-sebelumnya untuk mengawal isu kecurangan seleksi Perades di Blora. Beberapa media lokal Blora sudah memuatnya. Sayangnya, rentetean demo yang bahkan sampai ke Jakarta itu tetap tak menghasilkan kesimpulan apapun yang melegakan.
Kamu bayar, nilai ujian aman
Ada serangkaian proses seleksi untuk menjadi perangkat desa. Salah satunya adalah ujian Computer Assisted Test (CAT) alias ujian komputer. Samidi dan teman-temannya di Capraga Blora mengaku dijegal di sini.
“Hasil diskusi dengan MPKN, dugaannya yang nyalon perangkat desa tapi nggak bayar akan dijegal lewat CAT,” tutur Samidi.
“Misalnya ada orang nggak punya nilai pengabdian (salah satu syarat jadi perangkat desa harus pengabdian), maka kalau bayar otomatis nilai CAT-nya ditinggikan. Punya nilai pengabdian tapi kalau nggak pakai uang, nilainya direndahkan,” sambungnya.
Ijazah S1 dan pengabdian 10 tahun yang ambyar
Sebelum bertemu Samidi, saya—tanpa sengaja—berbincang dengan Bandi (40). Panggil saja begitu. Atas alasan keamanan, nama asli Bandi tak bisa saya tulis.
Sabtu (14/9/2024) siang WIB, usai berkeliling Cepu yang panas menyengat, saya mampir di warung kopi kecil miliknya: memesan es teh.
Kami membincangkan banyak hal. Dari urusan kopi dan kuliner khas Blora, hingga obrolan kami mengarah pada Blora yang sedang menyambut Pilkada 2024. Di titik inilah Bandi bercerita perihal situasi panas di Kota Mustika tersebut: isu jual beli perangkat desa.
Ternyata, istri Bandi menjadi salah satu korban dugaan kecurangan Perades Blora 2022 silam.
Saat itu, istri Bandi mendaftar sebagai perangkat desa di desa tempatnya tinggal di Kecamatan Cepu. Sama persis dengan yang diungkapkan Samidi, ada dugaan penjegalan saat menjalani CAT.
“Secara teknis istri jadi lah. Kan ngabdi di desa ada nilainya sendiri, ijazah ada nilainya sendiri, tinggal nambahin nilai sedikit dari CAT. Ternyata nilai CAT diduga sudah settingan. Cerita yang beredar, ada yang nggak mengerjakan CAT tapi nilai keluar 90,” kata Bandi.
“Istri saya juga sudah mengabdi 10 tahun di PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), jauh sebelum nikah sama saya. Lulusan kampus Solo, paham komputer juga. Bisa nggak lolos kan kecurangannya kelihatan sekali,” sambungnya dengan senyum sumir.
Kekalahan seleksi Perades Blora yang tak masuk akal
Di hari yang sama, usai menandaskan segelas es teh di warung kopi Bandi, saya bergeser menemui Sukisman, pria sepuh pimpinan LSM MPKN. Seseorang yang sejak awal isu jual beli perangkat desa di Blora mencuat langsung turun mendampingi hingga saat ini.
Ia meminta saya menemuinya di sebuah kedai langganannya di Cepu. Senyumnya menenangkan meski sering kali ia hidup dalam bayang-bayang intimidasi birokrat-birokrat bermasalah. Tak heran jika kalangan wong cilik—termasuk Capraga—di Blora merasa aman dekat dengannya.
“Seperti yang sudah teman-teman (Capraga) bilang, kalahnya di CAT nggak masuk akal,” ujar sosok dengan panggilan akrab Mbah Kisman tersebut.
“Ujian CAT itu harus bisa menghidupkan atau mematikan komputer, menguasai Microsoft dll. Di Kedungtuban itu (pada 2021) banyak sarjana komputer (ia menyebut beberapa nama yang tak bisa saya tulis). Ada bahkan yang 10 tahun kerja di bank nasional. Masa CAT nggak lolos? Kalah dengan orang yang, nuwun sewu, komputer saja sebelumnya nggak pernah pegang,” lanjut Mbah Kisman dengan nada suara serak-serak berat.
