Dua pasang mahasiswa Malang mengaku menjalani praktik kumpul kebo (kohabitasi), jauh sebelum isu ini ramai diperbincangkan baru-baru ini. Mojok mendengarkan pengakuan mereka perihal apa yang sebenarnya mereka jalani dalam praktik tersebut.
***
Riuh rendah kumpul kebo alias kohabitasi berakar pada artikel yang dipublikasikan The Conversation Indonesia, ditulis oleh Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Merujuk data Pendataan Keluarga 2021 (PK 2021/PK21) oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Yulinda menemukan fakta bahwa banyak pasangan muda belum menikah yang memilih tinggal bersama di bawah satu atap.
Ada tiga alasan utama kenapa pasangan belum menikah memilih tinggal bersama. Di antaranya beban finansial, rumitnya proses perceraian, dan penerimaan sosial di lingkungan sekitar.
Riset Yulinda secara spesifik memang menyasar daerah Manado, Sulawesi Utara. Akan tetapi, Mojok menemui fakta bahwa praktik inipun juga terjadi di Malang, Jawa Timur, di kalangan mahasiswa.
Mahasiswa Malang pilih kumpul kebo untuk efisiensi
Jose (26), bukan nama sebenarnya, saat ini memang sudah lulus kuliah. Hanya saja, alih-alih pulang ke Jakarta (tempat asalnya), dia memilih tetap menetap di Malang. Bekerja di sana. Alasannya, Malang jauh lebih nyaman (sejuk dan tenang) ketimbang Ibu Kota.
Saat merantau ke Malang untuk kuliah pada 2017, Jose sebenarnya sudah tahu belaka kalau kota tersebut menawarkan kebebasan. Barangkali tak jauh berbeda dengan Jakarta. Dan memang begitulah yang akhirnya dia dapati. Laki-laki bisa menginap di kos perempuan dengan leluasa, juga sebaliknya.
Seiring waktu, Jose akhirnya menemukan sebuah “paviliun hidden gem”, bisa disewa oleh sepasang muda-mudi yang belum berstatus “halal”. Tanpa harus repot-repot menunjukkan surat nikah atau berdalih kalau keduanya adalah saudara kandung (kakak-adik misalnya).
“Semester 4-an, aku ngajak cewekku untuk tinggal bareng. Sebenarnya harga paviliunnya juga lumayan untuk ukuran mahasiswa. Karena Rp1 jutaan,” kata Jose.
Namun, dengan tinggal bareng, Jose merasa banyak hal bisa menjadi lebih efisien. Misalnya, alih-alih sering makan di luar, keduanya lebih memilih masak bareng di paviliun. Budget-nya tentu jauh lebih murah ketimbang makan di luar.
Layaknya suami istri, tapi belum siap menikah
Selama kohabitasi di Malang sejak masa mahasiswa, Jose tak menampik kalau dia dan pasangannya hidup layaknya pasangan suami istri sah. Tapi bukan berarti keduanya siap untuk menikah.
Jose mengaku, sejak lulus kuliah dan bekerja, pacarnya beberapa kali menanyakan: Kapan mereka benar-benar akan menikah? Tapi jawaban Jose selalu begini: Kenapa harus ada ikatan pernikahan? Bukannya begini saja cukup?
“Pernikahan itu ribet. Proses menikahnya, terus setelahnya. Karena jika menikah, kita harus lebur dalam satu sistem keluarga dan konstruksi sosial yang bisa jadi kita nggak cocok dengan sistem itu,” kata Jose.

Oleh karena itu, Jose merasa begini saja sudah cukup. Tinggal bareng tanpa ikatan pernikahan. Toh cinta Jose ke pacarnya tidak pernah berkurang sama sekali. Mereka toh selama ini juga hidup tenang dan asyik. Tanpa pertengkaran-pertengkaran hebat atau bahkan KDRT sebagaimana yang terjadi dalam rumah tangga.
“Anak juga belum kepikiran punya. Jadi kalau ditanya, misalnya belum nikah tapi kalau punya anak bagaimana? Aku belum bisa jawab. Tapi untuk saat ini, aku ingin menikmati waktu berdua. Kami antisipasi agar belum punya anak dulu,” kata Jose.
Apalagi, memiliki anak juga bukan tanggung jawab sepele. Di antara alasan Jose belum siap atas kehadiran anak adalah: Dia tidak mau menghadirkan satu manusia lagi di tengah kondisi dunia yang semakin sakit dan rusak. Tidak adil bagi si anak.
Baca halaman selanjutnya…
Latihan berumah tangga, seperti latihan salat berjamaah layaknya suami istri sah
Saling meninggalkan setelah hidup bersama
Jose tak berpikir jauh kalau suatu saat pacarnya akan meninggalkannya, misalnya untuk mencari pasangan hidup yang pasti-pasti: Pasti mengajak menikah dan membangun rumah tangga. Tidak sekadar tidur dan hidup bareng.
Yang dia tahu, saat ini hubungannya masih baik-baik saja. Pertemuan Jose dan pacarnya memang sudah tidak seintens zaman sama-sama masih jadi mahasiswa di Malang. Karena setelah lulus, sang pacar memilih pulang ke kampung halamannya di Kediri, Jawa Timur.
Hanya saja, setiap akhir pekan atau libur panjang, sang pacar biasanya akan datang ke Malang untuk menemui Jose. Sang pacar masih menginap di paviliun yang mereka gunakan untuk kohabitasi sejak masa mahasiswa di Malang dulu.