Dalang yang tak kunjung terungkap
2022, sebelum akhirnya demo hingga ke KPK, Capraga sempat meminta adanya audit forensik. Pemkab Blora memang memfasilitasi. Namun, hingga saat ini, kata Mbah Kisman masih tak kunjung terusut siapa dalang di balik praktik kecurangan jual beli perangkat desa tersebut.
Mundur ke 2021. Sebelum rangkaian demo terjadi di tahun 2022, Bupati Blora yang kini hendak mencalonkan diri lagi (Arief Rohman) sempat mewanti-wanti agar tidak ada praktik kotor jual beli perangkat desa.
Hal itu ia sampaikan dalam rapat dinas, Jumat (24/12/2021) siang hingga sore WIB, seperti terdokumentasi dalam rilis Pemkab Blora. Dalam rapat tersebut, Arief mengaku sudah menerima banyak laporan perihal dugaan kecurangan. Itulah kenapa ia memilih menunda tahap CAT.
Dalam kesempatan yang sama, Kasi Intel Kejaksaan Negeri Blora, Sujatmiko, mewakili Kajari menekankan agar seluruh Kepala Desa dan panitia pengisian Perades bisa menghentikan dugaan praktik jual beli jabatan.
“Sudah banyak laporan yang masuk, kami sudah mengantongi beberapa nama yang perlu penyelidikan lebih lanjut,” tegasnya saat itu.
Beberapa nama itulah yang menjadi tanda tanya besar bagi Mbah Kisman dan para Capraga. Sampai sekarang tak ada kabar mengenai “penyelidikan lebih lanjut” itu.
“Sempat Kades Beganjing dipenjara karena terlibat (praktik curang Perades). Tapi sudah banyak yang tahu kalau dipenjara kurang dari enam bulan. Akhirnya keluar tetap jadi Kades,” beber Mbah Kisman. Lagi-lagi, penangkapan Kades Beganjing waktu itu tak memberi jawaban siapa dalang di balik praktik jual beli perangkat desa.
Pemkab Blora sebenarnya pernah membentuk layanan aduan dan tim investigasi untuk mengusut skandal tersebut. Namun, jika nyatanya Capraga masih terus memberi desakan pengusutan, artinya memang ada yang belum tuntas.
Iming-iming di balik kecurangan seleksi Perades Blora
Menjadi perangkat desa memang seolah jadi rebutan di kalangan masyarakat Blora. Samidi bisa menjelaskan salah satu alasannya.
“Di Blora banyak pengangguran, lapangan kerja susah, jadi orang tergiur iming-iming kerja enak seperti jadi perangkat desa. Jadi nggak heran jika orang melakukan banyak cara untuk bisa jadi perangkat desa,” ungkap Samidi.
“Gajinya Rp2juta-Rp3 juta. Nanti ada bengkok juga kan, makanya pada rebutan,” imbuhnya.
Sejak ikut mengawal isu pengusutan tuntas dugaan kecurangan seleksi Perades Blora, Samidi yang terkenal vokal mengaku sempat mendapati usaha pihak-pihak tertentu yang hendak menyumpal mulutnya.
Pernah suatu hari, di sekitar Kecamatan Cepu Kota, ia diajak oleh sekelompok orang bermobil. Ia lantas ditanya, berapa bayaranmu agar berhenti “berisik” pada isu dugaan kecurangan seleksi Perades? Hal yang sama juga pernah dialami oleh Ketua Capraga Blora, Budi Ismail pada 2022 silam.
“Pernah ditawar Rp150 juta untuk tidak melanjutkan gerakan ini,” ungkap Budi Ismail mengutip Blora News.
“Hidup saya memang kekurangan. Tapi saya nggak mau berhenti, saya mau menyuarakan kebenaran.” Sementara begitulah jawaban Samidi menolak disumpal mulutnya oleh lembaran-lembaran merah yang disodorkan oleh orang-orang bermobil itu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Bandara Ngloram Blora: Proyek Mahal, Tapi Berakhir Sepi Bagai Kuburan dan Cuma Bikin Susah Petani
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News