“Tapi memang ada temenku, awalnya kohabitasi, tapi akhirnya berpisah. Ya biasa saja. Nggak ada yang aneh,” tutur Jose.
Karena memang tujuannya seperti itu. Kohabitasi alias kumpul kebo memungkinkan sepasang muda-mudi untuk tinggal bareng dan berpisah tanpa dibayangi kerepotan-kerepotan prosedural. Kalau sudah menikah, berpisah akan menjadi rumit karena harus menjalani serangkaian proses perceraian.
“Sementara, di tengah hubungan, beda prinsip dan visi itu niscaya terjadi menurutku. Pernikahan itu mengikat dan jadi nggak sehat. Jika sudah nggak satu visi, kenapa masih harus melanjutkan rumah tangga? Nanti malah saling menyakiti. Sedangkan kalau berpisah (bercerai), stigma moral-sosial-agama menghantui,” pungkas Jose.
Kohabitasi mahasiswa Malang: simulasi berumah tangga
Agak sulit menemukan perempuan yang terbuka bercerita perihal kehidupan kohabitasi yang mereka pilih. Tapi dengan jaminan penyamaran identitas dan hak untuk tidak menjawab beberapa pertanyaan, Vanya (23), bukan nama asli, mau berbagi dengan Mojok, Selasa (22/7/2025) malam.
Vanya saat ini masih menjadi mahasiswa aktif di Malang. Dia mengaku sudah sejak semester 3 memilih kohabitasi dengan sang pacar yang asal Lampung.
“Kohabitasi yang kami jalani jangan diasosiasikan kami punya kebebasan tanpa tanggung jawab ya. Kami tinggal bareng, tapi ada batas-batas tertentu yang tidak kami langgar,” jelas Vanya.
Mangkanya Vanya lebih nyaman menyebutnya kohabitasi, bukan kumpul kebo. Kumpul kebo itu jika sudah terjadi hubungan yang melewati batas (anggap saja hubungan tubuh layaknya suami istri).
Vanya menyebut kohabitasi yang dia jalani adalah simulasi untuk berumah tangga. Karena dia dan pacarnya toh sudah berkomitmen untuk menikah kelak. Jadi dengan kohabitasi tersebut, mereka mencoba berlatih memecahkan masalah dalam rumah tangga, manajemen keuangan, upaya saling mengenal lebih dalam. Intinya mereka berlatih membangun sebuah rumah tangga yang ideal.
“Misalnya, pacarku nggak bisa masak, ya dia belajar masak kalau pagi-pagi aku masakin buat dia. Kami juga sering salat berjamaah bareng. Buka puasa dan sahur bareng. Terus sama-sama ngatur keuangan, nabung buat bekal nikah kelak,” kata Vanya.
Hadapi razia dan konsekuensi hukum
Vanya menyadari, konsep tinggal bersama sebelum menikah masih merupakan hal tabu. Di Malang sendiri pun sebenarnya dilarang melalui Perda Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul, Perda Kota Malang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Usaha Pemondokan dan Perda Kota Malang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan.
Sementara secara nasional, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pasal 412 ayat 1 disebutkan, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Artinya, selain rentan razia, praktik ini juga berkonsekuensi hukum bagi pelakunya.
“Haha nggak kepikiran bakal bagaimana kalau kena razia. Tapi yang jelas, kami punya argumen, kalau kami nggak berbuat yang nggak senonoh,” tekan Vanya.
Kumpul kebo hingga open BO
Mojok beberapa kali menerima cerita perihal “betapa bebasnya” kehidupan mahasiswa di Malang. Dan kumpul kebo memang bukan barang baru di kota ini.
Paling baru, merujuk laporan Detik Jatim, sebanyak 31 pasangan muda (mayoritas mahasiswa) di Malang—persisanya di Lowokwaru—terjaring razia oleh Satpol PP pada Maret 2025 lalu. 5 di antaranya disebut melakukan praktik open BO. Sementara sisanya kumpul kebo.
Dari hasil pendataan, diketahui mayoritas pasangan tersebut merupakan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di luar Kota Malang, seperti Kediri, Lampung, Sumatera, Lamongan, dan Solo.
Risiko buruk yang harus diperhitungkan
Dalam artikelnya, Yulinda membeber rentetan dampak buruk dari praktik kohabitasi alias kumpul kebo. Terutama bagi perempuan dan anak karena tidak adanya ikatan hukum.
“Jika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada aturan hukum yang mengatur pembagian harta, hak nafkah, warisan, hingga hak asuh anak,” jelas Yulinda.
Kohabitasi, lanjut Yulinda, juga dapat menurunkan kepuasan hidup dan memicu masalah kesehatan mental. Sebab, praktik ini tidak menawarkan komitmen dan kepastian masa depan yang jelas.
Merujuk data PK21 yang Yulinda nukil, tercatat sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi pernah mengalami konflik verbal, 0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang, dan 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara bagi anak-anak yang lahir dari hubungan ini, akan sangat rentan mengalami gangguan tumbuh kembang hingga mengalami tekanan emosional akibat stigma sosial.
“Anak bisa merasa tidak diakui dan mengalami kebingungan identitas, bahkan mendapat diskriminasi dari keluarga sendiri karena statusnya dianggap ‘anak haram’,” beber Yulinda.
Risiko-risiko tersebut, sepatutnya diperhitungkan sebelum pasangan muda memilih hidup dengan model kohabitasi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pesan Sederhana Ibu untuk Anak yang Merantau (Jadi Mahasiswa), Kerap Diabaikan Berujung Penyesalan Abadi di Kemudian Hari atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan